Kamis, 30 Agustus 2012

Kopi Pagi Ini Terlalu Pahit

Aku meneguk kopiku pagi ini. Terlalu pahit. Tak tahu mengapa menjadi sepahit ini, padahal aku sendiri yang membuatnya. Memang tadi aku menambahkan bubuk kopiku lebih banyak dari yang biasa kubuat.
Aku menyesap seteguk wanginya. Pahit. Tapi aku menikmatinya.
Kepahitan ini seakan mewakili hariku yang telah lewat. Pahit yang akhirnya kunikmati.
Aku teringat akan kemarahanku. Akan kekecewaanku. Sahabat. Pacar sahabat. Teman. Saudara. Dan...kata anytime.
Demi apa seorang pacar dari sahabat ikut mengurusi permasalahanku. Kepedulian. Ok, terima kasih atas kepeduliannya. Aku harap kepedulianmu itu tak memojokkanku menjadi tersangka utama dalam drama persahabatan kami. Aku sudah cukup dipojokkan oleh sahabatku. Tak usah menambahi ruang pojok ini.
Maaf, aku tak bermaksud kasar terhadapmu wahai seorang yang peduli. Aku hanya sedang tak ingin disalahkan. Oleh mereka. Apalagi olehmu.
Ada suatu kesakitan dan kepahitan ketika seseorang menuduhmu memperlakukan sahabatmu sebagai teman. Penurunan derajat kemanusian, pikirku. Bagiku sahabat itu seperti berlian, dan teman hanyalah hadiah. Hadiah bisa berupa berlian. Tapi berlian, hanya dihadiahkan pada orang yang spesial. Sahabat yang sangat karib, bisa melebihi saudara.
Dan...mengapakah aku mendengar penawaran janji dengan embel-embel kata "anytime" lagi. Aku sedang tak bisa mempercayai kata-kata anytime. Buatku sekarang ini, manusia tak akan selalu ada bagi sesamanya. Pasti ada saat di mana seseorang yang dibutuhkan itu tak bisa ada untuk orang lain. Entah tak bisa atau tak mau. Sama saja. Itu berarti tak ada.
Hhh...ya sudahlah..mari menghabiskan kepahitan kopi pagi ini dan menyimpannya sebagai kenangan. Sepahit apa kopiku pagi ini, tak akan mengurangi rasa cintaku.
Have a nice day, sahabat.

Selasa, 28 Agustus 2012

Senewen

Bangun pagi-pagi saat liburan tu gak enak yaaa...seharusnya kan masih bisa bobo meluk-meluk guling sambil ngiler.
Dan aku jadi senewen sendiri pagi ini.
Pagi yang seharusnya indah karena terencana dengan bangun siang malah jadi pagi yang agak muram.

pagiku hilang ditelan awan..
mimpiku telah dicuri kemuraman..

aku marah terhadap malam
malam terlalu singkat menemaniku
aku marah terhadap pagi
terlalu cepat ia menjemputku

kawan sepi telah pergi

baiklah, aku bangun tembokku
tak usahlah kau pikir lagi aku membatasi
aku hanya ingin melindungi diri
karna tak sanggup lagi aku berbagi 

* senewen menurut kamus besar Bahasa Indonesia berarti (1) gugup; bingung; hilang akal; (2) agak gila

