Rabu, 17 April 2013

Cinta tak akan datang waktu hujan

Yang aku tahu, kamu mulai mendekatiku. Yang aku tahu, kamu mulai mencoba menarik perhatianku.
Ya, dan akhirnya kamu memutuskan untuk mengatakannya padaku.
"Gi, aku pengen kenal kamu lebih deket. Aku mau serius. Aku pengen kamu jadi pacarku."
Yang aku rasakan adalah kekagetan yang cukup besar. Yang kurasakan, bukanlah penolakan akan cintamu.
"Gia gak tau, Kak. Gia belum kenal banget sama Kakak. Buat Gia, pacaran itu buat menikah, Kak, jadi bukan sesuatu yang main-main. Tapi Gia juga gak mau nolak Kakak sebelum Gia memberi kesempatan untuk hati Gia, Kak."
Aku tak mau menyesal dengan penolakan. Aku memang belum mengenalmu. Tapi yang kutahu, kamu adalah orang baik.
"Iya. Aku juga mau kamu mengenalku. Aku bukan ngajakin kamu nikah bulan depan kok. Tapi percayalah, aku serius mau kenal sama kamu, Gi."
Senyummu menembahkan keyakinan pada hatiku.
Waktu berjalan. Beberapa event menyita waktuku. Menyita kesempatan untuk bertemu denganmu. Keraguan mulai menghantuimu.
"Apa cewek ini memang untukku? Apa aku bisa mengimbangi kesibukannya? Apa dia mau memberi waktunya untukku? Apa dia akan tersiksa jika aku menyita banyak waktunya dan membuat dia harus meninggalkan beberapa kesibukannya?"
Semua hantu pikiran itu terus bergentayangan dalam benakmu. Kamu tak kuasa untuk menahan keraguanmu. Keyakinanmu, keseriusanmu, kepercayaanmu, mulai goyah. Sepertinya badai dan angin telah sukses meniup ketegarannya.
Suatu sore, kita berjanji bertemu. Aku ingin bertemu denganmu karena memang aku merindukanmu. Kamu ingin bertemu denganku karena kamu ingin mengutarakan keyakinanmu yang mulai goyah.
Sore itu hujan. Aku mulai cemas. Perasaan tak enak sudah menghinggapiku dari tadi pagi. Aku tak ingin sesuatu yang buruk terjadi.
Namun..takdir tak dapat ditahan, alur cerita tak dapat dibelokkan. Apa yang kutakutkan akhirnya menjadi nyata. Kau tak datang untuk menemuiku.
"Gi, maafkan Kakak ya. Kakak gak bisa ke rumah, di sini hujan. Kakak gak punya jas hujan."
"Gak bisa diusahakan ya, Kak?"
"Maaf ya, Gi. Kakak gak bisa ke sana. Kakak males kena hujan."
Walaupun tak ada petir saat itu, tetapi hatiku telah hangus, layaknya pohon tersambar petir.
"Oh, gitu ya, Kak. Iya deh, Kak."
"Gi..boleh Kakak ngomong sesuatu?"
"Boleh lah, Kak"
Aku mulai menahan perih. Aku mulai menahan tangis.
"Kakak rasa, Kakak gak bisa lagi ngelanjutin perkenalan kita. Maaf, Gi. Bukan Kakak gak serius, tapi..ah, entahlah..Kakak mulai ragu. Kakak rasa, Kakak gak bisa mengimbangi kegiatanmu. Mungkin Kakak bukan orang yang tepat buat dijadiin pasanganmu."
"..."
"Gi, kamu gak papa kan?"
Apakah bisa aku mengatakan bahwa aku baik-baik saja? Apakah hati yang telah hancur ini bisa disebut baik-baik saja?
"Eh, iya, Kak. Gia gak papa kok. Ya kalo Kakak menganggap itu baik, ya sudah. Gia gak bisa maksain juga, Kak."
Tangisku mulai tak terbendung. Namun  aku tetap berusaha berbicara dengan suara normal. Walaupun itu tak berhasil. Aku tahu, kamu pasti tahu kalau aku sedang menangis.
"Gia cuma pengen bilang kalo sebenernya Gia mulai sayang sama Kakak."
"Gi...maaf.."
"Iya, Kak. Gia gak akan maksa Kakak."
"Aku cuma ngerasa beberapa hari ini aku lalui dengan tawar hati. Aku kaya ngerjain semuanya setengah hati. Kaya gak ada rasa. Aku gak mau memperlakukanmu kaya gitu, Gi."
"Umm..apa gak bisa ada usaha lebih, Kak? Maksud Gia, kalo Kakak mau, kita bisa mulai dari awal, Kak. Gia bisa kok kasi waktu untuk Kakak. Gia bisa atur ulang jadwal kegiatan Gia."
"Gi..sepertinya emang udah gak bisa. Maaf."
"..."
"Gi..jangan nangis.."
"..."
"Gi?"
"Kak, Gia akan baik-baik aja kok. Janji. Tapi sekarang, Gia gak bisa menutupi kalo Gia sakit Kak."
"Maafin Kakak, Gi."
"Kakak gak salah kok. Gia gak bisa maksain Kakak buat punya perasaan ke Gia. Gia emang ngerasa ini gak adil. Kakak yang datang duluan ke Gia, tapi malah Gia yang sakit. Tapi Gia percaya kok, ini gak lama. Gia pasti bisa lewatin ini, Kak."
"Gi, maaf."
Mau tak mau, aku akan berusaha tertawa. Agar kamu tak merasa bersalah.
"Hehehe..gak papa, Kak. Di sana masih ujan, Kak?"
"Iya, masih."
"Wah, sayang ya, Kak. Kakak kan jadi gak bisa ke mana-mana kalo ujan. Eh, Kakak udah nonton film terbaru di bioskop?"
"Ah, emm...iya, ntar lagi mungkin udah reda. Biasanya juga gak ke mana-mana kok. Emang ada film apa di bioskop?"
Obrolan tetap berlangsung. Sesekali isakanku masih terdengar. Di luar, tetesan hujan masih riang berjatuhan dari langit. Hatiku masih tak karuan.
Sore ini hujan. Cintaku tak datang. Cinta tak akan datang waktu hujan.

