Senin, 16 Juli 2012

Jalan Ini Tak Akan Bersatu


Aku selalu suka ketika melihatnya tertawa. Dan aku lebih suka lagi kalau dia tertawa karena aku. Aku sangat senang jika berhasil membuatnya tertawa.
Kami berjalan di jalur yang berbeda. Namun kami sempat bertemu di persimpangan jalan. Setelah  itu, jalur yang kami lalui masih searah. Walaupun jalannya tetap berbeda. Aku tak pernah berpikir bahwa jalan kami akan menyatu. Dan kenyataannya memang sampai sekarang jalan kami tidak bersatu. Tak pernah pula aku berpikir bahwa aku mencintainya, karena kupikir aku cuma suka melihatnya dan tentu saja membuatnya tertawa.
Tak seperti belahan jiwa yang berjalan di jalan yang sama, aku dan dia tak akan pernah bersama. Dia menyukai keindahan dengan apa yang dilihatnya. Aku menyukai keindahan dengan apa yang aku rasa. Kami berbeda. Dan dari situ aku tau dia tak akan mencintaiku. Lalu untuk apa aku berpikir mencintainya jika aku tau dia tak mencintaiku.
Aku ini tak indah dilihat. Begitulah pikirku. Jadi aku pun berpikir, dia tak akan memandangku dengan indah. Dia tak akan mencintaiku. Tapi walaupun aku tau aku tak akan dicintainya, aku selalu menyukai tawanya. Menyukai ekspresi lepas yang ia timbulkan dari tawanya. Seakan dia tak pernah memiliki beban hidup. Seakan hidup ini begitu mudah untuk dijalani. Semuanya indah dalam hidupnya. Begitulah pikirku.
Suatu kali dia pernah tertawa karena celetukan yang keluar secara spontan dari mulutku. Aku senang sekali. Rasanya seperti seorang bocah yang bermain bersama badut. Ah, bukan. Aku tak menganggapnya seperti badut. Aku hanya membandingkan perasaan senang seorang anak kecil ketika ia bermain bersama badut. Itu saja.
Malam itu aku makan bersamanya. Dia berulang tahun. Kami, maksudku aku, dia dan teman-teman kami, merayakannya di sebuah restoran pinggir pantai. Mentari belum beranjak dari batas cakrawala. Semburat jingga menghangatkan perayaan kecil ini. Suasana itu sungguh menyenangkan. Duduk di depannya sambil ditemani romantisme jingga. Angin pantai sesekali menggoda dan memainkan rambutku. Ah, seandainya saja kami cuma berdua saja, mungkin akan lain jadinya.
Aku terus memperhatikannya sepanjang malam. Mengagumi keceriaan yang terpancar dari parasnya. Sampai di penghujung pesta kami, dia mendekatiku dan mengajakku berdansa. Kebetulan musik jazz sedang mengalun. Romantis, pikirku. Tapi segera kujauhkan pikiran-pikiran dan rasaku untuk memilikinya. Aku mencoba berpikir ini adalah simbol persahabatan kami.
Kami terus menari seirama lagu. Matanya terus menatapku. Oh, Tuhan…aku bisa meleleh kalau terus berada dalam keadaan seperti ini. Tapi herannya, aku tak mau kehilangan kesempatan ini. Aku pun menatapnya. Berharap rasa yang ada di hatiku tersampaikan. Rasa kekagumanku akan dirinya.
Malam itu, berakhir indah. Senyumnya tersimpan rapi dalam memoriku.
Beberapa hari setelah ulang tahunnya, aku diajaknya bertemu dengan teman-temannya. Ah, senangnya aku karena ternyata aku akan diperkenalkan dengan teman-temannya. Itu berarti dia menganggapku cukup penting.
Akhirnya aku bertemu dengan teman-temannya. Mereka semua tampak rapi dan harum. Pesolek kurasa. Untunglah aku berpenampilan cukup rapi kali itu, jadi tak terlalu memalukan ketika dia memperkenalkan aku.
