Minggu, 24 Februari 2013

Pahitnya terasa manis

Kuhirup wangi kopi dari gelasku.
Kopi yang kubuat untuk diriku sendiri.
Kopi instan yang kubuat hanya dengan menambahkan air panas saja.
Aromanya, cukup untuk membuat otakku tenang.

Berkelebat cepat dalam pikiranku, potongan-potongan kisah.
Kebanyakan yang melintas adalah kenangan pahit.
Pahit, tapi menyenangkan.

Pagi ini, kopiku rasa moca.
Pahitnya kopi bercampur dengan pahitnya coklat.
Tapi ada rasa manis terselip dalam larutan hitam kecoklatan ini.
Setiap sesapan pahitnya masih meninggalkan rasa manis.

Waktu-waktu belakangan ini memaksaku mengeluarkan tangis.
Tangis penyesalan yang seharusnya tak boleh kusesali.
Aku memang salah sehingga aku harus menyesal.
Aku memang sudah seharusnya menikmati pahitnya kisahku.
Namun akhirnya aku mengerti bahwa penyesalan tak boleh terjadi.
Tangisku tak boleh terus menjadi tangis.
Tangisku harus berubah menjadi ucapan syukur.

Kopiku pahit. Sama halnya dengan tangis penyesalanku.
Namun dalam tiap tetesnya, masih ada manis yang kurasa.
Aku menikmati setiap pahitnya.
Aku menyukai rasa pahitnya.
Pahitnya terasa manis.

Kamis, 21 Februari 2013

Sedikit engkau dalam agenda waktuku

Teruntuk engkau, yang hampir tak terdeteksi dalam agenda waktuku.

Ini terlalu singkat. Hampir tak kusadari kau hadir dalam jalan hidupku. Berjalan bersamaku. Walaupun itu terjadi hanya beberapa saat.
Entah waktu yang berjalan sangat cepat, atau dia terlalu pelit memberi ruang bagiku dan bagimu. Atau mungkin juga aku yang terlalu egois untuk memiliki sendiri waktuku. Tak mau berbagi denganmu.
Terlalu berbeda caramu mendatangiku. Terlalu kaget aku mengetahui maksudmu. Semuanya hampir tak sejalan. Hanya satu yang menyatukan. Keseriusan.
Tapi ternyata aku tak cukup serius bagimu. Aku terlalu sedikit memberi diri untukmu.
Kaupun merasa tak tepat untukku. Bukan buruk, tapi tak seirama. Aku berjalan terlalu cepat, banyak hal kulakukan. Tak menyadari kau mengkuti. Kau pun tertinggal dan hanya memandangiku.
Mungkin tak adil bagi kita. Bagiku, juga bagimu.
Bukan aku menyalahkan takdir, tapi mungkin ini memang permainannya.
Tak banyak kenangan tercipta. Tapi cukup indah bekas yagn kau tinggalkan.
Aku menghargai tiap tindakanmu. Aku mencoba berdamai dengan keadaan.
Mungkin saat ini kita tak berjalan di jalan yang sama.
Mungkin butuh satu kilometer, mungkin butuh satu mil untuk manytukan jalan ini.
Tapi mungkin juga jalan kita tak akan pernah bertemu lagi. Mungkin ini hanya persimpangan. Persimpangan yang mempertemukan kita pada waktu lampu merah menyala. Sekedar menyapa, kemudian harus lekas melaju lagi menjalani hidup.
Seandainya boleh berandai-andai dan berharap, aku mengandaikan jalan kita segera bertemu. Aku sudah lelah berjalan mencari jalan yang bisa disatukan. Aku terlalu sering terjatuh dan mengalami kesakitan.
Seandainya memang jalanku ini bisa disatukan dengan jalanmu, jadilah demikian.
Namun jika tidak, tak apa. Itu berarti aku masih harus berjalan menemukan jalan lain.
Terima kasih, engkau yang pernah hadir.
Terima kasih, engkau yang pernah menyapa.
Maafkan aku yang tak menempatkanmu dengan banyak ruang di agenda waktuku.