Malam ini, tentang kopi

Malam ini aku belajar tentang kopi. Ya, kopi.
Jika kalian pikir aku suka kopi, kalian benar. Tapi sesungguhnya aku tak benar-benar tau tentang kopi. Aku hanya menyukai rasanya. Aku tak pernah benar-benar tau tentang jenis-jenis kopi. Tak benar-benar tau tempat-tempat penyaji kopi terenak. Aku hanya menyukai rasa kopi.
Malam ini mungkin aku sedang beruntung, atau mungkin memang Tuhan hendak mengenalkanku pada kopi. Aku sedang pergi bersama temanku untuk mencari asesoris pelengkap baju pesta kami. Temanku yang lain akan menikah, dan kami diminta menjadi semacam penerima tamu atau pemberi souvenir pernikahan. Ya, semacam itu lah. Kami pergi ke sebuah mall dekat pantai di kota ini. Dan setelah mendapatkan apa yang kami cari, aku mulai lapar. Dan kebetulan temanku ingin mencoba kopi di food court mall itu. Yep...temanku ini pecinta kopi juga. Dan dia mendapatkan rekomendasi bahwa kopi tarik di tempat itu enak.
Tempat itu bernama Killiney. Setelah googling, ternyata killiney ini sudah ada di banyak tempat. Ah, ternyata dia ini berasal dari luar negeri. Pertama berdiri adalah di Killiney Road, Irlandia. Bahkan ini sudah berdiri sejak lama, tahun 1919. Tapi waktu itu belum berenama Killiney Kopitiam. Baru di tahun 1993 diberi nama Killiney Kopitiam. Yah, mungkin cukup segitu aja ya cerita tentang kopitiamnya. Karena aku bukan pengen membahas kopitiam. Aku hanya ingin berbagi rasa kopiku.
Aku memesan kopi tarik di Killiney. Aku memilihnya karena aku tau aku belum berani meminum kopi pahit tanpa gula. Dan tak kusangka, ternyata kopi tarik ini cukup pahit. Tapi entah kenapa aku jatuh cinta pada pahitnya. Rasa pahit ini seperti  kelamnya malam. Seperti pahitnya hati. Tapi tetap indah dengan bintangnya. Tetap manis dengan cintanya.
Lama kami berbincang sembari menghabiskan kopi kami. Mengobrol, bahkan menggosip. Tapi rasa kopi ini terus melekat. Seakan lidahku tak ingin terlepas dari pahitnya. Aku menysap kopiku sedikit demi sedikit. Dan aku belajar untuk meminum kopi. Ini baru namanya minum kopi. Bukan seperti yang kulakukan di kantor, menghabiskan kopiku bahkan ketika aku belum menikmatinya. Mungkin inilah alasan mengapa ngopi membutuhkan waktu yang lama. Mengapa tempat ngopi dibuat senyaman mungkin agar pendatangnya betah. Karena untuk menghabiskan secangkir kopi enak, membutuhkan waktu yang lama.
Hhh...ini sudah beberapa jam sejak gelas kopiku kutinggalkan. Aku tak menghabiskan kopiku tadi. Bukan karena kopinya tak enak. Tapi karena aku tak sanggup lagi menghabiskannya. Aku takut efeknya terlalu banyak untukku. Aku takut tak bisa tidur malam ini jika aku menghabiskan kopiku. Rasa ini masih tertinggal.
Kopi...aku hanya tersenyum dan berpikir...sepertinya kita berjodoh. Lain kali aku akan menemui rasa pahitmu lagi. membawamu dalam anganku. Mengajakmu dalam jalanku.
Selamat malam, kopiku.