Dalam pertemuan itu, aku melihat seorang temannya selalu melihatku dengan tatapan aneh. Seperti ada rasa marah, benci, atau cemburu. Ya, aku tau. Ini pasti karena temanku mengajakku dan selalau berada di sampingku. Seperti kubilang, aku berada di jalan yang berbeda dengannya. Aku pikir inilah salah satu perbedaannya. Temanku menyukai sesama jenisnya (itu hanya menurut hematku, dengan melihat kebiasaan-kebiasaan temanku ini). Dan tentu saja aku masih normal.
Tapi entah mengapa, dalam kesimpulan yang kubuat bahwa temanku ini menyukai sesamanya, aku masih percaya bahwa dia tak benar-benar melakukan penyimpangan. Ah, bukan. Bukan aku setuju dengan aliran penyuka sesama jenis. Menurutku hak mereka ketika mereka memutuskan menyukai siapa. Aku tak menentang, tapi aku juga tak mendukung. Yang kumaksudkan tadi adalah kepercayaanku bahwa jauh di dalam hati temanku ini, sebenarnya dia masih menyukai wanita. Aku sangat mempercayai itu. Aku percaya apa yang dilakukannya selama ini adalah dampak dari pergaulannya.
Hari berganti bulan. Desember pun tiba. Aku tengah sibuk-sibuknya mempersiapkan banyak hal untuk perayaan Natal. Namun, di tengah kesibukanku, temanku ini selalu menemaniku mempersiapkan perayaan Natalku. Ya, aku bilang Natalku. Dia tak merayakan Natal. Dia seorang beragama lain. Walaupun dia seorang yang taat menjalankan ibadahnya, tapi dia bukan seorang yang fanatik. Dengan senang hati dia selalu menemaniku.
Lama kelamaan, aku merasa temanku ini mulai lebih banyak menghabiskan waktunya bersamaku. Aku merasa dia makin perhatian terhadapku. Mulai meninggalkan pergaulannya dengan teman-temannya. Dan…aku rasa, rasa sayangku kepadanya semakin besar.
Perayaan natal telah selesai. Temanku mengajakku menikmati sisa malam di tepi pantai. Aku mengiyakan karena kebetulan semua acara sudah selesai.
Kami berjalan di tepi pantai. Bercerita banyak hal. Tertawa bersama. Kadang dia menggandeng tanganku untuk membantuku berjalan di atas bebatuan yang kadang cukup licin. Akhirnya kami sampai di tempat kesukaan kami. Sebuah batu yang agak tinggi dan cukup luas untuk kami berdua. Kami duduk bersama. Menikmati bintang yang bersinar malu-malu di atas sana. Angin pantai cukup dingin. Dia memberikan jaketnya padaku. Aku menolaknya, karena kupikir, aku sudah membawa jaket, dan dia juga butuh jaket untuk menghangatkan badannya.
Sejenak kami mengatur nafas kami karena cukup ngos-ngosan juga kami memanjat batu tadi.
Percakapan kami dibukanya dengan pertanyaan apa pendapatku tentang dirinya. Aku pun menjawab bahwa dia seorang yang baik di mataku. Seorang yang cukup taat menjalankan ibadahnya, dan mempunyai toleransi yang cukup tinggi. Kemudia dia menceritakan tentang dirinya. Tentang masa kecilnya, tentang keluarganya, dan…tentang pergaulannya. Sejenak dia menghela nafas. Nampaknya dia sedang memantapkan hati untuk menceritakannya. Aku jadi penasaran dibuatnya.
“Din…tau gak…hufftt…selama ini sepertinya aku telah salah bergaul…”
Aku hanya bisa diam dan menebak-nebak. Menunggunya melanjutkan ceritanya.
Dia kembali menatapku. Tersenyum tipis.
Aku berusaha meyakinkannya untuk bercerita.
“teman-teman yang waktu itu aku kenalin ke kamu itu…gay…termasuk aku…”
Aku mencoba tetap tenang dan mencoba mengerti keadaannya.
“aku pernah berpacaran dengan salah satu di antara mereka”
Lalu dia diam.
