Rabu, 25 September 2013

Sepi pun ikut bernyanyi

Dalam hening aku bernyanyi,
Lagu cinta yang abadi.

Aku memetik gitar,
Membayangkan engkau mendengar.
Aku tau kau tak di sini,
Aku tau kau tak merasa sepi.
Sepi hanya temanku.
Sepi hanya kerinduanku.

Gitar ini milikmu
Hati ini milikmu
Jiwa ini milikmu
Maka kucipta lagu untukmu

Dengar, dengarlah
Sepi pun ikut bernyanyi

Selasa, 24 September 2013

Menjemput Ibu

Malam yang dingin. Tapi tidak di hati ibu itu. Ibu itu selalu bahagia ketika anak kesayangannya memilih menjemputnya dari pada nongkrong bersama temannya.

Seperti malam-malam sebelumnya, ibu harus pulang lebih lama. Sudah seminggu ini ibu lembur. Aku tau, itu semua karena aku. Aku harus mengikuti ujian praktek bulan depan. Itu berarti aku harus membeli beberapa barang untuk mendukung ujianku. Dan, keuangan kami yang pas-pasan, membuat ibu harus menambah jam kerjanya agar dapat tambahan uang.
Hari ini, teman baikku berulang tahun. Ia mengajakku merayakan ulang tahunnya. Ah, temanku pasti mengerti, ibuku lebih membutuhkanku.

Aku bersyukur atas seorang anak yang Kau titipkan padaku. Seorang anak yang baik, yang mau mengerti kondisiku. Suamiku sudah tiada. Aku harus berjuang sendiri menghidupi diriku dan anakku. Dari hasil kerjaku, aku berhasil membeli motor untuk anakku. Di sini, kalau tak punya motor, serasa tak punya kaki. Tak bisa ke mana-mana. Syukurlah, anakku tak memakainya untuk keliling-keliling tak jelas.
Aku bersyukur ketika anakku masih mengingat untuk menjemputku. Aku tahu, hari ini ulang tahun sahabatnya. Seharusnya dia bisa memintaku untuk pulang sendiri. Tapi tak dilakukannya. Maaf jika ibu harus pulang malam beberapa hari ini. Maaf, waktumu untuk berkumpul bersama teman-temanmu jadi berkurang. Ibu janji, ibu akan terus bekerja dan berjuang untukmu, nak. Ibu akan berusaha memenuhi kebutuhanmu. Ibu sayang kamu, nak.

Senin, 23 September 2013

Pasar Malam

Pernah ke pasar malam? Dulu aku sering diajak ke pasar malam. Dulu, waktu masih kecil.
Dulu, rasanya sangat senang ketika diajak ke pasar malam. Senang karena suasana ramainya, senang karena banyak yang bisa dilihat, senang karena bisa tpkeluar di malam hari.
Seiring berjalannya waktu, kegiatan ke pasar malam sudah tak menarik lagi bagiku. Malas berdesakan dengan banyak orang. Banyak tugas sekolah. Dan juga banyak hiburan yang bisa kudapat tanpa aku harus keluar rumah.
Beberapa waktu lalu aku pergi bersama temanku ke pasar malam, tepatnya di pesta kesenian Bali. Aku senang. Sudah lama tak merasakan suasana seperti ini. Banyak orang berjualan. Banyak permainan yang menurutku sudah jarang aku temui, contohnya bianglala ini.
Lalu aku berpikir, bagaimana seandainya pasar malam sudah tak ada lagi? Bagaimana nasib orang-orang yang menggantungkan hidupnya dengan menjual tenaga untuk permainan-permainan di pasar malam?
Aku melihat sekitarku. Masih banyak tawa di sini, di pasar malam ini. Banyak anak kecil yang mungkin sama sepertiku dulu, sangat bersemangat ketika diajak ke pasar malam. Ya, orang-orang inilah yang akan menjaga pasar malam. Semoga, mereka tidak tergerus arus modernisasi.