Rabu, 22 Agustus 2012

Apalah ini

Selalu menyenangkan ketika mendengar kata Bali. Tapi buatku, itu semacam kata-kata sihir yang membangunkanku dari alam mimpi. Kata-kata yang akan mengantarku ke alam nyata. Bali. Tempatku bekerja. Yang artinya aku harus meninggalkan rumah, meninggalkan orang-orang yang kusayangi, meninggalkan kebiasaan bangun siang, meninggalkan kebiasaan tak mencari-cari makan di luar karena makanan sudah terhidang manis di meja makan.
Tapi, kembali ke Bali bukan hal yang terlalu buruk. Aku tak pernah benar-benar tersiksa karenanya. Seperti sore ini ketika aku harus kembali ke Bali. Kembali dari liburanku yang cukup lama, 6 hari...oh, tidak, bukan 6 hari...hanya 5 hari yang bertambah satu malam tanggal 17 kemarin. Aku sudah merasa cukup dengan liburanku, walaupun kalau ditambah libur lagi juga tak akan menolak.Hati ini sudah cukup terisi dengan kehangatan keluarga. Kehausan ini telah dipuaskan oleh kasih sayangnya.
Hari ini aku berangkat ke Bali dengan penerbangan sore. Waktu yang aku pikir pas untuk melakukan perjalanan. tidak terlalu terburu-buru, tapi juga tidak akan terlalu larut sampai di Denpasar.
Seperti waktu-waktu sebelumnya, penerbangan sore selalu membawa kisah yang menyenangkan. Menyenangkan bukan karena kejadiannya. Kejadian yang kualami justru jauuuuh dari menyenangkan. Tapi aku akan menganggapnya sebagi hal yang menyenangkan. Karena kalau kita tak melihat sesuatu yang menyenangkan, kita tak bisa menikmatinya. Bayangkan saja, hari ini aku harus berangkat, itu berarti hari ini juga aku harus membeli oleh-oleh. Daaaan....tau sendiri serabi notosuman adalah serabi yang sangat terkenal. Jadi aku harus antri untuk mendapatkan 7 kotak serabi. Tapi bukan hal yang membosankan kok. Wangi serabi membuatku betah berlama-lama duduk. Bukan cuma itu, aku juga harus berdiri selama di kereta dari Solo ke Jogja. Gak masalah juga, anggap saja kaya upacara, walaupun capeknya emang berasa. Lagian My Stupid Boss mau nemeni, berdiri sambil senyum-senyum sendiri lah akhirnya. Keluar pintu kedatangan, aku harus mengantri untuk memesan taxi. Antrian cukup panjang. Dan membawa 6 kotak serabi itu cukup berat ternyata. Di tengah-tengah mengantri, eh, ngeliat ada bapak tentara ganteng. Hahahaha...iya, ganteng. Aneh kan denger aku ngomong gitu. Ya, gak papa lah buat menghilangkan sedikit kebosanan waktu ngantri. Setelah mengantri cukup lama, akhirnya dapat juga taxinya. Dan jalanan macet panjang samapai simpang siur dong. Great. Capek tingkat dewa ditambah kelaperan. Ya udah, aku tidur aja di taxi. Habis itu, aku masih nganterin oleh-oleh ini. Sampai di kos udah cukup mo mati rasanya, tapi masih diajakin whatsappan (aplikasi semacam messenger gitu). Dan hasilnya, aku ngaco...sapa yang diajak ngomong, balesnya ke sapa, udah gak nyambung ni otak ama mata n tangan. Nah, bahasaku pun sekarang jadilah beda. Bodo ah. Sekali-sekali pake bahasa gak baku ah.
Yak, balik lagi lah kita ke hal-hal yang menyenangkan yang mo kubagi.
Hal yang paling menyenangkan adalah pemandangan sore dari atas awan. Kaya poto ini ni. Tapi keterpesonaanku melebihi poto itu. Yang asli jauuuuh lebih bagus. Gradasi sempurna dari biru sampai putih. Sinar matahari yang berkilauan. Awan putih yang menutup sempurna, kaya kapas atau mungkin kaya salju. Ditambah lagi puncak Gunung Merapi dan Merbabu. Pemandangan yang woow. Aku tak bisa mengatakannya lagi. Gak ada kata-kata yang pas untuk menggambarkannya. Beberapa saat setelah itu, matahari mulai turun. Jingganya benar-benar terlukis sempurna. Cuma Yang Sempurna yang bisa membuatnya. Jingga itu menggaris memberi batas antara langit dengan awan. Seakan-akan si jingga ini pembatas antara dunia atas dan dunia awan. Sayang aku lupa memotret si jingga ini. Nampaknya aku terlalu terpesona olehnya.
Kecapekan dan segala hal yang tidak mengenakkan yang kualami gak bisa menandingi keindahan yang kudapat. Jadi tak apalah aku capek-capekan, kelaperan juga, tapi aku masih melihat si jingga dan mentarinya.
Dan aku belajar, ketika kita melihat segala hal dari sisi yang menyenangkan, maka hal-hal yang gak banget pun gak akan bikin kita terlalu sedih. (kayanya ini otaknya nian lagi bener dan gak terlalu diintimidasi si emosi nih...biasanya juga keseringan melow gak jelas..hahha..)

Langit dan jingga.
Selalu membuatku terpesona. 
Selalu ingin mebagi keindahannya.
Entah kapan aku bisa membaginya dengan dia.
Suatu saat. 
Pasti