Setelah beberapa menit, aku mencoba membuka percakapan. Aku mengatakan pendapatku.
“Sebenarnya aku sudah menebaknya. Tapi entah kenapa, dalam hatiku aku masih percaya bahwa kamu itu normal.”
Tampaknya dia agak kaget mendengar jawabanku. Tapi terlihat raut suka cita di wajahnya. Mungkin dia senang ternyata masih ada yang menganggapnya normal.
“Aku senang kamu berpendapat seperti itu Din. Karena aku sendiri tak tau kenapa dulu memutuskan berpacaran dengan cowok, padahal aku tak ada rasa apapun. Mungkin…aku hanya ingin diterima dan dianggap ada…paling tidak oleh mereka.”
“Din…kamu percaya gak kalo sekarang ini aku jatuh cinta sama kamu…”
Aku cukup kaget dengan pernyataannya, tapi tetap berusaha bersikap biasa.
“Aku tak mengharapkan banyak kok. Kamu udah tau seperti apa aku. Aku dulunya pernah pacaran dengan sesama jenis. Aku cuma pengen mengeluarkan apa yang selama ini aku pendam. Aku tak tau harus berbagi sama siapa. Yang kupunya saat ini cuma kamu. Aku berharap, kamu tak berubah sikap setelah mendengar ini semua.”
Dia tertunduk.
Aku tersenyum. Aku meraih tangannya dan menatapnya.
“Fa…aku tidak peduli seperti apa kamu dulunya. Kamu, adalah kamu. Kamu yang sekarang bukanlah kamu yang dulu. Dan kita sedang berada di alam sekarang, bukan alam terdahulu. Kalo kamu mau tau perasaanku, sebenarnya aku juga menaruh rasa sayang yang cukup besar terhadapmu. Mungkin rasa cinta. Mungkin itu sebabnya aku masih percaya bahwa kamu bukan gay, kamu normal. Tapi…kita beda Fa…kita berada dalam koridor keagamaan yang berbeda. Kita harus tau itu. Kita tak boleh membiarkan cinta kita menjadi buta….Kita udah sama-sama gede Fa…pastinya kalo kita pacaran bukan untuk main-main. Pasti kita berpikir ke arah pernikahan. Dan menurutku, pernikahan harus dibangun dengan dasar yang sama… Aku juga sedih kalo akhirnya kita mempunyai rasa yang sama tapi tak bisa bersatu…tapi…aku pikir mungkin kita lebih baik menjadi sahabat Fa. Dan percayalah, kita pasti menemukan orang yang tepat, yang dapat berjalan bersama-sama. Tetaplah menjadi sahabatku, Fa.  Biarlah cinta kita ini kita simpan sebagai rasa persahabatan, karena jalan kita tak akan pernah bersatu..”
Kami berpelukan cukup lama. Kami sama-sama menangis. Kami sama-sama tau betapa kami saling menyayangi. Tapi kami juga sadar bahwa jalan kami berbeda dan tak akan pernah menjadi satu.
Bulan dan bintang…
Pantai dan ombak…
Aku dan kamu…
Biarlah kita mengambil jalan kita…
Berjalan beriring dengan jalan berbeda…
Di ujung sana, kebahagiaan telah menunggu kita…

Senin, 09 Juli 2012

Tempat yang Berbeda


Setiap orang Tuhan ciptakan menurut apa yang Ia mau. Ada kulit putih, ada kulit hitam, ada kulit kuning, ada juga kulit coklat. Tiap orang berbeda. Berbeda secara fisik, berbeda juga cara berperilaku. Di tengah perbedaan itu, Tuhan juga memberi perlakuan yang berbeda bagi kita. Tapi tau gak, Tuhan gak pernah bermaksud untuk lebih mengasihi yang satu dan mengacuhkan yang lain dengan perlakuan yang berbeda itu.
Seseorang kadang menganggap yang lain lebih beruntung dari dirinya. Tapi percayalah, ada orang lain yang menganggapnya lebih beruntung. Seorang yang kaya mungkin dianggap lebih beruntung dari seorang miskin. Tapi mungkin juga ada orang kaya yang merasa si miskin ini lebih beruntung darinya.