Minggu, 22 September 2013

Belajar Menjadi Dirigen

Ok, kali ini agak melenceng dari tema people around us. Kali ini adalah foto saya sendiri yang tentunya diambil oleh orang lain, walaupun diambil dengan kamera hp saya.

Jadi, ceritanya, saya hari ini dikasi tugas jadi dirigen. Ini pertama kali buat saya. Eh, sebelum cerita, mungkin ada baiknya kalau saya memberi tahu bahwa saya adalah salah satu anggota paduan suara gereja. Baru beberapa bulan ini kami punya pelatih baru. Secara kualitas, pelatih baru ini lebih banyak ilmunya dari pelatih yang dulu. Dan cara mengajarnya pun agak berbeda. Jika dulu gak pernah diajari caranya memimpin nyanyi, sekarang sang pelatih mulai menunjuk dan memberikan ilmu tentang menjadi seorang dirigen.
Penunjukan menjadi dirigen ini terjadi minggu lalu waktu latihan rutin terakhir. Kaget, takut, seneng, semua deh nyampur jadi satu. Kaget karena gak nyangka bakal ikutan ditunjuk. Takut, tepatnya takut salah karena ini pertama kalinya dan saya ngerasa belum pernah belajar menjadi dirigen. Seneng karena itu berarti saya bisa belajar hal baru. Mana tau, saya punya kemampuan di situ.
Hari ini lah saatnya saya maju dan memimpin paduan suara dan jemaat dalam ibadah. Sebelum ibadah dimulai, kami janjian berkumpul dua jam sebelumnya. Sayangnya, salah satu dari dirigen yang ditunjuk gak bisa datang karena mendadak pulang kampung. Dan tugas itu dialihkan ke saya. Matilah saya.
Jujur, saya sudah cukup stres ketika saya harus mimpin satu lagu. Ini malah ditambah satu lagi. Ternyata kejutan gak sampai di situ. Ada dua lagu ysng mendadak ditambahkan ke saya untuk saya pimpin.
Entahlah. Saya gak tau lagi bagaimana mengekspresikan perasaan saya. Saya pengen nangis. Beneran. Tapi anehnya, saya gak bisa nolak, dan saya pun gak bisa nangis, malah ketawa-ketawa.
Entah kerasukan apa tadi itu, saya maju-maju saja. Mimpin seperti yang sudah diajarkan. Setiap gerakan harus tegas. Bagian akhir harus jelas. Cara mengajak bernyanyi, cara berhenti, tanda permata, rit. Aaaah...pusing saya. Tapi ya sudahlah. Untung semua bisa saya lalui. Saya bersyukur. Lebih bersyukur lagi, ternyata saya mendapat ilmu. Besok-besok saya akan belajar lebih baik lai, Bu Pelatih. Selamat hari minggu.

Sabtu, 21 September 2013

Merenung

Aku tak mengerti apa yang sedang mereka bicarakan. Otakku terasa kacau.

Seharusnya sekarang ini aku sedang berdiskusi dengan kelompokku. Seharusnya aku memberi ide dan pemikiran tentang topik diskusi malam ini. Tapi apa yang terjadi? Otakku kacau. Pikiranku tak di sini. Seperti ada benang kusut di kepalaku.
Aku tak bisa berpikir. Dari pada aku meracau, lebih baik aku diam. Lalu kuputuskan untuk merenung. Mengingat kembali akar masalahku. Mencoba mengurai benang-benang kusut di kepalaku. Satu-satu kuluruskan. Satu-satu kubuka simpulnya.

Lama aku merenung. Perlahan benang kusutku pun mulai terurai.


