Aku selalu suka ketika melihatnya tertawa. Dan aku lebih suka lagi kalau dia tertawa karena aku. Aku sangat senang jika berhasil membuatnya tertawa.
…
Kami berjalan di jalur yang
berbeda. Namun kami sempat bertemu di persimpangan jalan. Setelah itu, jalur yang kami lalui masih searah.
Walaupun jalannya tetap berbeda. Aku tak pernah berpikir bahwa jalan kami akan
menyatu. Dan kenyataannya memang sampai sekarang jalan kami tidak bersatu. Tak
pernah pula aku berpikir bahwa aku mencintainya, karena kupikir aku cuma suka
melihatnya dan tentu saja membuatnya tertawa.
Tak seperti belahan jiwa yang
berjalan di jalan yang sama, aku dan dia tak akan pernah bersama. Dia menyukai
keindahan dengan apa yang dilihatnya. Aku menyukai keindahan dengan apa yang
aku rasa. Kami berbeda. Dan dari situ aku tau dia tak akan mencintaiku. Lalu
untuk apa aku berpikir mencintainya jika aku tau dia tak mencintaiku.
Aku ini tak indah dilihat.
Begitulah pikirku. Jadi aku pun berpikir, dia tak akan memandangku dengan
indah. Dia tak akan mencintaiku. Tapi walaupun aku tau aku tak akan
dicintainya, aku selalu menyukai tawanya. Menyukai ekspresi lepas yang ia
timbulkan dari tawanya. Seakan dia tak pernah memiliki beban hidup. Seakan
hidup ini begitu mudah untuk dijalani. Semuanya indah dalam hidupnya. Begitulah
pikirku.
Suatu kali dia pernah tertawa
karena celetukan yang keluar secara spontan dari mulutku. Aku senang sekali.
Rasanya seperti seorang bocah yang bermain bersama badut. Ah, bukan. Aku tak
menganggapnya seperti badut. Aku hanya membandingkan perasaan senang seorang
anak kecil ketika ia bermain bersama badut. Itu saja.
…
Malam itu aku makan bersamanya.
Dia berulang tahun. Kami, maksudku aku, dia dan teman-teman kami, merayakannya
di sebuah restoran pinggir pantai. Mentari belum beranjak dari batas cakrawala.
Semburat jingga menghangatkan perayaan kecil ini. Suasana itu sungguh
menyenangkan. Duduk di depannya sambil ditemani romantisme jingga. Angin pantai
sesekali menggoda dan memainkan rambutku. Ah, seandainya saja kami cuma berdua
saja, mungkin akan lain jadinya.
Aku terus memperhatikannya
sepanjang malam. Mengagumi keceriaan yang terpancar dari parasnya. Sampai di
penghujung pesta kami, dia mendekatiku dan mengajakku berdansa. Kebetulan musik
jazz sedang mengalun. Romantis, pikirku. Tapi segera kujauhkan pikiran-pikiran
dan rasaku untuk memilikinya. Aku mencoba berpikir ini adalah simbol
persahabatan kami.
Kami terus menari seirama lagu.
Matanya terus menatapku. Oh, Tuhan…aku bisa meleleh kalau terus berada dalam
keadaan seperti ini. Tapi herannya, aku tak mau kehilangan kesempatan ini. Aku
pun menatapnya. Berharap rasa yang ada di hatiku tersampaikan. Rasa kekagumanku
akan dirinya.
Malam itu, berakhir indah.
Senyumnya tersimpan rapi dalam memoriku.
…
Beberapa hari setelah ulang
tahunnya, aku diajaknya bertemu dengan teman-temannya. Ah, senangnya aku karena
ternyata aku akan diperkenalkan dengan teman-temannya. Itu berarti dia
menganggapku cukup penting.
Akhirnya aku bertemu dengan
teman-temannya. Mereka semua tampak rapi dan harum. Pesolek kurasa. Untunglah
aku berpenampilan cukup rapi kali itu, jadi tak terlalu memalukan ketika dia
memperkenalkan aku.
Dalam pertemuan itu, aku melihat
seorang temannya selalu melihatku dengan tatapan aneh. Seperti ada rasa marah,
benci, atau cemburu. Ya, aku tau. Ini pasti karena temanku mengajakku dan
selalau berada di sampingku. Seperti kubilang, aku berada di jalan yang berbeda
dengannya. Aku pikir inilah salah satu perbedaannya. Temanku menyukai sesama
jenisnya (itu hanya menurut hematku, dengan melihat kebiasaan-kebiasaan temanku
ini). Dan tentu saja aku masih normal.
Tapi entah mengapa, dalam
kesimpulan yang kubuat bahwa temanku ini menyukai sesamanya, aku masih percaya
bahwa dia tak benar-benar melakukan penyimpangan. Ah, bukan. Bukan aku setuju
dengan aliran penyuka sesama jenis. Menurutku hak mereka ketika mereka
memutuskan menyukai siapa. Aku tak menentang, tapi aku juga tak mendukung. Yang
kumaksudkan tadi adalah kepercayaanku bahwa jauh di dalam hati temanku ini,
sebenarnya dia masih menyukai wanita. Aku sangat mempercayai itu. Aku percaya
apa yang dilakukannya selama ini adalah dampak dari pergaulannya.
…
Hari berganti bulan. Desember pun
tiba. Aku tengah sibuk-sibuknya mempersiapkan banyak hal untuk perayaan Natal.
Namun, di tengah kesibukanku, temanku ini selalu menemaniku mempersiapkan
perayaan Natalku. Ya, aku bilang Natalku. Dia tak merayakan Natal. Dia seorang
beragama lain. Walaupun dia seorang yang taat menjalankan ibadahnya, tapi dia
bukan seorang yang fanatik. Dengan senang hati dia selalu menemaniku.
