Jumat, 21 Desember 2012

Antara simpati dan penggangu

Garuda Indonesia, 22 Desember 2012
Tentu saja aku tak menulis ini di pesawat. Aku mematikan hp ku, dan tak ada apa pun yang dapat kujadikan tempat menulis. Dan begitu sampai di stasiun, aku harus menunggu sekitar 45 menit untuk kedatangan kereta yang akan membawaku ke solo. Jadilah waktu ini kumanfaatkan untuk menulis.
Penerbanganku kali ini agak sedikit tidak biasa. Dimulai dari perubahan letak terminal kedatangan (walaupun itu hanya sementara) sampai kejadian ada yang sakit di dalam pesawat.
Hal yang menarik yang akan kuceritakan adalah ketika seorang penumpang pesawat tiba-tiba terserang sesak nafas. Menarik yang kumaksud bukanlah tentang sakitnya, tetapi respon orang-orang di sekitarnya, termasuk aku.
Ketika mendapat laporan bahwa ada satu penumpang yang sesak nafas, awak pesawat segera mengumunkan barangkali ada seorang dokter di antara penumpang yang dapat membantu. Dan, ya, memang ada sepasang suami istri yang berprofesi sebagai dokter. Mereka kemudian memeriksa sang penumpang tadi.
Orang-orang yang duduk di sekitar kursi penumpang yang sesak nafas memberikan respon berbeda-beda. Ada yang ingin menolong sampai berdiri di kursinya (kebetulan ia duduk di depan pasien), ada yang hanya berdiri melihat karena tak tahu harus berbuat apa, ada juga yang diam dan memperhatikan. Aku sendiri memilih diam dan menperhatikan. Dalam pikiranku, ini di pesawat, tidak bisa sembarangan bergerak atau berdiri, sedangkan aku tak bisa melakukan apa-apa, lagi pula sudah ada dokter. Aku pikir, dengan diam berarti aku ikut membantu. Karena jika aku ikut mendekat dan tak melakukan apa-apa, kupikir itu malah mengganggu. Dan benar saja. Beberapa orang yang sempat berdiri dan mendekat ke pasien, namun tak melakukan apa-apa, akhirnya malah mengganggu. Pramugari tak bisa lewat, ruangan untuk pasien menjadi lebih sumpek, dan menjadi lebih ribut.
Aku jadi berpikir, terkadang, rasa simpati yang tak bisa diwujudkan dengan perbuatan, sebaiknya disimpan dalam diam. Itu lebih baik dan lebih membantu, bukan malah mengganggu.

Selasa, 18 Desember 2012

Kado Impian-Kado Natalku Datang Lebih Cepat

Desember. Kata orang, bulan penuh keajaiban. Kata orang, bulan penuh kasih. Buatku, ini seharusnya bisa menjadi sama dengan bulan-bulan yang lain.

Bulan Desember tahun ini menjadi sedikit berbeda bagiku. Sama-sama sibuk mempersiapkan Natal, tetapi beda rasa. Seperti ada rasa baru yang muncul dalam kesibukanku tahun ini. Rasa syukur akan banyak hal yang mungkin bagi beberapa orang dianggap kecil, tetapi aku senang mendapatkannya.
Tanggal 15, 17, dan 18 Desember 2012, gerejaku mengadakan kunjungan ke YPAC dan dua panti asuhan untuk memberikan kado impian bagi mereka. Kegiatan ini kami namakan Kado Impian. Tahun lalu, kami juga melakukannya, tapi aku tak turut serta dalam persiapan kegiatan ini. Dan sekarang, aku diberi kesempatan untuk mengikutinya, mempersiapkan dari awal perencanaan, pengumpulan kado, menyusun cerita untuk panggung boneka, bahkan diberi kesempatan untuk memainkan boneka di panggung boneka. Tentu saja, tak semua itu kulakukan sendiri. Aku hanya berpartisipasi, memberi apa yang bisa kuberi, melakukan apa yang bisa kulakukan.
Mungkin sedikit yang bisa kulakukan dan kuberikan untuk kegiatan ini, tapi banyak sekali yang aku dapat dari kegiatan ini. Terkesan tak adil. Memberi sedikit, tetapi menerima banyak. Tapi aku tahu, Tuhan tak bermaksud untuk tak adil. Ini anugerahNya.
Rata-rata yang turut dalam kepanitiaan Kado Impian ini adalah orang baru, dalam artian, sebagian dari kami memang baru aktif dalam kegiatan gereja, atau baru pindah ke bali, atau baru terlibat dalam kegiatan semacam ini. Aku pun orang baru dalam komunitas ini. Inilah kado pertama yang kudapatkan. Teman-teman dan saudara-saudara baru.
Bekerja dengan orang baru selalu mempunyai kesenangan dan tantangan tersendiri. Namun sejauh ini, yang kurasakan adalah sukacita. Mungkin karena kami memang berkomitmen untuk melakukan kegiatan ini. Kado kedua: suka cita dalam mengerjakan sesuatu.
Dalam mempersiapkan kegiatan ini, ternyata banyak kegiatan lain yang juga kukerjakan. Mempersiapkan kunjungan ke LP anak, mempersiapkan Natal di kantor, dan kegiatan-kegiatan rutin lainnya. Cukup menyita energi dan pikiranku. But, thanks to God, aku masih bisa mengatur waktuku sehingga semua kegiatanku berjalan dengan baik. Kado natal ke tiga.
Persiapan Kado Impian ini cukup banyak. Dari mengumpulkan data tentang kado impian anak-anak, mendata donatur, membelikan kado-kado yang tak sempat dibelikan oleh donatur, sampai latihan untuk pertunjukan panggung boneka. Tidak semua dari kami terbiasa melakukan persiapan-persiapan ini. Ada yang baru mulai belajar menjadi pengiring/pemusik, ada yang baru pertama menjadi pembawa acara anak-anak. Dan aku sendiri, ini pertama kalinya aku memainkan boneka. Tapi, sekali lagi kukatakan, ada suka cita yang kami rasakan. Aku belajar memberi yang terbaik yang bisa kulakukan. Selalu ada yang pertama untuk segala sesuatu. Jika yang pertama belum terlalu baik, itu adalah awal pembelajaran.
Tiba waktu kunjungan, adalah hari yang menyenangkan. Aku sungguh senang melihat senyum dan tawa anak-anak ini. mereka banyak memberikan pengalaman kepadaku (atau mungkin juga kami). Memang, kami memberikan kado impian mereka, tetapi yang kami dapatkan jauh melebihi apa yang kami berikan.

Hmmm..jika kuhitung-hitung, rasanya akan banyak sekali kado natal yang telah kudapatkan. Aku telah mendapatkan hadiah Natal sebelum tanggal 25. Aku tak tahu apakah aku akan mendapatkan banyak hadiah lagi esok hari. Yang aku syukuri, aku telah menerima kasih dan pembelajaran beberapa hari ini.

Terima kasih Tuhan, terima kasih adik-adik, terima kasih teman-teman dan saudaraku. Kiranya kasihNya tinggal dalam hati kita semua.

Senin, 17 Desember 2012

Susi

Hai! Namaku Susi. Teman-temanku menganggapku tak bisa apa-apa. Tak cantik, tak pandai menari, tak bisa menyanyi. Aku sedang sedih karena teman-temanku tidak mengajakku untuk bergabung dalam kegiatannya. Alasannya, seperti yang telah kusebutkan di atas. Aku tak cantik, tak pandai menari, tak bisa bernyanyi. Teman-temanku ingin mengikuti audisi girlband, jadi mereka butuh seorang yang cantik, pandai menari dan bisa bernyanyi.
Aku dan teman-temanku sudah lama berteman. Sudah sejak kecil. Tapi hanya demi sebuah audisi, mereka menggantiku dengan orang lain. Aku hancur hati. Aku mulai berpikir apa yang mereka katakan itu benar. Aku tak cantik, tak pandai menari, dan tak bisa bernyanyi. Aku mulai tak bersyukur dengan apa yang kupunya.
Lalu aku bertemu dengan Alan dan seorang kakak. Alan sedang bermasalah dengan pelajaran di sekolah. Dia mendapat nilai jelek dan itu membuatnya malas pulang karena takut dimarahi orang tuanya. Kami berbincang bertiga. Dalam perbincangan kami, kakak tadi mengusulkan agar aku mengajari Alan karena aku pandai dalam pelajaran.
Perbincanganku dengan Alan dan seorang kakak tadi menyadarkanku bahwa manusia sering menilai apa yang terlihat. Tetapi sesungguhnya kita berharga di mata Tuhan.
Mungkin bagi teman-temanku, aku tak layak masuk dalam kelompok mereka, tapi bagi Alan, aku bisa menolongnya untuk lebih maju. Biar saja orang menilai aku tak bisa apa-apa, tapi setidaknya aku berguna.
Lihatlah! Bukankah sebenarnya aku cantik? Lihat senyumku! Manis kan? :)
***
Susi. Boneka yang kuperankan sewaktu kunjungan ke panti asuhan. Pertama kalinya aku bermain dalam sebuah pementasan panggung boneka. Tak terlalu sulit karena aku tak harus menghafal naskah, tak harus berekspresi. Naskah kami tempelkan dibalik panggung. Aku tak akan kehilangan kata-kata dan penonton pun tak tahu aku sedang membaca. Kesulitan yang kuhadapi adalah ketika orang di luar panggung boneka berinteraksi yang tidak sesuai dengan naskah. Itu berarti aku harus mengembangkan sendiri percakapan yang ada. Untungnya, aku tak kelihatan, jadi ketika aku bingung pun, penonton tak akan tahu. Selain itu, ternyata bermain dengan boneka yang seperti wayang juga membutuhkan tenaga ekstra pada lengan. Aku harus mengangkat tanganku selama Susi pentas. Mungkin sekitar 15 menit. Coba saja, kau akan merasakan pegalnya.
Memerankan Susi mengingatkanku pada diriku sendiri. Aku sering merasa tak percaya diri. Merasa tak bisa apa-apa. Tak cantik, tak punya suara bagus. Sempat aku merasa sangat-sangat rendah diri. Tapi suatu waktu, ada seseorang berkata: "rendah diri adalah bentuk lain dari kesombongan". Aku tak mengerti maksudnya. Yang aku tangkap bahwa Tuhan tidak suka kita menjadi sombong. Jika rendah diri adalah salah satu bentuk dari kesombongan, jadi pastilah Tuhan juga tidak menyukainya.
Memerankan Susi mengingatkanku kembali untuk lebih bersyukur dengan apa yang aku punya dan tidak merasa rendah diri. Ketika aku mulai merasa rendah diri, aku harus segera berpikir tentang apa yang aku punya dan apa yang telah aku lakukan. Aku punya orang-orang yang menyayangiku. Aku juga suka membuat orang lain senang. Melihat orang tersenyum atas apa yang kubuat, itu sudah cukup membuatku senang. Lalu, apa yang kurang? Masihkan aku harus membandingkan dengan orang lain? Jika membandingkan dengan orang lain membuatku maju, mungkin tak menjadi masalah. Namun jika dengan membandingkan aku malah menjadi rendah diri, sebaiknya aku tak membandingkan.