Kamis, 19 September 2013

Lelah

Pagi ini mendung. Cuaca yang sangat enak untuk melanjutkan tidur. Tapi tidak untuknya. Dia harus bangun pagi. Dan hari ini, dia bangun lebih pagi dari biasanya. Segera dia memasak untuk suami dan anaknya. Masakan yang disertai bumbu kasih sayang. Pasti lezat.
Usai memasak, ia lantas mengendarai motornya menuju pasar. Dia harus membeli bahan masakan untuk besok. Tak mudah menentukan akan memasak apa. Jika terlalu sering memasak satu jenis masakan, pasti ada rasa bosan. Apalagi dia memasak bukan untuknya sendiri. Harus tahu selera suami dan anaknya.
Sampai di rumah, segera dia mandi. Belum sempat dia bersiap-siap ke kantor, anaknya sudah bangun. Dia harus memandikanya dan mempersiapkan anaknya untuk sekolah. Akan bertambah lama jika anaknya rewel. Setelah dirinya dan anaknya wangi dan rapi, biasanya dia akan ke pura untuk sembahyang. Menghadap Yang Maha Kuasa dan menyerahkan harinya ke dalam rencana-Nya. Ritual yang seharusnya dilakukan oleh semua orang sebagai ucapan syukur atas hidupnya.
Setelah semua dilakukannya, barulah dia bisa berangkat ke kantor.
Hey, ini masih setengah delapan, dan wanita ini telah melakukan banyak sekali aktivitas. Pantaslah jika ia sekarang kelelahan. Mungkin semalam ia tak bisa tidur karena anaknya. Mungkin pagi ini dia beraktivitas lebih dari biasanya karena asisten rumah tangganya belum datang. Entahlah. Yang pasti dia butuh istirahat. Ibu muda yang hebat, beristirahatlah, karena banyak pekerjaan yang harus diselesaikan hari ini.

Kapan Pulang

Bahagianya mereka. Turun dari kereta dengan hati yang penuh kerinduan. Sebentar lagi, mungkin mereka sudah bisa makan bersama keluarganya.
Bapak, kapan pulang?
Seorang nenek turun dari kereta bersama dua orang cucu dan seorang anak perempuannya. Mungkin mereka akan mengunjungi sanak saudaranya. Di tempat lain, sebuah keluarga tengah kerepotan membawa barang-barangnya. Mungkin akan banyak oleh-oleh yang dibagikan. Mungkin, mereka sedang pulang dari perantauan.
Bapak, kapan pulang?
Rindu ini sudah tersimpan selama bertahun-tahun. Aku masih mencoba menjaganya agar tak usang. Entahlah. Mungkin tahun ini aku akan mengakhiri kerinduanku. Kerinduan yang selalu kuselipkan dalam mimpiku. Kerinduan yang selalu membuatku bertanya, "Kapan pulang."

Rabu, 18 September 2013

Kenangan

Ah, sudah jam segini. Sepertinya aku agak terlambat malam ini. Tempat ini sudah sepi, dan selalu sepi ketika aku di sini. Tak ada orang. Hanya aku sendiri.
Kali ini aku duduk di pojok ruangan. Tak ada pelayan mendatangiku. Tak ada menu ditawarkan padaku. Yang kulakukan hanya melamun. Apa lagi yang kulamunkan selain kenangan hidupku.
Tempat makan ini cukup unik. Didesain dengan tampilan yang akan menimbulkan kenangan dari orang yang datang. Itulah sebabnya aku sekarang ini duduk di sini. Terperangkap oleh kenangan. Lebih tepatnya menjatuhkan diri dalam perangkap kenangan.

Sayup-sayup kudengar suara ayam berkokok. Menyadarkanku bahwa aku harus segera beranjak dari sini. Aku tak mau matahari membakarku dan melenyapkanku.
Besok, ketika semua orang sudah meninggalkan tempat ini, aku akan duduk kembali di sini. Tenang saja, kau tak akan melihatku.