Sabtu, 11 Agustus 2012

Takdir, Cinta, dan Aku


Dunia ini memang tidak adil. Tidak bagiku. Mungkin adil bagimu.
Bagaimana aku bisa berkata dunia ini adil jika aku telah kehilangan keadilannya dari kecil. Dari aku belum bisa memegang telingaku tanda cukup usiaku untuk bersekolah.
Aku telah kehilangan bapakku sebelum aku sempat mengenalinya sebagai bapak. Sebelum dia mengajariku naik sepeda. Aku belajar bersepeda dengan saudara-saudaraku. Dengan gelinciran roda dari turunan gang depan rumah. Aku tak mengenal bapakku. Bagaimana ketampanannya menaklukkan hati ibuku, aku tak tahu. Bahkan tak ada foto bapak terpajang di dinding rumah kami. Bapak macam apa yang tega meninggalkan anak-anaknya yang masih perlu susu ibunya ini. Pastinya bapak yang dengan terpaksa meninggalkan dunia ini. Dipaksa oleh takdir.
Rasanya memang tak adil jika aku menyalahkan takdir. Tapi tak ada lagi yang bisa disalahkan tanpa perlawanan. Ya, takdir tak akan melakukan perlawanannya atau pembelaannya untuk setiap persalahan yang ditujukan padanya. Jadi mungkin memang lebih baik menyalahkan takdir. Menyalahkan takdir bukan berarti menyalahkan Tuhan. Tuhan telah berkuasa atas semua yang ada. Dia berhak memberlakukan apa saja. Tak pantas menyalahkan Tuhan.
Ketidakadilan dunia ini mungkin seorang pendendam. Dia mengikuti dan menghantuiku sesering dia bisa. Sesuka dia mau. Tak memandang berapa umurku. Tak melihat apa yang aku mimpikan.
Aku didiskriminasikan. Itulah yang kurasa. Aku dibedakan dengan orang lain. Aku dibedakan dengan temanku, aku dibedakan dengan sudaraku. Aku dibedakan oleh takdir.
Takdirku adalah perempuan. Takdirku adalah menjadi yang kedua. Takdirku tak mengijinkanku untuk berpikir aku ini hebat.
Orang sekitarku mendukung takdir untuk menilaiku. Membuatku ciut menghadapi masa depanku. Aku tak diijinkan bermimpi. Lalu bagaimana aku bisa mengejar mimpiku.
Aku menjadi pengikut takdir saudaraku. Aku menjadi yang kedua setelah dia. Aku dipaksa berpikir diriku tak lebih hebat dari saudaraku. Aku selalu ditekan untuk tak melampauinya. Ini dibuktikan dengan prestasiku. Beberapa adalah di bawah saudaraku. Memang, beberapa lagi prestasiku tak pernah diraih saudaraku, tapi itu tak menonjol. Aku adalah kedua. Tak perlu menonjol.
Mendapat piagam penghargaan dan medali dalam bidang akademi tak membuat saudaraku menjadi nomor dua. Aku tetap yang kedua.
Lalu aku diperlakukan tidak adil oleh bagian takdir yang lain. Cinta. Dia turut  andil dalam ketidakadilan hidupku. Cinta dan takdir seakan  bersekutu untuk membuatku tersingkir. Mereka berkolaborasi dengan apik membuat skenario yang sampai saat ini tak membuatku bahagia dan tersenyum lama. Tapi aku terpedaya oleh cinta.
Cinta telah membuatku terbuai dengan janji manisnya. Cinta telah membuatku mempertaruhkan banyak hal. Cinta mebuatku terluka dan menangis. Tapi aku tetap terpikat olehnya.
Aku pernah mencicip manisnya cinta dari cawannya. Hanya mencicip, karena aku tak benar-benar meminumnya. Aku tak berani meminum lebih banyak. Aku takut dimabukkan olehnya.
Waktu itu, aku tertawa. Aku bersenang-senang dengan bagian takdir yang disebut cinta itu. Aku dibuatnya terbang. Aku dibuatnya nomor satu. Bukan lagi yang kedua.
Namun itu hanya beberapa saat. Takdir tak ingin melihatku tertawa lebih lama. Dia melempar cawan cinta itu sampai pecah. Cintaku tercurah berantakan. Tersia-siakan. Yang tersisa hanyalah pecahan tajam yang siap untuk menyakitiku.
Ah, mungkin cinta tak benar-benar bersekutu dengan takdir. Mungkin cinta sedang membelaku. Mungkin cinta sedang menuntunku. Mengajarku banyak hal.
Ya, dari cinta aku belajar banyak hal. Cinta membuatku berjuang. Cinta membuatku percaya. Cinta membuatku mengejar.
Aku disemangati oleh cinta.
Takdir, cinta, aku. Manakah yang akan menang? Aku yang harus menang! Tak peduli seberapa banyak peluh akan tercurah untuk berperang melawan takdir. Tak peduli seberapa banyak air mata yang aka mengalir. Aku harus menang. Aku harus mendapatkan cintaku dan menaklukkan takdirku. Aku. Bukan mereka.