Kunjungan ke Panti Asuhan Ebenhaezer, Sesetan, Denpasar, 17 Desember 2012

Bertemu Kelly dan teman-temannya

15 Desember 2012
Hari ini aku bertemu dengan Kelly. Tak sendiri, ia bersama dengan teman-temannya. Aku tak dapat menghafal banyak nama, hanya nama Kelly yang masih kuingat dengan baik.
Hari ini Kelly bernyanyi bintang kecil. Lagu yang sudah biasa dinyanyikan oleh anak-anak. Tapi, kali ini menjadi istimewa karena dinyanyikan oleh Kelly.
Kelly adalah seorang anak penderita Down Syndrome, yaitu suatu kondisi keterbelakangan perkembangan fisik dan mental anak yang diakibatkan adanya abnormalitas perkembangan kromosom. Kromosom ini terbentuk akibat kegagalan sepasang kromosom untuk saling memisahkan diri saat terjadi pembelahan (Sumber: Wikipedia). Kelly dan teman-temannya bersekolah di YPAC, sekolah khusus untuk anak-anak berkebutuhan khusus.
Mengapa saya bisa mengingat nama Kelly, sedangkan nama anak lain tidak? Mungkin karena setelah kunjungan ke YPAC, temanku bercerita bahwa tadi dia sempat ngobrol dengan ayah Kelly. Dari cerita temanku, aku menjadi tahu bahwa Kelly tak dapat berbicara di umur yang seharusnya dia bisa berbicara. Dibutuhkan waktu yang panjang untuk belajar bicara. Namun, sekarang Kelly bisa bernyanyi. Tidak merdu. Tidak sejelas ketika kita berbicara. Tetapi orang tuanya sangat bahagia ketika Kelly bisa bernyanyi, apalagi bernyanyi di depan orang banyak. Dan itu terdengar jauh lebih merdu dari suara apapun.
Bukan Kelly sendiri yang memiliki kebutuhan khusus. Semua murid YPAC ini berkebutuhan khusus. Aku melihat beberapa anak harus memakai kursi roda. Ada juga yang harus memakai sepatu khusus. Ada yang tak pernah naik kelas karena keterbatasan dalam bidang ilmu pengetahuan. Namun, semua itu tak menjadikan mereka berbeda. Mereka tetaplah manusia. Sama seperti aku, dan kamu. Mereka berusaha, tmereka tidak pernah menyerah dengan kondisi mereka. Bahkan, kemarin sempat diumumkan bahwa banyak anak yang mempunyai prestasi di bidang olah raga dan seni. Ada yang biasa mengantongi medali emas di bidang angkat besi, ada yang jago melukis, dan masih banyak hal lain.
Di mata kita, mereka mungkin terbatas, tetapi Tuhan tidak pernah dibatasi oleh apapun. Karyanya nyata dalam mereka.
Kunjunganku ke YPAC ini membuatku belajar banyak hal. Belajar bersyukur, belajar berbagi, belajar untuk tidak menyerah dengan keadaan, belajar berserah pada Tuhan.
Masih ada 2 panti asuhan yang akan kami kunjungi. Aku berharap, aku mendapatkan makna dari kunjungan-kunjungan nanti.

Kamis, 06 Desember 2012

Ayah

Apa itu ayah?
Bagaimana rasanya punya ayah?

***

Aku memang tak pernah merasakan bagaimana mempunyai seorang ayah. Namun aku bukan seorang yang dilahirkan tanpa ayah.
Ayahku meninggal ketika aku masih sangat kecil. Sekitar umur 4 tahun, atau mungkin belum sampai 4 tahun. Sayangnya aku tak ingat persis tanggal berapa ayahku meninggal. Aku tak akan menyalahkan ibuku yang tak pernah memberitahu kami tanggal berapa ayah meninggal. Aku pun tak berani menanyakannya. Aku pernah tahu tanggal meninggalnya ayahku lewat guntingan koran/majalah yang memuat berita kematiannya, tapi sepertinya aku tak bisa mengingatnya dengan baik. Mungkin bagiku, tanggal itu tak berarti apa-apa. Mungkin terkesan jahat, tapi inilah yang aku rasa. Aku tak pernah mengalami kehilangan seorang ayah. Bukan aku merasa ia masih ada bersamaku atau aku tak peduli dengannya. Hanya saja, aku memang tak pernah merasakan kasihnya, kehadirannya. Bagaimana kau bisa merasa kehilangan sesuatu jika kau tak pernah memilikinya?
Hidup tanpa seorang ayah sudah kualami dari kecil. Dari aku belum mengerti apa artinya mati, hingga sekarang ini. Memang, ibuku menikah lagi. Tapi aku tahu, dia bukan ayahku. Bagaimana aku bisa menganggapnya sebagai ayah jika aku tahu dia bukan ayahku? Yah, aku tak pernah menyalahkan ayah tiriku jika aku tak bisa menganggapnya sebagai ayahku. Maaf, kenyataannya memang aku bukan anakmu.
Aku tak pernah merasa harus memaafkan jika seorang tiba-tiba menanyakan tentang ayahku dan aku jawab sudah meninggal, lalu mereka akan meminta maaf telah menanyakan hal itu. Buatku, itu tak masalah. Ayahku memang sudah meninggal, jadi aku tak perlu meratapi nasib dan mengasihani diri sendiri. Ini bukan pilihanku, aku bahkan tak bisa memilih apa pun atas takdir ini. Yang bisa kulakukan adalah menjalani hidupku tanpa ayah.
Pernah ada masa-masa di mana aku merindukan sosok seorang ayah. Merindukan rasa dikasihi dan disayang oleh seorang yang disebut ayah. Masa-masa di mana aku merasa iri melihat anak kecil bercanda dengan ayahnya. Perasaan ingin menangis ketika menyadari aku tak pernah merasakan masa-masa itu.
Tak kupungkiri bahwa aku pernah merindukan sosok ayah. Dan...yah, sekarang ini pun aku tiba-tiba merindukan ayah. Barusan aku melihat profile picture seorang teman di facebook yang memperlihatkan seorang anak digendong di punggung ayahnya. Rasanya menyenangkan punya tempat bersandar. Rasanya melegakan mengetahui bahwa ada punggung yang menopang dan memberi kekuatan. Sesaat, aku ingin berada di posisi anak itu. Digendong seorang ayah, memeluknya, merasakan aliran kekuatan dari kasihnya, dan merasa bahwa semua akan baik-baik saja.
Tapi...semua ini hanya anganku. Secara nyata, aku tahu bahwa aku tak akan pernah merasakannya. Tapi aku percaya, Bapaku masih terus menyediakan punggungnya untuk menggendongku. Dan dia akan memberiku kekuatan untuk melangkah menjalani hidup, serta memastikan semua akan baik-baik saja.

***

Yang kukasihi, ayahku..
di mana pun engkau berada..

Aku tahu kau tak lagi bisa mendengarku,
Kau tak lagi bisa memelukku,
Aku tahu aku tak lagi bisa mengingat rupamu,
Aku pun tak terbiasa memanggil namamu.

Tak peduli seperti apa engkau dulu,
Tak peduli bagaimana lakumu waktu itu,
Dalam benakku, engkau tetap ayahku..

Ini rinduku,
Ini rasaku,
Biarlah ia terbang kepadamu..

Aku mengasihimu

***

Rabu, 05 Desember 2012

Gadis dalam gelap

Ruang ini gelap. Namun aku masih dapat melihat seorang gadis terduduk di sudut ruang ini. Bukan maunya untuk di sana. Bahkan mungkin ia tak sadar kalau sekarang dirinya sedang duduk di sana. Pandangan matanya kosong. Seolah tak ada jalaan di hadapannya.
Mungkin dia ingin terbang menangkap asa dalam impiannya. Tapi ia terkurung dalam jerat janji yang dibuatnya. Ia harus mematuhinya.
Sayapnya tak dapat terkembang sempurna. Sudah sering ia mencoba terbang, tapi tak sampai tinggi, ia telah jatuh kembali ke tanah. Tubuhnya letih, penuh luka akibat kejatuhannya.
Sekarang ia hanya dapat terduduk. Sesekali ia memandang ke atas, kepada mimpinya. Namun, tak lama kemudian ia telah memeluk lututnya, menggigil dan menangis.

Gadis dalam gelap, aku tak dapat menolongmu. Maafkan aku. Sabarlah. Tinggal sebentar janji itu boleh kau lepas. Dan setelah itu kau bisa terbang tinggi. Menuju asa, meraih mimpi.