Selasa, 17 September 2013

Bukan Akhir

Hari ini adalah hari terakhir kita bertemu di dunia ini. Memang jiwamu telah meninggalkanku beberapa hari lalu, tapi jasadmu baru akan meninggalkanku hari ini. Hari ini akan diadakan upacara ngaben untukmu. Jasadmu akan kembali menjadi debu. Tenang saja, kau tak akan merasakan sakit lagi. Penyakitmu akan terbakar. Jiwamu pun akan tenang.
Jangan lagi mengkhawatirkan aku. Aku akan baik-baik saja.
Seperti katamu, kematian bukanlah akhir. Dan aku akan menyimpan itu dalam benakku. Aku tak akan mengakhiri rasaku padamu. Rasa itu akan selalu ada. Masih akan sama seperti dulu, atau sekarang. Akan kusimpan dengan rapi segala kenangan tentangmu. Akan kubuatkan kotak kenangan khusus untukmu. Kutempatkan di tempat istimewa. Dan kupastikan tak akan ada yang menggesernya.
Jangan takut aku akan sendirian. Aku tak akan merasa sendiri. Bukankah engkau telah menjadi debu dan kembali ke tanah? Jika memang demikian, engkau akan selalu bersamaku. Bersama langkahku yang memijak tanah. Bersama hatiku yang telah kutanam ke dalamnya. Oh, kalau kau masih tak percaya aku tak sendirian, lihatlah, betapa banyaknya orang-orang yang mengiring bukur untukmu. Mereka pasti akan bersamaku. Percayalah.
Jangan menangis melihatku. Kau lihat, kan, aku tak menangis? Aku pastikan aku akan bahagia. Karena bahagiaku adalah bahagiamu. Dan aku tak ingin kau tak bahagia.
Percayalah, aku akan baik-baik saja. Sama seperti aku mempercayai kata-katamu, bahwa ini bukan akhir.
Sampai ketemu, kekasihku.

*bukur: tempat meletakkan peti biasanya berbentuk lembu atau vihara, ada pula yang menyebutnya wadah, terbuat dari kayu dan kertas. (sumber: wikipedia)

Senin, 16 September 2013

Biar Saja

Tadi pagi hujan. Sisa-sisa rintiknya masih setia membasahi bumi. Tidak deras, tapi cukup membuatku sakit, kurasa. Atau mungkin, sakit ini bukan karen hujan? Entahlah. Biar saja hujan menyentuku. Aku hanya mau menutup kepalaku saja. Atau mungkin sebenarnya aku ingin menutup otakku dari pikiran-piran yang mengganggu ini?
Aku masih harus menapaki jalan ini untuk sampai tujuanku. Dua orang temanku sudah di depan. Biar saja. Aku ingin menikmati setiap langkah kakiku. Berat memang. Tapi harus kulangkahkan demi tujuanku.
Mendung masih menggantung.Cukup pekat untuk menurunkan hujan secara tiba-tiba. Ah, biar saja. Aku tak mau berkejaran dengannya. Dia temanku. Setidaknya, pekatnya menggambarkan isi hatiku. Jika dia mau menurunkan hujannya, ya sudah, aku akan menyambutnya.
Dinginnya udara pegunungan ini makin menusuk. Sama seperti hatiku yang telah menjadi dingin. Biar saja. Kami sama-sama dingin.
Jika aku bisa berhenti sekarang, aku ingin berhenti. Jika aku bisa meringkuk sekarang, aku pun ingin melakukannya. Tapi, alam hanya teman. Teman yang megningatkan. Teman yang tak mengijinkanku terpuruk dalam dingin dan gelap. Ia menyuuhku tetap berjalan, walau terseok. Ia menyuruhku tetap berdiri, walau kurasakan berat menopang tubuh ini.
Biar saja. Biar saja pikiran ini mengembara. Biar saja kenangan buruk menyiksa jiwa. Biar saja dingin membekukan hati. Biar saja mendung menurunkan hujannya. Karena setelah ini akan ada pelangi.