Yang ingin aku ceritakan di sini bukanlah tentang hal-hal yang sangat rohani dan bersifat menggurui. Aku hanya ingin berbagi apa yang telah memberkatiku dan membuatku bersyukur. Aku membagikannya bukan untuk menunjukkan diriku hebat, aku hanya berharap orang lain bisa terberkati dan mensyukuri apa yang ia alami.
Cerita ini berawal dari persahabatanku dengan seorang yang kutemui pada masa kuliah dulu. Kami berbeda jurusan, tetapi kami satu pelayanan dalam persekutuan di kampus kami. Setelah kami lulus kuliah, kami sempat tidak berkomunikasi cukup lama. Ya, bisa kumaklumi. Aku sibuk beradaptasi dengan lingkungan baruku, yaitu lingkungan kerja di tempat baru. Demikian juga dirinya. Setelah beberapa lama, kami kembali berkomunikasi, entah karena apa dahulu itu. Karena apa pun itu, kurasa tak terlalu penting. Mungkin saja rasa rindu dari persahabatan kami yang membuat kami saling mencari satu sama lain.
Dalam kesibukan kami, kami masih cukup sering berinteraksi. Kadang melalui sosial media, kadang melalui messenger, ataupun dengan bertelepon dan berkirim sms. Kami berbagi apa yang kami alami. Sering sekali kami menceritakan banyak hal tetang masalah yang kami alami. Bahkan masalah yang sekiranya orang lain tak mampu memahami, kami saling mempercayai bahwa masing-masing dari kami akan memahami dan mengerti keadaan kami. Misalnya, ketika menghadapi masalah keluarga, aku yakin tidak semua orang akan mengerti posisi kami, tapi kami tetap membicarakannya dalam obrolan kami. Kami percaya dengan membagikannya satu sama lain, yang lain akan menguatkan dan mendoakannya.
Waktu berjalan. Dan sampailah pada hari di mana dia terpilih mewakili Indonesia dalam seminar ke luar negeri. Tak pernah dibayangkannya dia akan pergi ke luar negeri dengan momen seperti ini, bahkan untuk mewakili Indonesia, dalam hal ini mewakili instansinya. Aku berpikir, betapa hebatnya temanku yang satu ini. Ya, aku kagum dan bangga padanya. Aku berpikir dia sangat beruntung. Dia lebih beruntung dari aku. Nah, dari sini lah timbul pemikiran bahwa Tuhan telah menempatkan dan memperlakukan manusia ciptaanNya secara berbeda menurut kehendaNya.
Di balik semua hal yang kunilai merupakan keberuntungan ini, ternyata ada cerita lain yang membuatku bersyukur akan apa yang aku alami dan miliki saat ini. Sahabatku ini adalah seorang yang bercita-cita untuk meneruskan kuliah S2 nya di luar negeri. Namun, dalam perjalanannya, Tuhan tidak mengijinkannya. Ada beberapa kejadian yang membuatnya mengurungkan niatnya untuk melanjutkan kuliahnya di luar negeri. Adiknya jatuh sakit, sehingga dia harus terus mendampingi keluarganya. Dan itu berarti dia tidak mungkin meninggalkan keluarganya jauh-jauh. Mungkin waktu itu dia tak berpikir bahwa nantinya dia akan tetap bisa ke luar negeri dengan pengalaman yang luar biasa seperti sekarang ini.
Kisah ini tak cukup berhenti di sini. Ternyata keberangkatannya ke luar negeri ini cukup mendadak. Bisa dibilang tidak banyak waktu yang dimiliki untuk mempersiapkannya. Bahkan untuk mengurus paspor biru. Beruntungnya, sahabatku ini pernah secara iseng membuat paspor hijau, entah untuk tujuan apa. Selain itu, dia merupakan salah satu dari sedikit karyawan yang mengajukan dirinya untuk mengikuti seminar ke luar negeri ini. Mungkin banyak teman-teman sekantornya yang tidak cukup percaya diri dengan kemampuan berbahasa asingnya sehingga banyak di antaranya yang memilih untuk tidak mengajukan diri.