Selasa, 06 November 2012

Percakapan dengan hujan

Pagi ini hujan datang kepada peri kecil.
"Hai, hujan. Pagi sekali engkau datang."
"Tapi waktuku tepat. Engkau belum pergi ke anganmu."
"Ada perlu apa denganku?"
"Memberi apa yang engkau sukai."
"Ah, aku selalu menyukai kejutan darimu."
"Maka tutuplah matamu"
"Hei, dingin sekali tanganmu."
"Itu caraku menggandengmu."
"Hmm..kakiku tak merasakan bumi lagi, akan kau bawa ke manakah?"
"Suatu tempat yang indah pastinya."
"Tapi aku basah."
"Maka menarilah."
"Bersamamu?"
"Tentu saja."
"Hujanku, aku merindukanmu. Aku merindukan tarianmu."
"Peri kecilku, aku pun merindukanmu. Maka kubawa engkau pada pelangi. Bukalah matamu dan menarilah bersamaku"

Senin, 22 Oktober 2012

Perenungan diri

Pagi ini aku tiba-tiba merenung. Bukan dalam keadaan sepi aku merenung. Tetapi perkelahian hati yang membuat merenung.
Aku mempunyai banyak teman. Aku berani berkata demikian karena memang aku merasa punya banyak teman. Namun, tidak semua teman itu dekat. Tidak semua teman itu bisa aku jadikan tempat berbagi. Dari banyak teman ini, ada beberapa orang yang melintas di kepalaku pagi ini.
Pagi ini aku membuka fb ku dan aku menemukan seorang teman yang pernah dekat (entah masih akan dekat atau tidak nantinya, saya tak tahu) menulis sebuah cerita pendek. Kata-katanya cukup enak dibaca. Dalam hatiku, aku mengakui kalau karyanya cukup bagus. Tapi entah karena apa. Mungkin karena iri, atau memang aku sedang tidak suka dengannya, sehingga apa yang dia lakukan selalu membuatku berpikir negatif. Ah, kuharap aku bisa dengan cepat menghilangkan pikiran negatifku.
Aku tak membaca keseluruhan karya temanku ini. Aku malas. Maaf. Lalu aku jadi berpikir, aku memang suka menulis, tapi apakah dalam setiap tulisanku aku memberi makna? Apakah orang lain akan suka dengan tulisanku.
Aku teringat dengan sebuah acara TV yang kutonton kemarin. Pembawa acaranya sempat berkata "jika kita mempunyai cita-cita atau mimpi ingin sukses, kita harus spesifik mau sukses di mana."
Selama ini aku berharap aku bisa sukses dengan hobiku menulis. Ingin bisa melahirkan karya-karya yang disukai banyak orang. Ingin menjadi penulis terkenal. Lalu apa? Apa yang akan aku lakukan? Sudahkah aku bermimpi sukses yang spesifik?
Pikiranku masih melayang-layang, berputar-putar dan meikirkan banyak hal. Aku terpikir oleh tulisan adik kelasku. Dia temanku dalam menulis. Dia banyak membantuku untuk tetap menulis. Dan setelah membaca tulisan terakhirnya (sebelum aku menulis ini) aku semakin bertanya-tanya tentang diriku sendiri.
Sebetulnya, apa yang aku inginkan?
Apakah menulis memang sudah menjadi passion ku?
Atau menulis hanya menjadi hobi sementara yang akan kukejar sementara juga?
Bisakah aku tetap menulis dan menyukai menulis?
Apakah aku bisa membuat tulisan-tulisan yang mempunyai nilai di dalamnya? Tulisan yang bisa memberi semangat, tulisan yang bisa memberi kekuatan, tulisan yang bisa menghibur, tulisan yang bisa menolong orang lain?
Aku tak tahu..
Saat ini aku sedang mencoba menyusun sebuah tulisan untuk diikutsertakan dalam lomba. Aku memang berharap menang. Setidaknya, ada yang akan memuat karyaku. Tapi apa yang kulakukan sekarang? Aku melihat diriku. Aku mendapati diriku sedang bersantai-santai dan menunda-nunda diri untuk menulis. Apa ini yang namanya passion?
Kesuksesan tidak didapat secara kebetulan. Tidak datang seperti keberuntungan Untung Bebek. Sukses harus diraih dengan perjuangan, maka ia akan menghasilkan buah yang lebih manis daripada buah sebuah keberuntungan.
Lihatlah adik kelasmu itu.  Suatu saat dia pasti jadi orang hebat. Dia punya keberanian, dia punya tekad, dia punya semangat.
Kalau memang bukan ini jalanmu, carilah jalan di mana kau bisa menjadi sesuatu yang berguna.
Berjuanglah!!!

Minggu, 21 Oktober 2012

Jika sedih, menulislah..

Apa yang akan kamu lakukan jika kamu merasa sedih?

Dulu, mungkin aku akan menangis. Menangis memang membantuku mengurangi beban hatiku. Tapi entah kapan tepatnya aku lupa, aku pernah merasa tak bisa menangis, padahal hatiku sangat sedih. Mungkin saking sedihnya sehingga aku tak dapat mengeluarkan air mataku.
Waktu itu aku hanya bisa berdiam. Tak menangis, tak melakukan apapun. Pernah aku paksakan untuk menangis. Kupikir aku akan lega setelahnya. Ternyata aku keliru. Aku hanya bisa mengeluarkan air mata dari mataku, bukan dari hatiku. Aku tak berhasil mengeluarkan kesedihanku dari hatiku.

Pernah juga aku mencari "tempat sampah" untuk membuang kesedihanku. Aku bisa melakukannya kepada temanku. Aku menceritakan semua kesedihanku. Aku mengeluh, aku marah, aku tumpahkan semua kesedihanku. Tapi, suatu saat aku sadar, tak seorangpun bisa selalu ada untuk orang lain. Ya, memang tidak ada. Bahkan ketika seorang sahabat menjanjikan akan selalu ada, akan selalu mendengarkanku, suatu saat ia lupa dengan perkataannya itu. Ia mengeluhkan mengapa aku terus saja bercerita hal yang menyedihkan, dan ketika aku senang aku tak bercerita padanya. Bukan maksudku tak bercerita juga sih sebenarnya, tapi ya, mungkin saja aku lebih membutuhkan telinga ketika aku merasa sedih. Sejak saat itu, aku berjanji pada diriku sendiri, tak akan menceritakan hal sedih yang kurasakan kepadanya. Biar saja kusimpan sendiri.

Dan akhirnya aku menemukan cara yang sampai saat ini aku anggap cara yang ampuh untuk menumpahkan kesedihanku. Aku lupa tepatnya kapan aku menemukan cara ini. Menulis.
Aku lupa apakah aku membaca atau ada yang mengatakannya padaku, "Jika sedih, menulislah".
Aku merasakan cara ini sangat hebat. Aku bukan hanya bisa mencurahkan semua yang ada di hatiku tanpa takut dikeluhkan. Tulisan tak akan bisa bilang bosan. Tulisan tak akan menolak apa pun yang kita tulis. Dan satu hal lagi, ketika kita bisa menyalurkan perasaanku dengan benar, aku akan menghasilkan karya yang mungkin saja berguna bagi orang lain. Jadi, mengapa tidak aku terus menulis. Menulis membantuku dalam banyak hal. Dan aku berharap suatu saat, tulisanku akan menjadi karya yang dikenal dan dikenang oleh banyak orang.

Mari menulis.

Rabu, 17 Oktober 2012

Merindukanmu dalam kenanganku

Oktober sudah melewati lebih dari setengah perjalanannya. Dan sekarang belum hujan. Belum ada kenangan indah tercipta dengan hujanku.

Hari ini hanya ada rintik gerimis mengawali hari, bukan hujan. Aku mengawali hariku dengan berlari mengelilingi lapangan. Aku baru memulai kebiasaan ini kemarin. Lumayan untuk membakar lemak-lemak yang menempel di perutku.
Ini masih terlalu pagi untuk merusak mood. Tapi, yeah, i did it. Aku telah merusak moodku sendiri. Lagi, dan lagi, aku teringat akan masa laluku. Sebetulnya masa lalu yang indah dan menyenangkan, tetapi merusak moodku pagi ini.

Entah angin apa yang bertiup pagi ini. Sekonyong-konyong bertiup di pikiranku kenangan-kenangan di Jogja. Waktu itu kau masih berada di luar kota. Aku ingat kau meneleponku lama sekali. seolah kau benar-benar merindukanku. Dalam percakapan itu kau terus saja memintaku untuk ke kotamu. Aku memang akan ke sana mengunjungimu, tapi itu masih beberapa hari lagi. Kau terus merengek untuk segera bertemu.

Aku senang kau merindukanku. Aku senang kau menyayangiku, waktu itu.

Sekarang aku telah berada di kotamu. Tapi tak pernah lagi kau meneleponku, apalagi merindukanku.

Tapi...ya sudahlah. Hari ini tak harus menjadi hari yang buruk kan? Maka sebaiknya aku terus berlari dan berharap angin membawa kenangan akanmu pergi dari pikiranku. Kiranya angin juga menyampaikan kerinduanku padamu. Bukan aku menginginkanmu. Kau sudah menjadi miliknya. Aku hanya merindukanmu dalam kenanganku.