Minggu, 15 September 2013

Buah Yang Manis

Kompetisi kadang memang memaksa manusia untuk berusaha. Sama seperti yang kami lakukan. Kami adalah kelompok paduan suara yang masih belum mempunyai banyak anggota. Sudah tak banyak anggotanya, masing-masing anggota ada orang yang cukup sibuk pula.
Di suatu waktu di bulan Agustus, kami ingin sekali mengikuti lomba vocal group. Ya, namanya juga kompetisi, kami pasti berharap menang. Namun, kesibukan ternyata menjadi penghalang utama kami untuk melakukan latihan secara full team. Terpaksalah kami berlatih seadanya anggota.
Beberapa hari sebelum hari H, kami mulai pesimis. Lagu yang seharusnya kami bawakan tanpa partitur, belum bisa kami hafal dengan sempurna. Belum lagi gerakan yang harus dilatin agar tidak terlihat kaku. Di beberapa bagian lagu, juga masih butuh polesan dan latihan agar terdengar bagus dan tidak fals. Namun, meskipun kami pesimis, kami tetap semangat berlatih. Yang penting memberi yang terbaik. Sisanya serahkan pada Tuhan.
Tibalah hari yang membuat kami deg-degan. Kami belum hafal seluruh bagian lagu. Akhirnya kami memutuskan untuk membawa partitur. Kami tahu, itu akan mengurangi nilai, walaupun tidak ada aturan lomba yang melarangnya. Kami bernyanyi dan memberi yang terbaik yang bisa kami beri. Kami menyanyi dari hati kami.
Selesai menyanyi, kami merasa lega luar biasa. Entah karena apa.
Waktu itu, kami tak berpikir menjadi juara pertama. Kami sadar diri. Dengan membawa partitur dan melihat penampilan kelompok lain, kami merasa kemungkinan besar bukan kami pemenangnya. Tapi harapan untuk menang masih ada. Perpaduan suara kami cukup harmoni, dan aransemen lagu kami lain dari lagu-lagu yang dibawakan oleh kelompok lain.
Saat pengumuman pemenang tiba, kami kaget luar biasa. Ternyata kami juara pertama. Bagi kami, ini anugerah. Sesuatu yang dilakukan dengan hati yang tulus, akan membuahkan sesuatu yang manis. Kalaupun kami tak mendapatkan juara malam itu, kami pasti masih bisa merasakan manisnya perjuangan kami karena kami melakukannya dengan hati kami.


Sabtu, 14 September 2013

Wanita-wanita Tangguh

Ketika Indonesia telah mengakui emansipasi wanita, mungkin itu juga berlaku bagi semua pekerjaan.
Hari ini, aku berkunjung ke dusun Alengkong, Songan. Sebuah dusun di daerah Kintamani, Bali. Dan aku bertemu dengan emansipasi.
Di balik gemerlapnya Bali, di balik eksotisnya Bali, ternyata masih menyimpan kondisi yang sangat jauh dari suasana "menyenangkan". Untuk mencapai dusun Alengkong, kami berkendara sampai danau Kintamani dengan mobil biasa. Setelah itu, kami harus beralih ke mobil pick up, dan sebagian harus naik motor. Ternyata dusun tersebut berada di kawasan yang cukup sulit dijangkau. Jalan yang kami lalui sempit dan berliku. Ditambah berpasir dan berdebu. Mobil kami sempat terhenti karena salah satu mobil tidak sanggup melalui medannya.
Dalam perhentian itu, aku bertemu salah satu bentuk emansipasi, mungkin. Aku melihat beberapa wanita tangguh. Mereka sedang mengaduk semen. Ya, mengaduk semen. Di jalan berliku, menanjak, dan berdebu. Sekali lagi, beberapa, bukan hanya satu. Itu berarti cukup lazim menggunakan tenaga perempuan untuk membangun suatu proyek.
Aku tak tahu mengapa mereka mau bekerja sebagai tukang bangunan. Dan, aku tak mau sok tahu. Mungkin memang sudah lazim. Tapi mungkin juga mereka terpaksa melakukannya.
Yah, apa pun alasannya, bagiku mereka wanita tangguh. Tak hanya berperan sebagai ibu, tetapi juga berperan sebagai pencari nafkah. Salut untuk kalian, wanita-wanita tangguh.