Keberangkatannya ke luar negeri ini seperti sudah dipersiapkan Tuhan dari jauh-jauh hari. Mulai dari paspor, kemampuan berbahasa, dan juga keinginannya untuk maju. Beruntungnya lagi, di luar negeri, dia termasuk orang yang cepat mengikuti materi yang disajikan dan juga dengan cepat bergaul dengan perwakilan-perwakilan negara lain dengan kemampuan bergaul dan berbahasanya. Menurut ceritanya, ternyata tidak semua peserta seminar itu mampu bergaul dengan baik dan mengikuti materi dengan lancar karena terkendala bahasa. Beruntung baginya itu tak menghalanginya.
Dari ceritanya, aku jadi mempunyai pemikiran lain. Ternyata, Tuhan menciptakan kita bukan tanpa rencana. Tuhan punya rencana buat masing-masing kita. Dengan rencana dan tujuan yang berbeda-beda, otomatis, Tuhan pun akan memperlakukan kita secara berbeda. Ada orang yang ditempatkan Tuhan di tengah hutan. Di sana dia mengajar anak-anak suku pedalaman. Menolong banyak orang dengan apa yang ia lakukan. Ada yang Tuhan tempatkan di pusat-pusat pemerintahan, di perkotaan, di pedesaan, dan di manapun. Tuhan memperlakukan berbeda masing-masing dari kita.
Untuk setiap tujuan rencanaNya itu, Tuhan mempersiapkan masing-masing kita. Mungkin saat ini kita tak mengerti apa yang sedang kita alami. Mungkin kita seringkali mengeluh dengan apa yang sering kita sebut dengan penderitaan. Atau mungkin saat ini kita sedang iri dan merasa banyak orang lebih beruntung dari kita. Satu hal yang bisa kukatakan, percayalah rencanaNya adalah baik. Kita berada di tempat yang berbeda, berada dalam kondisi berbeda, dan mengalami pengalaman yang berbeda. Semua itu tak lepas dari rencana indahNya yang berbeda untuk masing-masing kita.
Inilah yang membuatku bersyukur dengan apa yang aku punya dan aku alami sampai saat ini. Hal ini menyadarkanku bahwa aku sedang disiapkan Tuhan untuk sesuatu.
Lalu aku teringat dengan suatu keinginanku yang sudah lama tersimpan dalam hatiku. Keinginan tentang membuat sebuah rumah tinggal bagi orang-orang tak mampu. Di sana, mereka dapat tinggal, belajar, mengasah kemampuannya, mengembangkan bakatnya, dan pada akhirnya mereka dapat meningkatkan taraf hidupnya. Tujuan akhir dari keinginanku adalah untuk memajukan Indonesia. Aku begitu mencintai negeri ini. Dan aku sadar, aku ini kecil jika dibandingkan negaraku. Mungkin aku tak bisa mengubah Indonesia ini secara besar-besaran. Tapi setidaknya, ketika aku dapat mewujudkan mimpiku ini, ada beberapa orang yang terangkat taraf hidupnya. Dan mereka ini lah yang aku harapkan akan mengembangkan cita-citaku lebih luas lagi. Semakin berkembang, semakin luas, maka akan semakin maju Indonesiaku.
Ah, ini hanya impianku. Tapi aku masih punya pengharapan bahwa mimpiku ini akan terwujud.
Mungkin inilah rencana Tuhan menempatkanku di tempat yang berbeda. Bagaimana denganmu?

Dan inilah tanggapan sahabatku tentang tulisanku ini.
Mimpi kita dicapai bukan pada saat mimpi itu menjadi kenyataan, tapi pada saat kita menyerahkannya ke tangan Tuhan. Karena saat kita menyerahkan mimpi kita kepada Tuhan, mimpi Tuhan lah yang akan terjadi dalam kehidupan kita... dan percayalah sahabatku, ngga akan pernah habisnya kamu bersyukur ketika mimpi Tuhan itu menjadi kenyataan..