Senin, 15 Oktober 2012

Adel

Denpasar begitu panas siang ini. Matahari serasa tengah beria-ria, memancarkan senyumnya ke seluruh bagian kota. Sejenak aku menghentikan sepedaku di bawah pohon yang cukup besar. Ah, segar sekali rasanya di sini. Bayangan pohon begitu baiknya meneduhkanku. Aku melepas topi pemberian sahabatku yang selalu kupakai ketika aku mengerjakan tugasku. Aku beristirahat sejenak sambil mengira-ngira berapa jumlah uang yang kudapat hari ini. Koranku sudah habis di tengah hari ini. Aku bersyukur sambil tersenyum.
Aku berniat meninggalkan tempatku beristirahat tadi ketika tiba-tiba ada anak kecil berlari menghampiriku. Dia tersenyum. Aku merasa aneh. Aku tidak mengenalnya, tapi mengapa ia tersenyum ke arahku. Lalu anak itu langsung duduk di sebelahku tanpa rasa takut.
"Kakak mau permen?", katanya riang sambil menyodorkan sebungkus permen dari kantongnya.
"Kakakku sangat suka permen ini. Kakak pasti juga suka" tambahnya lagi.
Karena merasa tak enak, akhirnya aku mengambilnya.
"Kakak mau gak, jadi kakaknya Adel?"
"Memangnya kakaknya Adel ke mana? Apa dia gak marah kalo kakak jadi kakaknya Adel?"
"Itu kakak Adel" jawabnya sambil menunjuk ke arah sebelahku. "Tapi kakak gak pernah mau main lagi sama Adel. Kakak cuma diem aja. Cuma senyum dan duduk bareng Adel aja kalo Adel lagi main."
Aku menengok ke arah yang ditunjuk anak itu. Aku tak melihat siapa pun ada di sana. Tiba-tiba aku merinding. Tapi anehnya, aku tak ingin beranjak dari tempat itu. Aku merasa tak ingin meninggalkan Adel.
"Kak, boncengin Adel dong."
Perkataannya membangunkanku dari lamunan.
"Adel mau ke mana?"
"Ke situ kak. Adel mau ke tempat Nora."
Lalu aku memboncengkan Adel dengan sepedaku. Ia duduk di belakangku sambil bersenandung. Rasanya aku sering mendengar senandung itu, tapi aku tak tahu apa yang dinyanyikannya.
Tiba-tiba, "Brakk.."
Aku menengok ke belakang. Ke arah pohon tempat aku beristirahat tadi. Sebuah pick up menabrak pohon itu. Aku kaget bukan main. Beberapa menit yang lalu aku masih ada di sana. Jika bukan karena Adel minta diantar ke tempat Nora, aku mungkin saja belum beranjak dari sana.
Setelah beberapa detik, aku tersadar dari kekagetanku. Aku menengok ke boncengan sepedaku untuk memastikan Adel baik-baik saja. Tapi tak kudapati dia di sana atau di manapun. Semakin aku bingung bercampur kaget. Ada rasa takut terselip di sana.
Aku memutuskan untuk membeli minuman di warung dekat aku berhenti tadi. Seorang anak perempuan sebayaku melayaniku. Dia masih memakai seragam sekolahnya. Dia memandangku dengan tatapan sedikit khawatir. Mungkin wajahku yang pucat membuatnya membernaikan diri bertanya.
"Kamu tak apa-apa?"
"Ah, ehm, iya, tak apa. Aku hanya kaget saja. Aku tadi baru dari pohon itu sebelum pick up itu menabraknya."
"Kalo bagitu, duduklah dulu di sini sambil menenagkan hatimu. Aku masuk dulu ya, mau ganti baju. Nanti aku temani kamu."
Dia pun beranjak masuk. Tak sengaja aku membaca nama di bajunya, "Nora Adiarti".

Minggu, 23 September 2012

Sebentar Lagi Oktober

Sebentar lagi bulan Oktober. Biasanya aku tak berjodoh dengan bulan Oktober. Entah itu berjodoh dengan orang yang lahir di bulan Oktober, entah itu ada kejadian tak enak di bulan Oktober. Yang pasti, aku sampai saat ini merasa bulan Oktober tak berjodoh denganku.
Suatu saat, tak sengaja aku mendengar sebuah lagu dari The Rasmus yang judulnya "October and April". Aku jadi merasa lagu ini menggambarkan keadaanku. Ah, maksudku, bukan keseluruhan lagunya. Hanya bagian Oktobernya saja. Entah apa maksud lagunya, tapi buatku, Oktober digambarkan seperti malam gelap, dingin, tak ada bintang, dan hujan. Sama seperti oktoberku.
Oktoberku tahun lalu menjadi awal dari malam-malam gelapku tanpa bintangku. Aku menjadi lebih sering menangis sendirian. Aku mejalani hari-hariku dengan kehampaan. Itu berlangsung dalam hitungan bulan. Cukup lama memang.
Dua tahun yang lalu, aku juga ditinggalkan seorang yang dekat denganku. Tidak benar-benar meninggalkan. Tapi oktober itu kami bertengkar hebat. Dan butuh waktu yang lama untuk memulihkan komunikasi kami. Syukurlah sekarang kami bisa berteman lagi.
Oktober tiga tahun yang lalu juga menyisakan kesedihannya padaku. Sahabatku harus pergi meninggalkanku. Meninggalkan kota ini. Meninggalkan pulau ini. Dan meninggalkan perasaanku ini.
Beberapa orang yang terlahir di bulan Oktober, ternyata juga tak berjodoh denganku. Setidaknya ada 3 orang yang lahir di bulan Oktober yang pernah dekat, sangat dekat denganku, tapi tak pernah menjadi lebih dari teman.
Etah apa namanya. Kadang aku berpikir ini seperti kutukan bulan Oktober. Tapi aku tak mau dan tak berharap aku menjadi orang yang dikutuk. Aku tak mau mempercayainya sebagai kutukan.
Hari ini sudah memasuki minggu terakhir di bulan September. Itu berarti Oktober sudah dekat. Sebenarnya ada sedikit ketakutan dalam diriku ketika hendak memasuki bulan Oktober. Tapi jika kulihat lagi keadaanku saat ini, seharusnya aku tak perlu lagi takut menghadapinya. Aku tak sedang dekat dengan siapapun, jadi aku tak akan kehilangan siapapun.
Ah, ini hanyalah cerita tentang Oktober. Mungkin lain kali, aku akan menceritakan April, atau mungkin juga Juni. Tak usah terlalu dipikirkan. Hari esok mempunyai kesusahannya sendiri, dan bulan depan pun mempunyai kesusahannya sendiri.

Minggu, 16 September 2012

Malam ini cinta hendak berkenalan denganku

Malam ini cinta mengetukku melalui pintunya.
Namun aku belum mau membukanya.
Aku hanya mengintip dari balik tirai jendela.
Aku melihat sang cinta tersenyum lembut.
Senyum itu sungguh membuatku merasa damai.
Aku menyukai senyumnya.

Malam ini cinta tak memksaku membuka pintu.
Dia hanya datang berkunjung.
Dia berkunjung untuk sekedar berkenalan denganku.
Aku telah lama melupakannya.
Dan sekarang dia berkunjung untuk sekedar mengingatkan kembali akan namanya.
Aku menyukainya.
 
Namun, pintu ini masih tertutup, aku hanya mengintipnya.
Sabarlah cinta.
Mungkin jika kau sabar, aku akan membukanya untukmu.

Kamis, 13 September 2012

Wangi Hujan Pagi Ini

Pagi ini aku mencium aroma hujan. Aroma yang membuatku rindu akan kenangan-kenangan di waktu yang telah lalu. Bagiku, hujan selalu menyisakan kenangan. Entah kenangan sedih, menyenangkan, atau memalukan. Atau bahkan kenangan tentang peristiwa biasa, tetapi selalu membawa kerinduan.
Aku hanya mencium wanginya pagi ini. Karena ternyata pagi ini tidak hujan. Matahari bersinar hangat. Segerombolan awan membentuk barisan syahdu. Tidak mendung dan tidak hujan.
Aku melangkahkan kakiku keluar pintu ini. melewati jalan di antara rerumputan. Wangi. Dan...menenangkan. Seolah embun pun ikut memelukku. Kesejukannya membawa kedamaian di hatiku.
Sesaat aku tiba-tiba teringat akan masa kecilku. Saat aku berangkat sekolah. Saat aku bermain bersama teman-teman kecilku. Saat aku tertawa riang layaknya anak kecil. Saat tangisku hanya menjadi tangisan sesaat dan tak membekas menjadi tangisan hati. Saat semua terasa indah dan menyenangkan.
Aku bukan sedang membandingkan kehidupanku yang sekarang dengan masa kecilku. Aku juuga tak berkata bahwa kehidupanku saat ini adalah kehidupan yang menyedihkan. Bukan. Aku hanya merasa kebahagiaan anak kecil yang tanpa beban.
Aku menghirup aroma hujan sekali lagi pagi ini. Memejamkan mata. Dan kembali melangkah menjalani hidup.
Ini hanya wangi sesaat. Ini hanya kerinduan yang terbersit.

Senin, 03 September 2012

Sensasi terbang

Ini sudah kesekian kalinya aku naik pesawat terbang. Kali ini aku terbang bersama dua temanku. Aku duduk di bangku paling belakang. Kursi nomor 39C. Bukan tempat faforitku, tapi itu yang kudapat. Mungkin karena aku yang terlambat cek in, atau memang penerbangan sedang ramai. Atau mungkin itu sisa kursi yang memungkinkan untuk kami duduk bertiga.
Kami masih asik membaca bacaan masing-masing ketika awak pesawat mengumumkan bahwa pesawat akan tinggal landas. Tiba-tiba seorang temanku menutup bukunya. Terdiam dan memejamkan matanya.
"Kenapa?", tanyaku. Pertanyaan standar yang selalu kuajukan ketika aku tak mengerti dengan apa pun yang kuhadapi.
"Sensasi terbang", katanya.
Aku masih berusaha mengerti maksud kata-kata temanku. Tapi aku memutuskan untuk diam. Lalu, seperti biasa, pikiranku kemudian bertualang sambil mencerna makna dari sensasi terbang temanku.
Aku ikut menutup bukuku. Aku diam dari aktivitasku. Kemudian berusaha merasakan sensasi terbang yang dimaksud temanku. Tapi yang ada malah aku teringat banyak hal di waktu dulu.
Dulu, waktu kecil, aku sering keluar rumah ketika mendengar suara pesawat terbang lewat di atas rumahku. Kami, aku, saudaraku atau temanku, sering berlari hanya untuk melihat pesawat itu. Tak pernah terbayangkan olehku bahwa nantinya aku akan dapat menumpang di dalamnya. Tak hanya sekali-sekali, tapi kini kalau aku pulang ke rumah, aku harus menumpang pesawat terbang. Setidaknya tiga sampai empat kali dalam setahun aku pulang. Itu berarti harus naik pesawat terbang lebih dari lima kali. Belum lagi jika ada perjalanan dinas. Dulu, aku tak pernah membayangkannya.
Pikiranku juga membawa ingatanku kepada saat pertama aku aik pesawat. Waktu itu aku sudah kuliah. Dan untungnya aku tidak sendiri ketika itu. Jadi, tak terlalu canggung atau bingung ketika sampai di bandara. Tinggal mengekor temanku saja.
Lalu aku kembali ke masa sekarang ini. Aku mencoba merasakan sensasi terbang. Aku memejamkan mataku. menyandarkan badanku. Aku merasakan getaran-getaran pesawat yang hendak lepas landas. Hatiku ikut bergetar. Lalu terbayang banyak kejadian-kejadian buruk yang mungkin saja terjadi ketika aku berada dalam pesawat. Gagal lepas landas, mesin mati, kesalahan navigasi, atau bahkan ledakan. Menakutkan rasanya.
Lalu aku serentak membuka mataku.
Dalam hatiku berkata, "tidak akan terjadi apa-apa. Tapi jika memang terjadi hal buruk, memang sudah digariskan seperti itu."
Ya, aku menyadarinya. Aku tak bisa berbuat apa-apa. Tidak juga para pranugari, pilot, atau awak pesawat lainnya. Jika pesawat ini jatuh, tak akan ada yang bisa berbuat sesuatu. Hanya berserah dan berserah.
Sensasi terbang lain yang dapat kurasakan adalah ketika pesawat sudah mengudara tetapi cuaca buruk. Pesawat seperti bergoyang. Kadang terasa meluncur ke bawah. Jantung ini seperti tersangkut di awan sementara badan kita jatuh. Fiuhh...cukup menegangkan.
Dan ketika pesawat akan mendarat, aku pun merasakan sensasi lainnya. Bayangkan dirimu berada dalam sebuah mobil. Mobil itu meluncur dengan kecepatan tinggi, layaknya jet coaster. Tapi ini versi besar dari sebuah mobil. Tak selalu kau dapat melihat ke luar. Tapi kau tetap merasakan kecepatan super ini. Perut seperti ikut teraduk bersama lajunya.
Mungkin ini yang dimaksud oleh temnaku dengan sensasi terbang.
Mungkin lain kali kau pun akan merasakannya. 
Mungkin sama, mungkin juga berbeda.