Lama kelamaan, aku merasa temanku
ini mulai lebih banyak menghabiskan waktunya bersamaku. Aku merasa dia makin
perhatian terhadapku. Mulai meninggalkan pergaulannya dengan teman-temannya.
Dan…aku rasa, rasa sayangku kepadanya semakin besar.
…
Perayaan natal telah selesai.
Temanku mengajakku menikmati sisa malam di tepi pantai. Aku mengiyakan karena
kebetulan semua acara sudah selesai.
Kami berjalan di tepi pantai.
Bercerita banyak hal. Tertawa bersama. Kadang dia menggandeng tanganku untuk
membantuku berjalan di atas bebatuan yang kadang cukup licin. Akhirnya kami
sampai di tempat kesukaan kami. Sebuah batu yang agak tinggi dan cukup luas
untuk kami berdua. Kami duduk bersama. Menikmati bintang yang bersinar
malu-malu di atas sana. Angin pantai cukup dingin. Dia memberikan jaketnya
padaku. Aku menolaknya, karena kupikir, aku sudah membawa jaket, dan dia juga
butuh jaket untuk menghangatkan badannya.
Sejenak kami mengatur nafas kami
karena cukup ngos-ngosan juga kami memanjat batu tadi.
Percakapan kami dibukanya dengan
pertanyaan apa pendapatku tentang dirinya. Aku pun menjawab bahwa dia seorang
yang baik di mataku. Seorang yang cukup taat menjalankan ibadahnya, dan
mempunyai toleransi yang cukup tinggi. Kemudia dia menceritakan tentang
dirinya. Tentang masa kecilnya, tentang keluarganya, dan…tentang pergaulannya.
Sejenak dia menghela nafas. Nampaknya dia sedang memantapkan hati untuk
menceritakannya. Aku jadi penasaran dibuatnya.
“Din…tau gak…hufftt…selama ini
sepertinya aku telah salah bergaul…”
Aku hanya bisa diam dan
menebak-nebak. Menunggunya melanjutkan ceritanya.
Dia kembali menatapku. Tersenyum
tipis.
Aku berusaha meyakinkannya untuk
bercerita.
“teman-teman yang waktu itu aku
kenalin ke kamu itu…gay…termasuk aku…”
Aku mencoba tetap tenang dan
mencoba mengerti keadaannya.
“aku pernah berpacaran dengan
salah satu di antara mereka”
Lalu dia diam.
Setelah beberapa menit, aku
mencoba membuka percakapan. Aku mengatakan pendapatku.
“Sebenarnya aku sudah menebaknya.
Tapi entah kenapa, dalam hatiku aku masih percaya bahwa kamu itu normal.”
Tampaknya dia agak kaget
mendengar jawabanku. Tapi terlihat raut suka cita di wajahnya. Mungkin dia
senang ternyata masih ada yang menganggapnya normal.
“Aku senang kamu berpendapat
seperti itu Din. Karena aku sendiri tak tau kenapa dulu memutuskan berpacaran
dengan cowok, padahal aku tak ada rasa apapun. Mungkin…aku hanya ingin diterima
dan dianggap ada…paling tidak oleh mereka.”
“Din…kamu percaya gak kalo
sekarang ini aku jatuh cinta sama kamu…”
Aku cukup kaget dengan
pernyataannya, tapi tetap berusaha bersikap biasa.
“Aku tak mengharapkan banyak kok.
Kamu udah tau seperti apa aku. Aku dulunya pernah pacaran dengan sesama jenis.
Aku cuma pengen mengeluarkan apa yang selama ini aku pendam. Aku tak tau harus
berbagi sama siapa. Yang kupunya saat ini cuma kamu. Aku berharap, kamu tak
berubah sikap setelah mendengar ini semua.”
Dia tertunduk.
Aku tersenyum. Aku meraih
tangannya dan menatapnya.
“Fa…aku tidak peduli seperti apa
kamu dulunya. Kamu, adalah kamu. Kamu yang sekarang bukanlah kamu yang dulu.
Dan kita sedang berada di alam sekarang, bukan alam terdahulu. Kalo kamu mau
tau perasaanku, sebenarnya aku juga menaruh rasa sayang yang cukup besar
terhadapmu. Mungkin rasa cinta. Mungkin itu sebabnya aku masih percaya bahwa
kamu bukan gay, kamu normal. Tapi…kita beda Fa…kita berada dalam koridor
keagamaan yang berbeda. Kita harus tau itu. Kita tak boleh membiarkan cinta
kita menjadi buta….Kita udah sama-sama gede Fa…pastinya kalo kita pacaran bukan
untuk main-main. Pasti kita berpikir ke arah pernikahan. Dan menurutku,
pernikahan harus dibangun dengan dasar yang sama… Aku juga sedih kalo akhirnya
kita mempunyai rasa yang sama tapi tak bisa bersatu…tapi…aku pikir mungkin kita
lebih baik menjadi sahabat Fa. Dan percayalah, kita pasti menemukan orang yang
tepat, yang dapat berjalan bersama-sama. Tetaplah menjadi sahabatku, Fa. Biarlah cinta kita ini kita simpan sebagai
rasa persahabatan, karena jalan kita tak akan pernah bersatu..”
Kami berpelukan cukup lama. Kami
sama-sama menangis. Kami sama-sama tau betapa kami saling menyayangi. Tapi kami
juga sadar bahwa jalan kami berbeda dan tak akan pernah menjadi satu.
…
Bulan dan bintang…
Pantai dan ombak…
Aku dan kamu…
Biarlah kita mengambil jalan
kita…
Berjalan beriring dengan jalan
berbeda…
Di ujung sana, kebahagiaan telah
menunggu kita…