Senin, 22 Juni 2015

Diam

"...melagu tanpa berkata, seperti syair tak beraksara..."-Setapak Sriwedari, Maliq & D'essentials.

Perang dingin kita, berakhir. Entah untuk sementara, entah untuk selamanya.
Ah, mungkin bukan perang dingin kita. Mungkin hanya aku yang mendiamkanmu.

Akhirnya aku memberanikan diri mengalahkan egoku. Aku mengirim pesan kepadamu. Awalnya aku hanya iseng. Keisengan yang memerlukan keberanian jika akhirnya aku merasa tertolak lagi olehmu.

"Ting!"

Pesanku terbalas. Ajakanku kamu terima. Senja itu kita pergi bersama.

Kita hanya duduk menikmati laut dan mentari senja. Tak banyak bicara. Namun tak ada kecanggungan. Mungkin kita hanya terlena oleh senja. Atau mungkin kita tak perlu kata untuk bicara.
Ada sesuatu yang hangat menyesap masuk ke dalam hatiku.

Senja yang hangat berlanjut kepada makan malam romantis. Entah kenapa aku menyebutnya romantis. Padahal tak ada kata romantis, tak ada tindakan romantis. Mungkin aku hanya terbawa suasana. Aku senang bisa makan malam beratapkan bintang, diterangi lilin, diiringi lagu yang tenang. Mungkin karena itulah aku menyebutnya romantis.

Lagi-lagi kita hanya diam.
Mungkin di antara kita sudah tak perlu kata.

"...seperti syair tak beraksara, seperti puisi tanpa rima, seperti itu aku padamu.."

Rabu, 15 April 2015

Karena Kita

"Aku capek"
"Hei"
"..."
Aku tersenyum.
"Apa?"
"Ingatlah kita"
"Tapi bagaimana dengan orang tuaku?"
"Ingatkah kamu ketika aku takut bilang ke orang tuaku bahwa aku tak mau dijodohkan? Bukankah kamu menyuruhku mengingat kita?"
"Tapi aku bisa apa? Masa depanku sudah gelap."
"Bukan masa depanmu, tapi kita. Dan kurasa tak akan gelap."
"Aku kehilangan pekerjaan."
"Tapi aku masih bisa bekerja. Kita masih bisa makan."
"Bagaimana mungkin aku menyuruhmu menjadi tulang punggung keluarga?"
"Bukan aku, tapi kita."
"Kakiku cacat."
"Tapi aku masih bisa menolongmu berjalan, dan kita akan tetap berjalan bersama."
"Tapi aku tak sanggup melihatmu menderita."
"Aku pun demikian. Jika harus menderita, bukan aku atau kamu, tetapi kita."
"Tapi..."
"Ingatlah kita. Ingatlah perasaan ketika kita berjuang melawan pertentangan keluarga kita. Kita sanggup kan? Bukan aku atau kamu yang sanggup, tapi kita. Ingat dan rasakan bagaimana melewatinya. Ketika akhirnya dengan lembut engkau mengecup keningku dan meminangku. Itu kita."
"Tapi aku tak tahu harus berbuat apa."
"Tak perlu. Kita akan menemukan jalannya."

Flash Fiction ini ditulis untuk mengikuti program #FF2in1 dari www.nulisbuku.com di Facebook dan Twitter @nulisbuku

Kotak Itu Terbuka Lagi


Sore yang berbeda ketika akh melewati jalan ini lagi. Ini tepat ketika senja merekah seperti waktu itu. Waktu kita jalan bersama.
Sudah lima tahun. Sedah banyak yang berubah di sini. Jalanan tak serimbun dulu. Waktuku pun terus terburu oleh pekerjaan. Jarang sekali aku menikmati matahari ketika aku melewati jalan ini. Biasanya sudah gelap.
Kali ini senja tersenyum. Sama seperti dulu. Seolah mengingatkan aku akan persahabatan kita. Tentang cintaku yang tak pernah bersambut gayung. Tentang doa-doa tiap malam yang kupanjatkan. Tentang harapan dan cita-cita yang sering kita bagi bersama. Lalu aku ingat sebuah puisi yang sampai beberapa bulan kusimpan dalam dompetku. Puisi tentang kita. Tentang janji bahwa kita tak akan saling meninggalkan. Janji untuk selalu ada bersama dalam doa.
Kertas itu telah usang. Kini telah masuk ke dalam kotak bersama seluruh kenangan bersamamu. Namun, senja kalk ini berhasil menemukan kunci untuk membuka kembali kotak itu. Kenanglah, kawan. Kenanglah dalam ingatan.