Kamis, 30 Agustus 2012

Kopi Pagi Ini Terlalu Pahit

Aku meneguk kopiku pagi ini. Terlalu pahit. Tak tahu mengapa menjadi sepahit ini, padahal aku sendiri yang membuatnya. Memang tadi aku menambahkan bubuk kopiku lebih banyak dari yang biasa kubuat.
Aku menyesap seteguk wanginya. Pahit. Tapi aku menikmatinya.
Kepahitan ini seakan mewakili hariku yang telah lewat. Pahit yang akhirnya kunikmati.
Aku teringat akan kemarahanku. Akan kekecewaanku. Sahabat. Pacar sahabat. Teman. Saudara. Dan...kata anytime.
Demi apa seorang pacar dari sahabat ikut mengurusi permasalahanku. Kepedulian. Ok, terima kasih atas kepeduliannya. Aku harap kepedulianmu itu tak memojokkanku menjadi tersangka utama dalam drama persahabatan kami. Aku sudah cukup dipojokkan oleh sahabatku. Tak usah menambahi ruang pojok ini.
Maaf, aku tak bermaksud kasar terhadapmu wahai seorang yang peduli. Aku hanya sedang tak ingin disalahkan. Oleh mereka. Apalagi olehmu.
Ada suatu kesakitan dan kepahitan ketika seseorang menuduhmu memperlakukan sahabatmu sebagai teman. Penurunan derajat kemanusian, pikirku. Bagiku sahabat itu seperti berlian, dan teman hanyalah hadiah. Hadiah bisa berupa berlian. Tapi berlian, hanya dihadiahkan pada orang yang spesial. Sahabat yang sangat karib, bisa melebihi saudara.
Dan...mengapakah aku mendengar penawaran janji dengan embel-embel kata "anytime" lagi. Aku sedang tak bisa mempercayai kata-kata anytime. Buatku sekarang ini, manusia tak akan selalu ada bagi sesamanya. Pasti ada saat di mana seseorang yang dibutuhkan itu tak bisa ada untuk orang lain. Entah tak bisa atau tak mau. Sama saja. Itu berarti tak ada.
Hhh...ya sudahlah..mari menghabiskan kepahitan kopi pagi ini dan menyimpannya sebagai kenangan. Sepahit apa kopiku pagi ini, tak akan mengurangi rasa cintaku.
Have a nice day, sahabat.

Selasa, 28 Agustus 2012

Senewen

Bangun pagi-pagi saat liburan tu gak enak yaaa...seharusnya kan masih bisa bobo meluk-meluk guling sambil ngiler.
Dan aku jadi senewen sendiri pagi ini.
Pagi yang seharusnya indah karena terencana dengan bangun siang malah jadi pagi yang agak muram.

pagiku hilang ditelan awan..
mimpiku telah dicuri kemuraman..

aku marah terhadap malam
malam terlalu singkat menemaniku
aku marah terhadap pagi
terlalu cepat ia menjemputku

kawan sepi telah pergi

baiklah, aku bangun tembokku
tak usahlah kau pikir lagi aku membatasi
aku hanya ingin melindungi diri
karna tak sanggup lagi aku berbagi 

* senewen menurut kamus besar Bahasa Indonesia berarti (1) gugup; bingung; hilang akal; (2) agak gila

Malam ini, tentang kopi

Malam ini aku belajar tentang kopi. Ya, kopi.
Jika kalian pikir aku suka kopi, kalian benar. Tapi sesungguhnya aku tak benar-benar tau tentang kopi. Aku hanya menyukai rasanya. Aku tak pernah benar-benar tau tentang jenis-jenis kopi. Tak benar-benar tau tempat-tempat penyaji kopi terenak. Aku hanya menyukai rasa kopi.
Malam ini mungkin aku sedang beruntung, atau mungkin memang Tuhan hendak mengenalkanku pada kopi. Aku sedang pergi bersama temanku untuk mencari asesoris pelengkap baju pesta kami. Temanku yang lain akan menikah, dan kami diminta menjadi semacam penerima tamu atau pemberi souvenir pernikahan. Ya, semacam itu lah. Kami pergi ke sebuah mall dekat pantai di kota ini. Dan setelah mendapatkan apa yang kami cari, aku mulai lapar. Dan kebetulan temanku ingin mencoba kopi di food court mall itu. Yep...temanku ini pecinta kopi juga. Dan dia mendapatkan rekomendasi bahwa kopi tarik di tempat itu enak.
Tempat itu bernama Killiney. Setelah googling, ternyata killiney ini sudah ada di banyak tempat. Ah, ternyata dia ini berasal dari luar negeri. Pertama berdiri adalah di Killiney Road, Irlandia. Bahkan ini sudah berdiri sejak lama, tahun 1919. Tapi waktu itu belum berenama Killiney Kopitiam. Baru di tahun 1993 diberi nama Killiney Kopitiam. Yah, mungkin cukup segitu aja ya cerita tentang kopitiamnya. Karena aku bukan pengen membahas kopitiam. Aku hanya ingin berbagi rasa kopiku.
Aku memesan kopi tarik di Killiney. Aku memilihnya karena aku tau aku belum berani meminum kopi pahit tanpa gula. Dan tak kusangka, ternyata kopi tarik ini cukup pahit. Tapi entah kenapa aku jatuh cinta pada pahitnya. Rasa pahit ini seperti  kelamnya malam. Seperti pahitnya hati. Tapi tetap indah dengan bintangnya. Tetap manis dengan cintanya.
Lama kami berbincang sembari menghabiskan kopi kami. Mengobrol, bahkan menggosip. Tapi rasa kopi ini terus melekat. Seakan lidahku tak ingin terlepas dari pahitnya. Aku menysap kopiku sedikit demi sedikit. Dan aku belajar untuk meminum kopi. Ini baru namanya minum kopi. Bukan seperti yang kulakukan di kantor, menghabiskan kopiku bahkan ketika aku belum menikmatinya. Mungkin inilah alasan mengapa ngopi membutuhkan waktu yang lama. Mengapa tempat ngopi dibuat senyaman mungkin agar pendatangnya betah. Karena untuk menghabiskan secangkir kopi enak, membutuhkan waktu yang lama.
Hhh...ini sudah beberapa jam sejak gelas kopiku kutinggalkan. Aku tak menghabiskan kopiku tadi. Bukan karena kopinya tak enak. Tapi karena aku tak sanggup lagi menghabiskannya. Aku takut efeknya terlalu banyak untukku. Aku takut tak bisa tidur malam ini jika aku menghabiskan kopiku. Rasa ini masih tertinggal.
Kopi...aku hanya tersenyum dan berpikir...sepertinya kita berjodoh. Lain kali aku akan menemui rasa pahitmu lagi. membawamu dalam anganku. Mengajakmu dalam jalanku.
Selamat malam, kopiku.