Jumat, 05 April 2013

Kisah Teras Belakang

Jika aku dapat berkisah, akan banyak yang akan kututurkan padamu.
Jika aku dapat bersuara, akan banyak bicaraku tentang mereka, tentang persahabatan mereka.

Aku telah melihat tawa dan tangis yang dibalut dalam persahabatan mereka.

Waktu itu telah malam. Aku tak tau pasti apa yang terjadi padanya. Yang kutahu, dia datang padaku dalam keadaan sedih. Ia menangis. Tanpa suara. Tangisan yang tertahan yang terasa sangat pilu. Kulihat kehancuran hatinya dalam tiap tetesan air matanya. Mungkin waktu itu dia berpikir lebih baik tak ada esok hari.
Aku hanya bisa diam. Melihatnya menangis. Dan menjaganya dari malam.
Dan tak perlu sampai pagi aku menjaganya. Sahabatnya menjemputnya.

Lain waktu aku melihat mereka berdua mendekatiku. Duduk bersamaku. Mereka lalu asik meracik bumbu dan membuat masakan. Harum persahabatan mereka lebih kental dari apa yang mereka masak. Lebih wangi dan terasa lebih lebih lezat.
Aku hanya tersenyum memandang mereka.

Pernah juga suatu sore mereka duduk-duduk sambil menikmati teh hangat. Bercanda, tertawa. Sesekali seseorang menempelkan gelas tehnya di punggung temannya. Dan mereka menyebutnya terapi teh. Hangat teh dari gelas membuat mereka nyaman. Namun kehangatan persahabatan mereka telah membuatku hangat. Kehangatan yang akan selalu kurasakan ketika melihat mereka bersama.

Suatu waktu, aku sangat sedih. Aku melihat mereka berdua sedang membakar kenangan-kenangan mereka. Bukan mereka tidak lagi menyayanginya. Tapi mereka hendak meninggalkannya. Termasuk meninggalkanku. Itu yang lebih membuatku sedih.

Setelah beberpa lama mereka meninggalkanku, seorang dari mereka akhirnya datang lagi padaku. Aku senang. namun, kondisi telah berbeda. Rasa baru telah tercipta. Walaupun menyenangkan, namun kuakui, aku merindukan sahabatnya.

Sayangnya, sekarang aku kembali harus merelakannya. Ia kembali meninggalkanku.
Tak apa. Biarlah mereka meninggalkanku. Biarlah mereka terbang mengejar mimpi mereka. Dan biarlah persahabatan mereka tetap terukir di sini. Mungkin tak akan terlihat. Mungkin hanya aku kusimpan dalam tabung kenanganku. namun biarlah ini menjadi indah.

Sampai jumpa lagi sahabat. Mungkin suatu saat kita bisa bertemu.
Aku, si teras belakang.