Flash Fiction ini ditulis untuk mengikuti program #FF2in1 dari www.nulisbuku.com di Facebook dan Twitter @nulisbuku

Minggu, 12 April 2015

Selamat pagi, kamu yang selalu terbang

Memandangmu terbang, menyenangkan.
Menunggumu hinggap dan berceloteh, menyenangkan.
Hanya membayangkan saja, menyenangkan.

Aku ini dahan yang tak akan terbang. Tak mungkin.
Sekalinya aku merasa terbang adalah ketika engkau hinggap dan berkicau.
Mendengar kicaumu, serasa terbang.
Ceritamu, membuatku berangan.
Namun, aku tetap terkekang dalam indukku.

Hai, kamu yang selalu terbang..apakah tak lelah?
Tak maukah kamu membangun sarang?

Pagiku datang kembali.
Membawa angan dan tanya, akankah kamu hinggap lagi?

Aku, sang dahan, yang tak mungkin kamu bawa terbang.
Hinggap dan buatlah sarang.


*) terinspirasi dari lagu "Aku dan Burung" oleh Dialog Dini Hari

Jumat, 13 Maret 2015

Untuk Kamu Yang Sombong

Aku merindukanmu dengan cara tertawamu yang sombong
Aku merindukanmu dengan cara bicaramu yang sombong
Aku merindukanmu dengan cara mengasihimu yang sombong

Caramu menceritakan diri bukanlah kesombongan tetapi kepercayaan terhadap dirimu
Caramu melihat segala sesuatu bukanlah kesombongan tetapi pandangan dari sisi lain
Caramu berekspresi bukanlah kesombongan tetapi spontanitas tanpa maksud lain

Aku menantikanmu di sini
Aku menunggu seperti ketika dulu aku memintamu menemuiku dengan segera
Aku masih di sini

Jika jiwa ini dapat terbang, aku pastikan kamu yang pertama ia tuju
Jika hati ini bisa berbicara, aku pastikan hatimulah yang akan diajak bicara

Aku tau, kamu tak sombong
Aku tau, kamu tak seperti yang terlihat secara sekilas mata
Dan yang terlebih penting...
Aku tau, aku masih mengasihimu

Minggu, 15 Februari 2015

Aku Ingin Tidur

Aku ingin tidur. Biar tak ada lagi yang kupikirkan. Tak akan aku ingat lagi perkataan yang menyakitkan.

Punya ingatan yang kuat kadang menjadi menyebalkan ketika teringat akan hal-hal yang tidak mengenakkan. Dan aku masih dengan jelas mengingat setiap detil percakapan siang itu. Percakapan yang pada awalnya menyenangkan karena terjadi di antara teman seangkatan dan lama tak dilakukan menjadi menyebalkan.

Aku hanya ingin tidur.
Biar lupa.
Biar tenang.
Biar senang.

Rabu, 21 Januari 2015

Zombie Pagi Ini

Aku di pagi ini seperti zombie. Badan di depan komputer, setengah nyawa terbawa kantuk, setengah semangat tertelan sepi, setengah hati tertinggal di alam mimpi.
Mengapa mata tak mau terpejam ketika dia sudah lelah? Mengapa otak menahan kantuk untuk bersemayam dalam tidur?
Hati. Salahkan hati. Dia yang punya andil paling besar di antara mereka. Dia yang membanjiri mata dengan air. Dia yang memenuhi otak dengan pemikiran.
Tapi hati menyangkal. Salahkan juga mata. Mengapa mata mau terhasut olehku? Itu salahnya sendiri. Siapa suruh mata nekad terbuka untuk melihat sesuatu yang tak perlu.
Salahku? Aku hanya diperintah otak. Tugasku meneruskan kemauan si otak. Salahkan dia. Mana mungkin aku berkuasa atas diriku. Otak yang salah. Mengapa dia terus ingin tahu. Mengapa dia terus berpikir. Aku pun terganggu ketika tiba-tiba dalam tidurku otak membangunkanku dengan mimpi buruknya. Salahku kah?
Terus saja menyalahkanku. Terus saja berkata aku yang punya kendali. Tak tahu kah kalian bahwa aku berpikir karena diintimidasi oleh hati? Aku tak punya rasa. Jika aku ingin tahu, siapa yang membuatku merasakan? Bukankah hati? Aku pun lelah. Mengapa aku harus berpikir? Mengapa aku harus merasa?
...
Kita memang salah. Kita yang membuatnya seperti zombie. Lihatlah matanya. Menghitam di seputarannya. Lihatlah hatinya. Sekali sentuh pasti akan hancur. Lihatlah otaknya. Tak bisa fokus dengan pekerjaannya. Otaknya memikirkan hatinya. Dia adalah kita.
...
Hati, otak, mata, bekerja samalah, aku mohon.