Rabu, 22 Agustus 2012

Apalah ini

Selalu menyenangkan ketika mendengar kata Bali. Tapi buatku, itu semacam kata-kata sihir yang membangunkanku dari alam mimpi. Kata-kata yang akan mengantarku ke alam nyata. Bali. Tempatku bekerja. Yang artinya aku harus meninggalkan rumah, meninggalkan orang-orang yang kusayangi, meninggalkan kebiasaan bangun siang, meninggalkan kebiasaan tak mencari-cari makan di luar karena makanan sudah terhidang manis di meja makan.
Tapi, kembali ke Bali bukan hal yang terlalu buruk. Aku tak pernah benar-benar tersiksa karenanya. Seperti sore ini ketika aku harus kembali ke Bali. Kembali dari liburanku yang cukup lama, 6 hari...oh, tidak, bukan 6 hari...hanya 5 hari yang bertambah satu malam tanggal 17 kemarin. Aku sudah merasa cukup dengan liburanku, walaupun kalau ditambah libur lagi juga tak akan menolak.Hati ini sudah cukup terisi dengan kehangatan keluarga. Kehausan ini telah dipuaskan oleh kasih sayangnya.
Hari ini aku berangkat ke Bali dengan penerbangan sore. Waktu yang aku pikir pas untuk melakukan perjalanan. tidak terlalu terburu-buru, tapi juga tidak akan terlalu larut sampai di Denpasar.
Seperti waktu-waktu sebelumnya, penerbangan sore selalu membawa kisah yang menyenangkan. Menyenangkan bukan karena kejadiannya. Kejadian yang kualami justru jauuuuh dari menyenangkan. Tapi aku akan menganggapnya sebagi hal yang menyenangkan. Karena kalau kita tak melihat sesuatu yang menyenangkan, kita tak bisa menikmatinya. Bayangkan saja, hari ini aku harus berangkat, itu berarti hari ini juga aku harus membeli oleh-oleh. Daaaan....tau sendiri serabi notosuman adalah serabi yang sangat terkenal. Jadi aku harus antri untuk mendapatkan 7 kotak serabi. Tapi bukan hal yang membosankan kok. Wangi serabi membuatku betah berlama-lama duduk. Bukan cuma itu, aku juga harus berdiri selama di kereta dari Solo ke Jogja. Gak masalah juga, anggap saja kaya upacara, walaupun capeknya emang berasa. Lagian My Stupid Boss mau nemeni, berdiri sambil senyum-senyum sendiri lah akhirnya. Keluar pintu kedatangan, aku harus mengantri untuk memesan taxi. Antrian cukup panjang. Dan membawa 6 kotak serabi itu cukup berat ternyata. Di tengah-tengah mengantri, eh, ngeliat ada bapak tentara ganteng. Hahahaha...iya, ganteng. Aneh kan denger aku ngomong gitu. Ya, gak papa lah buat menghilangkan sedikit kebosanan waktu ngantri. Setelah mengantri cukup lama, akhirnya dapat juga taxinya. Dan jalanan macet panjang samapai simpang siur dong. Great. Capek tingkat dewa ditambah kelaperan. Ya udah, aku tidur aja di taxi. Habis itu, aku masih nganterin oleh-oleh ini. Sampai di kos udah cukup mo mati rasanya, tapi masih diajakin whatsappan (aplikasi semacam messenger gitu). Dan hasilnya, aku ngaco...sapa yang diajak ngomong, balesnya ke sapa, udah gak nyambung ni otak ama mata n tangan. Nah, bahasaku pun sekarang jadilah beda. Bodo ah. Sekali-sekali pake bahasa gak baku ah.
Yak, balik lagi lah kita ke hal-hal yang menyenangkan yang mo kubagi.
Hal yang paling menyenangkan adalah pemandangan sore dari atas awan. Kaya poto ini ni. Tapi keterpesonaanku melebihi poto itu. Yang asli jauuuuh lebih bagus. Gradasi sempurna dari biru sampai putih. Sinar matahari yang berkilauan. Awan putih yang menutup sempurna, kaya kapas atau mungkin kaya salju. Ditambah lagi puncak Gunung Merapi dan Merbabu. Pemandangan yang woow. Aku tak bisa mengatakannya lagi. Gak ada kata-kata yang pas untuk menggambarkannya. Beberapa saat setelah itu, matahari mulai turun. Jingganya benar-benar terlukis sempurna. Cuma Yang Sempurna yang bisa membuatnya. Jingga itu menggaris memberi batas antara langit dengan awan. Seakan-akan si jingga ini pembatas antara dunia atas dan dunia awan. Sayang aku lupa memotret si jingga ini. Nampaknya aku terlalu terpesona olehnya.
Kecapekan dan segala hal yang tidak mengenakkan yang kualami gak bisa menandingi keindahan yang kudapat. Jadi tak apalah aku capek-capekan, kelaperan juga, tapi aku masih melihat si jingga dan mentarinya.
Dan aku belajar, ketika kita melihat segala hal dari sisi yang menyenangkan, maka hal-hal yang gak banget pun gak akan bikin kita terlalu sedih. (kayanya ini otaknya nian lagi bener dan gak terlalu diintimidasi si emosi nih...biasanya juga keseringan melow gak jelas..hahha..)

Langit dan jingga.
Selalu membuatku terpesona. 
Selalu ingin mebagi keindahannya.
Entah kapan aku bisa membaginya dengan dia.
Suatu saat. 
Pasti

Sabtu, 11 Agustus 2012

Takdir, Cinta, dan Aku


Dunia ini memang tidak adil. Tidak bagiku. Mungkin adil bagimu.
Bagaimana aku bisa berkata dunia ini adil jika aku telah kehilangan keadilannya dari kecil. Dari aku belum bisa memegang telingaku tanda cukup usiaku untuk bersekolah.
Aku telah kehilangan bapakku sebelum aku sempat mengenalinya sebagai bapak. Sebelum dia mengajariku naik sepeda. Aku belajar bersepeda dengan saudara-saudaraku. Dengan gelinciran roda dari turunan gang depan rumah. Aku tak mengenal bapakku. Bagaimana ketampanannya menaklukkan hati ibuku, aku tak tahu. Bahkan tak ada foto bapak terpajang di dinding rumah kami. Bapak macam apa yang tega meninggalkan anak-anaknya yang masih perlu susu ibunya ini. Pastinya bapak yang dengan terpaksa meninggalkan dunia ini. Dipaksa oleh takdir.
Rasanya memang tak adil jika aku menyalahkan takdir. Tapi tak ada lagi yang bisa disalahkan tanpa perlawanan. Ya, takdir tak akan melakukan perlawanannya atau pembelaannya untuk setiap persalahan yang ditujukan padanya. Jadi mungkin memang lebih baik menyalahkan takdir. Menyalahkan takdir bukan berarti menyalahkan Tuhan. Tuhan telah berkuasa atas semua yang ada. Dia berhak memberlakukan apa saja. Tak pantas menyalahkan Tuhan.
Ketidakadilan dunia ini mungkin seorang pendendam. Dia mengikuti dan menghantuiku sesering dia bisa. Sesuka dia mau. Tak memandang berapa umurku. Tak melihat apa yang aku mimpikan.
Aku didiskriminasikan. Itulah yang kurasa. Aku dibedakan dengan orang lain. Aku dibedakan dengan temanku, aku dibedakan dengan sudaraku. Aku dibedakan oleh takdir.
Takdirku adalah perempuan. Takdirku adalah menjadi yang kedua. Takdirku tak mengijinkanku untuk berpikir aku ini hebat.
Orang sekitarku mendukung takdir untuk menilaiku. Membuatku ciut menghadapi masa depanku. Aku tak diijinkan bermimpi. Lalu bagaimana aku bisa mengejar mimpiku.
Aku menjadi pengikut takdir saudaraku. Aku menjadi yang kedua setelah dia. Aku dipaksa berpikir diriku tak lebih hebat dari saudaraku. Aku selalu ditekan untuk tak melampauinya. Ini dibuktikan dengan prestasiku. Beberapa adalah di bawah saudaraku. Memang, beberapa lagi prestasiku tak pernah diraih saudaraku, tapi itu tak menonjol. Aku adalah kedua. Tak perlu menonjol.
Mendapat piagam penghargaan dan medali dalam bidang akademi tak membuat saudaraku menjadi nomor dua. Aku tetap yang kedua.
Lalu aku diperlakukan tidak adil oleh bagian takdir yang lain. Cinta. Dia turut  andil dalam ketidakadilan hidupku. Cinta dan takdir seakan  bersekutu untuk membuatku tersingkir. Mereka berkolaborasi dengan apik membuat skenario yang sampai saat ini tak membuatku bahagia dan tersenyum lama. Tapi aku terpedaya oleh cinta.
Cinta telah membuatku terbuai dengan janji manisnya. Cinta telah membuatku mempertaruhkan banyak hal. Cinta mebuatku terluka dan menangis. Tapi aku tetap terpikat olehnya.
Aku pernah mencicip manisnya cinta dari cawannya. Hanya mencicip, karena aku tak benar-benar meminumnya. Aku tak berani meminum lebih banyak. Aku takut dimabukkan olehnya.
Waktu itu, aku tertawa. Aku bersenang-senang dengan bagian takdir yang disebut cinta itu. Aku dibuatnya terbang. Aku dibuatnya nomor satu. Bukan lagi yang kedua.
Namun itu hanya beberapa saat. Takdir tak ingin melihatku tertawa lebih lama. Dia melempar cawan cinta itu sampai pecah. Cintaku tercurah berantakan. Tersia-siakan. Yang tersisa hanyalah pecahan tajam yang siap untuk menyakitiku.
Ah, mungkin cinta tak benar-benar bersekutu dengan takdir. Mungkin cinta sedang membelaku. Mungkin cinta sedang menuntunku. Mengajarku banyak hal.
Ya, dari cinta aku belajar banyak hal. Cinta membuatku berjuang. Cinta membuatku percaya. Cinta membuatku mengejar.
Aku disemangati oleh cinta.
Takdir, cinta, aku. Manakah yang akan menang? Aku yang harus menang! Tak peduli seberapa banyak peluh akan tercurah untuk berperang melawan takdir. Tak peduli seberapa banyak air mata yang aka mengalir. Aku harus menang. Aku harus mendapatkan cintaku dan menaklukkan takdirku. Aku. Bukan mereka.

Senin, 06 Agustus 2012

Tidurlah Tenang, Nak

Tubuh mungil itu telah terbaring. Tenang. Seakan tanpa dosa. Tak ada tawa mungilnya. Tak ada rengekan tangisnya. Dia hanya memejamkan matanya. Bagaskara. Begitulah orang tuanya menamainya.
Sang Ibu memandanginya penuh makna. Membelainya lembut, penuh kasih tanpa batas. Tatapan penuh harap seorang ibu tertuju pada bayi mungil itu. Dia bernyanyi untuknya. Nanyian harapan akan masa depan. Lantunan kasih sayang dan pajatan sebuah doa terdengar merdu dan syahdu.
Wiratri nama wanita itu. Seorang berkasta dari masyarakat kami. Wanita cantik dengaan kulit terang. Benar-benar menggambarkan kalangannya.
Sementara Wiratri terus memandangi putranya, anak sulung Wiratri bermain di sekitarnya. Kadang ia berlari-larian. Kadang hanya memainkan boneka di dekat ibunya.
Wiratri memang telah mempunyai dua anak. Raras, seorang perempuan, adalah anak pertamanya. Beberapa tahun kemudian, lahirlah Bagaskara. Bayi lelaki pertama yang baru saja ia lahirkan beberapa bulan yang lalu. Bayi yang ditunggu-tunggu bagi kaum keluarganya.
Seolah teringat akan kelucuan tingkah Bagaskara, Wiratri tersenyum dengan terus menatap putranya. Dia masih saja memandangi bayinya. 
Raras mendekat, dan bertanya kepada Wiratri, "Ma, kapan adek bangun dan menemani Raras lagi?"
Wiratri tak dapat menjawab pertanyaan putri kecilnya. Dia hanya memeluk Raras dan menangis. Dia kemudian tersadar bahwa bayi yang di depannya ini sedang tidur untuk waktu yang sangat lama. Dan tak akan bangun lagi untuk bermain bersama kakaknya.

kosong

Suasana kelas hiruk pikuk. Ramai dengan percakapan-percakapan yang tak dapat kuikuti.

