Ya, dan akhirnya kamu memutuskan untuk mengatakannya padaku.
"Gi, aku pengen kenal kamu lebih deket. Aku mau serius. Aku pengen kamu jadi pacarku."
Yang aku rasakan adalah kekagetan yang cukup besar. Yang kurasakan, bukanlah penolakan akan cintamu.
"Gia gak tau, Kak. Gia belum kenal banget sama Kakak. Buat Gia, pacaran itu buat menikah, Kak, jadi bukan sesuatu yang main-main. Tapi Gia juga gak mau nolak Kakak sebelum Gia memberi kesempatan untuk hati Gia, Kak."
Aku tak mau menyesal dengan penolakan. Aku memang belum mengenalmu. Tapi yang kutahu, kamu adalah orang baik.
"Iya. Aku juga mau kamu mengenalku. Aku bukan ngajakin kamu nikah bulan depan kok. Tapi percayalah, aku serius mau kenal sama kamu, Gi."
Senyummu menembahkan keyakinan pada hatiku.
Waktu berjalan. Beberapa event menyita waktuku. Menyita kesempatan untuk bertemu denganmu. Keraguan mulai menghantuimu.
"Apa cewek ini memang untukku? Apa aku bisa mengimbangi kesibukannya? Apa dia mau memberi waktunya untukku? Apa dia akan tersiksa jika aku menyita banyak waktunya dan membuat dia harus meninggalkan beberapa kesibukannya?"
Semua hantu pikiran itu terus bergentayangan dalam benakmu. Kamu tak kuasa untuk menahan keraguanmu. Keyakinanmu, keseriusanmu, kepercayaanmu, mulai goyah. Sepertinya badai dan angin telah sukses meniup ketegarannya.
Suatu sore, kita berjanji bertemu. Aku ingin bertemu denganmu karena memang aku merindukanmu. Kamu ingin bertemu denganku karena kamu ingin mengutarakan keyakinanmu yang mulai goyah.
Sore itu hujan. Aku mulai cemas. Perasaan tak enak sudah menghinggapiku dari tadi pagi. Aku tak ingin sesuatu yang buruk terjadi.
Namun..takdir tak dapat ditahan, alur cerita tak dapat dibelokkan. Apa yang kutakutkan akhirnya menjadi nyata. Kau tak datang untuk menemuiku.
"Gi, maafkan Kakak ya. Kakak gak bisa ke rumah, di sini hujan. Kakak gak punya jas hujan."
"Gak bisa diusahakan ya, Kak?"
"Maaf ya, Gi. Kakak gak bisa ke sana. Kakak males kena hujan."
Walaupun tak ada petir saat itu, tetapi hatiku telah hangus, layaknya pohon tersambar petir.
"Oh, gitu ya, Kak. Iya deh, Kak."
"Gi..boleh Kakak ngomong sesuatu?"
"Boleh lah, Kak"
Aku mulai menahan perih. Aku mulai menahan tangis.
"Kakak rasa, Kakak gak bisa lagi ngelanjutin perkenalan kita. Maaf, Gi. Bukan Kakak gak serius, tapi..ah, entahlah..Kakak mulai ragu. Kakak rasa, Kakak gak bisa mengimbangi kegiatanmu. Mungkin Kakak bukan orang yang tepat buat dijadiin pasanganmu."
"..."
"Gi, kamu gak papa kan?"
Apakah bisa aku mengatakan bahwa aku baik-baik saja? Apakah hati yang telah hancur ini bisa disebut baik-baik saja?
"Eh, iya, Kak. Gia gak papa kok. Ya kalo Kakak menganggap itu baik, ya sudah. Gia gak bisa maksain juga, Kak."
Tangisku mulai tak terbendung. Namun aku tetap berusaha berbicara dengan suara normal. Walaupun itu tak berhasil. Aku tahu, kamu pasti tahu kalau aku sedang menangis.
"Gia cuma pengen bilang kalo sebenernya Gia mulai sayang sama Kakak."
"Gi...maaf.."
"Iya, Kak. Gia gak akan maksa Kakak."
"Aku cuma ngerasa beberapa hari ini aku lalui dengan tawar hati. Aku kaya ngerjain semuanya setengah hati. Kaya gak ada rasa. Aku gak mau memperlakukanmu kaya gitu, Gi."
"Umm..apa gak bisa ada usaha lebih, Kak? Maksud Gia, kalo Kakak mau, kita bisa mulai dari awal, Kak. Gia bisa kok kasi waktu untuk Kakak. Gia bisa atur ulang jadwal kegiatan Gia."
"Gi..sepertinya emang udah gak bisa. Maaf."
"..."
"Gi..jangan nangis.."
"..."
"Gi?"
"Kak, Gia akan baik-baik aja kok. Janji. Tapi sekarang, Gia gak bisa menutupi kalo Gia sakit Kak."
"Maafin Kakak, Gi."
"Kakak gak salah kok. Gia gak bisa maksain Kakak buat punya perasaan ke Gia. Gia emang ngerasa ini gak adil. Kakak yang datang duluan ke Gia, tapi malah Gia yang sakit. Tapi Gia percaya kok, ini gak lama. Gia pasti bisa lewatin ini, Kak."
"Gi, maaf."
Mau tak mau, aku akan berusaha tertawa. Agar kamu tak merasa bersalah.
"Hehehe..gak papa, Kak. Di sana masih ujan, Kak?"
"Iya, masih."
"Wah, sayang ya, Kak. Kakak kan jadi gak bisa ke mana-mana kalo ujan. Eh, Kakak udah nonton film terbaru di bioskop?"
"Ah, emm...iya, ntar lagi mungkin udah reda. Biasanya juga gak ke mana-mana kok. Emang ada film apa di bioskop?"
Obrolan tetap berlangsung. Sesekali isakanku masih terdengar. Di luar, tetesan hujan masih riang berjatuhan dari langit. Hatiku masih tak karuan.
Sore ini hujan. Cintaku tak datang. Cinta tak akan datang waktu hujan.