Jumat, 13 September 2013

Lagu Untukmu

Gadis cantik itu datang lagi. Tak seperti biasanya, kali ini dia datang bersama teman-temannya. Sepertinya sedang merayakan ulang tahun salah satu dari mereka.
Aku petik gitarku. Kulantunkan sebuah lagu romantis. Memang ini pekerjaanku, tapi malam ini, dan seperti malam-malam ketika dia hadir di sini, aku menyanyikannya dari hatiku untuknya.
Kulihat dia terdiam di tengah ramainya canda dan tawa teman-temannya. Mungkin dia sedang mendengar laguku. Semoga. Ah, dia tersenyum. Hatiku bergetar. Mungkin dia merasakan rasaku. Mungkin dia mendengar nyanyian hatiku.
Seandainya aku bisa duduk bersamanya. Ini akan menyenangkan. Pantai, angin, dan musik. Romantis.
Kulantunkan lagi sebuah lagu. Kepada angin. Kepada ombak. Teruntuk gadis cantikku.

Kamis, 12 September 2013

Terima Kasih Atilla

"Atillaaaa..."
Aku memasuki rumah sahabatku ini dengan tak sabar. Kerinduanku pada anaknya yang belum genap berusia enam bulan yang menarikku ke rumah ini. Bukan sahabatku yang pertama kucari, melainkan anaknya.
"Coba liat, tante bawa apa buat kamu, sayang." Langsung kugendong Atilla dan kuberikan mainan kesukaannya. Dia tertawa. Rasanya aku sangat bahagia melihatnya tertawa.
Aku semakin sering berkunjung ke rumah ini sejak Atilla lahir. Mungkin ini pelarianku dari rasa kesepian seorang ibu. Tahun ini adalah tahun kelima pernikahanku. Selama itu pula aku selalu menantikan kehadiran tangis bayi. Pernah aku merasakan kehamilan, tapi hanya 3 bulan saja. Janin di rahimku tak berkembang. Aku pun harus belajar merelakannya.
Namun, aku masih beruntung. Suamiku mengerti keadaanku. Bukan salahku ataupun salahnya jika sampai sekarang kami belum bisa menimang anak kami. Semuanya sudah diatur. Begitu katanya.
Dan di sinilah aku sekarang. Tertawa bersama Atilla.
Beban-bebanku terasa hilang ketika aku melihat tingkah lucunya. Jiwaku terpuaskan oleh kasih tulus seorang bayi yang bahkan belum mengerti apa itu kasih.
Terima kasih Atilla.

Rabu, 11 September 2013

Abadi

Sekali lagi aku memandangimu. Tak pernah aku bosan. Tidak sekalipun.
Kali ini, aku melihatmu hanya berbaring seharian. Memejamkan mata walau tak bisa tertidur. Sesekali erangan kecil keluar dari bibirmu. Mungkin tubuh tuamu memang sudah lelah berjalan bersama waktu. Atau memang engkau sedang sangat merindukanku?
Hei, lihatlah, anakmu sedang bingung sekarang. Dari pagi kau tak menyentuh sama sekali makananmu. Pantaslah badanmu lemah. Kau pun tak menjawab setiap kata yang diucapkannya. Semoga kelemahan tubuhmu ini tak menjadi pintu masuk bagi penyakit. Aku tak ingin kau sakit. Kurasa usiamu sudah cukup menyiksamu, jadi jangan menambah bebanmu sendiri.
Bersabarlah, kekasihku. Kita pasti bertemu. Jangan mendahului sang waktu. Tetaplah kuat. Aku tak jauh darimu.
Aku, wanitamu ini, akan bersabar menantimu...di keabadian...