Aku ini hanya seorang gadis kecil. Tak elok paras, tak berpunya harta. Satu-satunya yang kumiliki untuk tetap ada di sini adalah otakku. Kata ibuku, kami ini orang yang tak akan dipandang oleh orang lain jika hanya melihat harta, tapi kami harus bisa menunjukkan bahwa kami layak dipandang. Salah satu caranya adalah dengan berprestasi. Dengan menunjukkan bahwa otak kami layak untuk mendapatkan perhatian. Layak untuk dipersaingkan.
Ibuku seorang yang sederhana. Sederhana karena kami memang tak punya apa-apa untuk ditunjukkan. Meski begitu, beliau ini seorang pekerja keras. Wanita yang menduduki peringkat pertama di tahta kehormatan pada daftar orang-orang yang pernah ada dalam hidupku. Satu-satunya orang yang memaksaku untuk terus bertahan di bangku sekolah ini.
Jika memang otakku layak bersaing di sekolah bergengsi ini, lalu mengapakah aku tak dapat mengikuti pembicaraan mereka? Hah...tentu saja..mereka membicarakan tentang kehebatan bapaknya masing-masing. Tentang seberapa banyak mobil yang ada di garasinya. Tentang negara yang akan menjadi tujuan liburan berikutnya. Mereka juga berbicara betapa menyenangkannya berkumpul dan bermain bersama-sama orang tuanya.
 "Ah, percakapan apa ini?", pikirku.Tentu saja aku tak dapat mengikuti percakapan mereka.
Lihatlah diriku ini. Aku ini hanya anak seorang Pegawai Negeri Sipil. Tak punya banyak barang mewah. Uhmm, maksudku, sama sekali tak punya barang mewah. Aku bisa sekolah di tempat ini saja hanya karena kebaikan seorang dermawan yang kami kenal di Gereja kami. Apa yang dapat kuceritakan pada teman-temanku ini? Kandang ayam belakang rumah? Hah..aku pasti ditertawakan.
Liburan bagiku adalah waktu untuk menambah uang saku. ketika libur tiba, aku biasanya akan pergi ke tempat salah satu saudara bapakku untuk sekedar membantu usahanya. Mereka berjualan kue basah, jajanan, dan juga gorengan. Aku akan dengan senang hati menjajakan hasil olahan mereka secara berkeliling, dari kampung ke kampung. Suatu waktu ibuku berpesan agar aku menjauhi jalan raya dan tidak terlalu jauh menjajakan jualanku. Ibuku tak melarangku, tidak juga malu melihat anaknya menjadi penjaja makanan. Justru ia bangga karena anaknya bukanlah anak manja yang selalu meminta kepada orang tua. Dan justru bersyukur karena anaknya mau belajar berusaha untuk mendapatkan segala sesuatu yang diinginkannya. Menurut beliau, hal ini akan menjadi bekalku kelak ketika dewasa. Tapi aku belum mengerti apa maksud ibu. Demi mendengar pesan ibu itulah aku kemudian pergi ke sebuah kampus di dekat tempat tinggalku dan menjajakannya di sana. Hasilnya lumayan. Daganganku selalu habis. Entah karena memang enak atau hanya karena belas kasihan saja. Lalu...liburan mana yang dapat bersaing dengan liburan mereka?
Dan ketika mereka berbicara tentang kebersamaan dengan orang tua mereka, aku hanya terdiam. Aku mengingat-ingat, kapan terakhir kali aku bermain bersama bapak dan ibuku? Aku tak dapat mengingatnya. Aku terus menggali ingatanku, tapi aku sama sekali tak bisa menemukan ingatanku tentang hal itu. Aku...tak dapat menemukan bapakku dalam ingatanku.

Kelas tetap semarak dengan gelak tawa kami. Tetapi ada kekosongan dalam ingatanku. Hari ini adalah hari kunjungan orang tua. Seperti biasa, ibuku hanya datang sebentar, bertemu guru, lalu ijin untuk kembali bekerja. Guruku tak mempermasalahkannya. Maka buat apa aku membuat ini jadi masalah. Kalau ada temanku bertanya dan mencoba mengejekku layaknya anak-anak SD, aku akan menjelaskan bahwa ibuku harus bekerja. Jika ditanya kenapa bukan bapakku yang bekerja, maka aku akan manjawab, "Ibuku yang bekerja", lalu diam dan tak lagi ikut dalam pembicaraan mereka.
Sampai di rumah, ibuku selalu minta maaf karena hanya datang sebentar. Beliau juga menanyakan bagaimana tadi di kelas. Dan ketika aku memberi tahunya tentang apa yang dikatakan teman-temanku, dengan senyumnya dia berbicara seperti ini padaku: "Maafkan Ibu, ya, Nak. Karena Ibu tak selalu menemanimu, teman-temanmu jadi mengejekmu. Tapi percayalah, Ibu selalu menyayangimu. Biarkan saja mereka berkata seperti itu. Jangan marah. Jangan sakit hati. Tidak ada yang salah dan yang benar di sini. Bertahanlah, tinggal setahun lagi kamu mungkin tidak akan bertemu  mereka lagi."
Aku tak pernah menanyakan tentang bapak kepada ibuku. Aku takut. Aku takut dimarahi. Itu yang ada di otak anak SDku ini. Padahal kalau seandainya aku berani menanyakannya, mungkin aku tak akan dimahari, tapi mungkin juga tak akan mendapatkan jawaban yang kuinginkan. Pasti ibu menjawab segeneral mungkin dan berusaha membuatku tidak bertanya lagi.

Biarlah kenangan-kenangan kosong ini memenuhi hati dan pikiranku. Sampai aku mengerti untuk mengisinya.

Sisa Belaianmu


Sungguh, aku menyukainya. Ketika tanganmu mengacak-acak rambutku. Dengan tawamu, kau melakukannya. Penuh kasihmu, kau memberikannya.

Malam ini aku bertemu denganmu. Berjeda lama sejak terakhir kita bertemu. Pertemuan kita malam ini tak romantis. Bahkan hiruk pikuk suara para lelaki penggemar bola dan suporternya yang menjadi backsound pertemuan kita. Tak ada mawar, tak ada lilin. Tak ada musik sendu penghibur rindu. Di sini hanya teriakan perebutan kemenangan. Namun, ketika mataku beradu denganmu, semuanya tampak beku. Ah, mungkin bukan beku, mungkin mereka menjadi bisu. Seperti televisi jaman dulu.

Pertama bertemu denganmu adalah beberapa tahun lalu. Tak tahu apa yang membuat kita bertemu. Seingatku, aku menyapamu terlebih dahulu di ujung sebuah tangga. Aku mengajakmu mengikuti kegiatanku. Sebuah perkumpulan pencari ilmu. Kau menyambut hangat ajakanku. Minggu demi minggu kau ikuti pertemuan kami. Dan akhirnya, kita menjadi dekat. Seperti sahabat lama yang bertemu di masa tuanya. Mungkin demikian pertemuanku denganmu.

Kita menjadi dekat. Kita menjadi erat. Kau sering mengantar jemput aku ke manapun aku ingin pergi. Kau sering mengajakku keluar, meski itu hanya makan di pinggir jalan. Kita sering berdiskusi tentang sesuatu. Perbincangan kita sangat menarik. Sampa-sampai kita sering lupa waktu jika sudah bertemu dan mulai berbicara. Aku, kamu, kemudian menjadi seperti pasangan kupu. Berterbangan, berlarian.

Lalu, aku mulai menaruh hati padamu. Setiap perhatianmu, mulai kurasa lain. Setiap tatapmu, mebuatku tersipu. Mungkin sudah merona mukaku. Tapi…aku tahu, kita tak pernah satu. Kau orang yang keras. Dan aku tak bisa diperlakukan keras. Hatiku terlalu rapuh untuk sebuah bentakan. Padahal nada bicaramu mulai tegas ketika kau tak suka melihatku lemah. Aku tahu, maksudmu baik. Tapi hatiku terlalu tersiksa menerima kekerasanmu. Aku tak menyalahkanmu. Bahkan aku bersyukur. Dengan adanya kamu, aku mulai belajar untuk lebih berjuang menghadapi kekerasan hidup.

Lama kita tak berjumpa. Aku merindumu. Tapi, rasa yang dulu ada mulai pudar dan meluntur. Bukan hilang, hanya pudar. Aku masih mengasihimu, tapi tak mengharapkanmu menjadi pacarku.

Malam ini aku senang. Aku berbicara banyak hal denganmu. Bermanja dengan perkataanku kepadamu. Dan….astaga…kau memegang kepalaku. Mengacak rambutku. Bukan dengan kekerasanmu. Tapi ada kasih yang kurasakan di dalam tanganmu. Seolah kau ingin berkata bahwa kau pun merindukanku. Seolah ingin kau sampaikan bahwa kau menyayangiku.

Tak terbayang jika ini kau lakukan beberapa waktu lalu. Mungkin aku sudah terbang ke langit ke tujuh. Mungkin  aku akan lupa bagaimana rasanya menginjak bumi.

Tapi sekarang aku masih di bumi. Menikmati sisa belaianmu. Dalam malamku, akan kubawa bersama mimpiku.

Senin, 16 Juli 2012

Jalan Ini Tak Akan Bersatu


Aku selalu suka ketika melihatnya tertawa. Dan aku lebih suka lagi kalau dia tertawa karena aku. Aku sangat senang jika berhasil membuatnya tertawa.
Kami berjalan di jalur yang berbeda. Namun kami sempat bertemu di persimpangan jalan. Setelah  itu, jalur yang kami lalui masih searah. Walaupun jalannya tetap berbeda. Aku tak pernah berpikir bahwa jalan kami akan menyatu. Dan kenyataannya memang sampai sekarang jalan kami tidak bersatu. Tak pernah pula aku berpikir bahwa aku mencintainya, karena kupikir aku cuma suka melihatnya dan tentu saja membuatnya tertawa.
Tak seperti belahan jiwa yang berjalan di jalan yang sama, aku dan dia tak akan pernah bersama. Dia menyukai keindahan dengan apa yang dilihatnya. Aku menyukai keindahan dengan apa yang aku rasa. Kami berbeda. Dan dari situ aku tau dia tak akan mencintaiku. Lalu untuk apa aku berpikir mencintainya jika aku tau dia tak mencintaiku.
Aku ini tak indah dilihat. Begitulah pikirku. Jadi aku pun berpikir, dia tak akan memandangku dengan indah. Dia tak akan mencintaiku. Tapi walaupun aku tau aku tak akan dicintainya, aku selalu menyukai tawanya. Menyukai ekspresi lepas yang ia timbulkan dari tawanya. Seakan dia tak pernah memiliki beban hidup. Seakan hidup ini begitu mudah untuk dijalani. Semuanya indah dalam hidupnya. Begitulah pikirku.
Suatu kali dia pernah tertawa karena celetukan yang keluar secara spontan dari mulutku. Aku senang sekali. Rasanya seperti seorang bocah yang bermain bersama badut. Ah, bukan. Aku tak menganggapnya seperti badut. Aku hanya membandingkan perasaan senang seorang anak kecil ketika ia bermain bersama badut. Itu saja.
Malam itu aku makan bersamanya. Dia berulang tahun. Kami, maksudku aku, dia dan teman-teman kami, merayakannya di sebuah restoran pinggir pantai. Mentari belum beranjak dari batas cakrawala. Semburat jingga menghangatkan perayaan kecil ini. Suasana itu sungguh menyenangkan. Duduk di depannya sambil ditemani romantisme jingga. Angin pantai sesekali menggoda dan memainkan rambutku. Ah, seandainya saja kami cuma berdua saja, mungkin akan lain jadinya.
Aku terus memperhatikannya sepanjang malam. Mengagumi keceriaan yang terpancar dari parasnya. Sampai di penghujung pesta kami, dia mendekatiku dan mengajakku berdansa. Kebetulan musik jazz sedang mengalun. Romantis, pikirku. Tapi segera kujauhkan pikiran-pikiran dan rasaku untuk memilikinya. Aku mencoba berpikir ini adalah simbol persahabatan kami.
Kami terus menari seirama lagu. Matanya terus menatapku. Oh, Tuhan…aku bisa meleleh kalau terus berada dalam keadaan seperti ini. Tapi herannya, aku tak mau kehilangan kesempatan ini. Aku pun menatapnya. Berharap rasa yang ada di hatiku tersampaikan. Rasa kekagumanku akan dirinya.
Malam itu, berakhir indah. Senyumnya tersimpan rapi dalam memoriku.
Beberapa hari setelah ulang tahunnya, aku diajaknya bertemu dengan teman-temannya. Ah, senangnya aku karena ternyata aku akan diperkenalkan dengan teman-temannya. Itu berarti dia menganggapku cukup penting.
Akhirnya aku bertemu dengan teman-temannya. Mereka semua tampak rapi dan harum. Pesolek kurasa. Untunglah aku berpenampilan cukup rapi kali itu, jadi tak terlalu memalukan ketika dia memperkenalkan aku.
Dalam pertemuan itu, aku melihat seorang temannya selalu melihatku dengan tatapan aneh. Seperti ada rasa marah, benci, atau cemburu. Ya, aku tau. Ini pasti karena temanku mengajakku dan selalau berada di sampingku. Seperti kubilang, aku berada di jalan yang berbeda dengannya. Aku pikir inilah salah satu perbedaannya. Temanku menyukai sesama jenisnya (itu hanya menurut hematku, dengan melihat kebiasaan-kebiasaan temanku ini). Dan tentu saja aku masih normal.
Tapi entah mengapa, dalam kesimpulan yang kubuat bahwa temanku ini menyukai sesamanya, aku masih percaya bahwa dia tak benar-benar melakukan penyimpangan. Ah, bukan. Bukan aku setuju dengan aliran penyuka sesama jenis. Menurutku hak mereka ketika mereka memutuskan menyukai siapa. Aku tak menentang, tapi aku juga tak mendukung. Yang kumaksudkan tadi adalah kepercayaanku bahwa jauh di dalam hati temanku ini, sebenarnya dia masih menyukai wanita. Aku sangat mempercayai itu. Aku percaya apa yang dilakukannya selama ini adalah dampak dari pergaulannya.
Hari berganti bulan. Desember pun tiba. Aku tengah sibuk-sibuknya mempersiapkan banyak hal untuk perayaan Natal. Namun, di tengah kesibukanku, temanku ini selalu menemaniku mempersiapkan perayaan Natalku. Ya, aku bilang Natalku. Dia tak merayakan Natal. Dia seorang beragama lain. Walaupun dia seorang yang taat menjalankan ibadahnya, tapi dia bukan seorang yang fanatik. Dengan senang hati dia selalu menemaniku.
Lama kelamaan, aku merasa temanku ini mulai lebih banyak menghabiskan waktunya bersamaku. Aku merasa dia makin perhatian terhadapku. Mulai meninggalkan pergaulannya dengan teman-temannya. Dan…aku rasa, rasa sayangku kepadanya semakin besar.
Perayaan natal telah selesai. Temanku mengajakku menikmati sisa malam di tepi pantai. Aku mengiyakan karena kebetulan semua acara sudah selesai.
Kami berjalan di tepi pantai. Bercerita banyak hal. Tertawa bersama. Kadang dia menggandeng tanganku untuk membantuku berjalan di atas bebatuan yang kadang cukup licin. Akhirnya kami sampai di tempat kesukaan kami. Sebuah batu yang agak tinggi dan cukup luas untuk kami berdua. Kami duduk bersama. Menikmati bintang yang bersinar malu-malu di atas sana. Angin pantai cukup dingin. Dia memberikan jaketnya padaku. Aku menolaknya, karena kupikir, aku sudah membawa jaket, dan dia juga butuh jaket untuk menghangatkan badannya.
Sejenak kami mengatur nafas kami karena cukup ngos-ngosan juga kami memanjat batu tadi.
Percakapan kami dibukanya dengan pertanyaan apa pendapatku tentang dirinya. Aku pun menjawab bahwa dia seorang yang baik di mataku. Seorang yang cukup taat menjalankan ibadahnya, dan mempunyai toleransi yang cukup tinggi. Kemudia dia menceritakan tentang dirinya. Tentang masa kecilnya, tentang keluarganya, dan…tentang pergaulannya. Sejenak dia menghela nafas. Nampaknya dia sedang memantapkan hati untuk menceritakannya. Aku jadi penasaran dibuatnya.
“Din…tau gak…hufftt…selama ini sepertinya aku telah salah bergaul…”
Aku hanya bisa diam dan menebak-nebak. Menunggunya melanjutkan ceritanya.
Dia kembali menatapku. Tersenyum tipis.
Aku berusaha meyakinkannya untuk bercerita.
“teman-teman yang waktu itu aku kenalin ke kamu itu…gay…termasuk aku…”
Aku mencoba tetap tenang dan mencoba mengerti keadaannya.
“aku pernah berpacaran dengan salah satu di antara mereka”
Lalu dia diam.
Setelah beberapa menit, aku mencoba membuka percakapan. Aku mengatakan pendapatku.
“Sebenarnya aku sudah menebaknya. Tapi entah kenapa, dalam hatiku aku masih percaya bahwa kamu itu normal.”
Tampaknya dia agak kaget mendengar jawabanku. Tapi terlihat raut suka cita di wajahnya. Mungkin dia senang ternyata masih ada yang menganggapnya normal.
“Aku senang kamu berpendapat seperti itu Din. Karena aku sendiri tak tau kenapa dulu memutuskan berpacaran dengan cowok, padahal aku tak ada rasa apapun. Mungkin…aku hanya ingin diterima dan dianggap ada…paling tidak oleh mereka.”
“Din…kamu percaya gak kalo sekarang ini aku jatuh cinta sama kamu…”
Aku cukup kaget dengan pernyataannya, tapi tetap berusaha bersikap biasa.
“Aku tak mengharapkan banyak kok. Kamu udah tau seperti apa aku. Aku dulunya pernah pacaran dengan sesama jenis. Aku cuma pengen mengeluarkan apa yang selama ini aku pendam. Aku tak tau harus berbagi sama siapa. Yang kupunya saat ini cuma kamu. Aku berharap, kamu tak berubah sikap setelah mendengar ini semua.”
Dia tertunduk.
Aku tersenyum. Aku meraih tangannya dan menatapnya.
“Fa…aku tidak peduli seperti apa kamu dulunya. Kamu, adalah kamu. Kamu yang sekarang bukanlah kamu yang dulu. Dan kita sedang berada di alam sekarang, bukan alam terdahulu. Kalo kamu mau tau perasaanku, sebenarnya aku juga menaruh rasa sayang yang cukup besar terhadapmu. Mungkin rasa cinta. Mungkin itu sebabnya aku masih percaya bahwa kamu bukan gay, kamu normal. Tapi…kita beda Fa…kita berada dalam koridor keagamaan yang berbeda. Kita harus tau itu. Kita tak boleh membiarkan cinta kita menjadi buta….Kita udah sama-sama gede Fa…pastinya kalo kita pacaran bukan untuk main-main. Pasti kita berpikir ke arah pernikahan. Dan menurutku, pernikahan harus dibangun dengan dasar yang sama… Aku juga sedih kalo akhirnya kita mempunyai rasa yang sama tapi tak bisa bersatu…tapi…aku pikir mungkin kita lebih baik menjadi sahabat Fa. Dan percayalah, kita pasti menemukan orang yang tepat, yang dapat berjalan bersama-sama. Tetaplah menjadi sahabatku, Fa.  Biarlah cinta kita ini kita simpan sebagai rasa persahabatan, karena jalan kita tak akan pernah bersatu..”
Kami berpelukan cukup lama. Kami sama-sama menangis. Kami sama-sama tau betapa kami saling menyayangi. Tapi kami juga sadar bahwa jalan kami berbeda dan tak akan pernah menjadi satu.
Bulan dan bintang…
Pantai dan ombak…
Aku dan kamu…
Biarlah kita mengambil jalan kita…
Berjalan beriring dengan jalan berbeda…
Di ujung sana, kebahagiaan telah menunggu kita…