Senin, 06 Agustus 2012

Tidurlah Tenang, Nak

Tubuh mungil itu telah terbaring. Tenang. Seakan tanpa dosa. Tak ada tawa mungilnya. Tak ada rengekan tangisnya. Dia hanya memejamkan matanya. Bagaskara. Begitulah orang tuanya menamainya.
Sang Ibu memandanginya penuh makna. Membelainya lembut, penuh kasih tanpa batas. Tatapan penuh harap seorang ibu tertuju pada bayi mungil itu. Dia bernyanyi untuknya. Nanyian harapan akan masa depan. Lantunan kasih sayang dan pajatan sebuah doa terdengar merdu dan syahdu.
Wiratri nama wanita itu. Seorang berkasta dari masyarakat kami. Wanita cantik dengaan kulit terang. Benar-benar menggambarkan kalangannya.
Sementara Wiratri terus memandangi putranya, anak sulung Wiratri bermain di sekitarnya. Kadang ia berlari-larian. Kadang hanya memainkan boneka di dekat ibunya.
Wiratri memang telah mempunyai dua anak. Raras, seorang perempuan, adalah anak pertamanya. Beberapa tahun kemudian, lahirlah Bagaskara. Bayi lelaki pertama yang baru saja ia lahirkan beberapa bulan yang lalu. Bayi yang ditunggu-tunggu bagi kaum keluarganya.
Seolah teringat akan kelucuan tingkah Bagaskara, Wiratri tersenyum dengan terus menatap putranya. Dia masih saja memandangi bayinya. 
Raras mendekat, dan bertanya kepada Wiratri, "Ma, kapan adek bangun dan menemani Raras lagi?"
Wiratri tak dapat menjawab pertanyaan putri kecilnya. Dia hanya memeluk Raras dan menangis. Dia kemudian tersadar bahwa bayi yang di depannya ini sedang tidur untuk waktu yang sangat lama. Dan tak akan bangun lagi untuk bermain bersama kakaknya.

kosong

Suasana kelas hiruk pikuk. Ramai dengan percakapan-percakapan yang tak dapat kuikuti.

Aku ini hanya seorang gadis kecil. Tak elok paras, tak berpunya harta. Satu-satunya yang kumiliki untuk tetap ada di sini adalah otakku. Kata ibuku, kami ini orang yang tak akan dipandang oleh orang lain jika hanya melihat harta, tapi kami harus bisa menunjukkan bahwa kami layak dipandang. Salah satu caranya adalah dengan berprestasi. Dengan menunjukkan bahwa otak kami layak untuk mendapatkan perhatian. Layak untuk dipersaingkan.
Ibuku seorang yang sederhana. Sederhana karena kami memang tak punya apa-apa untuk ditunjukkan. Meski begitu, beliau ini seorang pekerja keras. Wanita yang menduduki peringkat pertama di tahta kehormatan pada daftar orang-orang yang pernah ada dalam hidupku. Satu-satunya orang yang memaksaku untuk terus bertahan di bangku sekolah ini.
Jika memang otakku layak bersaing di sekolah bergengsi ini, lalu mengapakah aku tak dapat mengikuti pembicaraan mereka? Hah...tentu saja..mereka membicarakan tentang kehebatan bapaknya masing-masing. Tentang seberapa banyak mobil yang ada di garasinya. Tentang negara yang akan menjadi tujuan liburan berikutnya. Mereka juga berbicara betapa menyenangkannya berkumpul dan bermain bersama-sama orang tuanya.
 "Ah, percakapan apa ini?", pikirku.Tentu saja aku tak dapat mengikuti percakapan mereka.
Lihatlah diriku ini. Aku ini hanya anak seorang Pegawai Negeri Sipil. Tak punya banyak barang mewah. Uhmm, maksudku, sama sekali tak punya barang mewah. Aku bisa sekolah di tempat ini saja hanya karena kebaikan seorang dermawan yang kami kenal di Gereja kami. Apa yang dapat kuceritakan pada teman-temanku ini? Kandang ayam belakang rumah? Hah..aku pasti ditertawakan.
Liburan bagiku adalah waktu untuk menambah uang saku. ketika libur tiba, aku biasanya akan pergi ke tempat salah satu saudara bapakku untuk sekedar membantu usahanya. Mereka berjualan kue basah, jajanan, dan juga gorengan. Aku akan dengan senang hati menjajakan hasil olahan mereka secara berkeliling, dari kampung ke kampung. Suatu waktu ibuku berpesan agar aku menjauhi jalan raya dan tidak terlalu jauh menjajakan jualanku. Ibuku tak melarangku, tidak juga malu melihat anaknya menjadi penjaja makanan. Justru ia bangga karena anaknya bukanlah anak manja yang selalu meminta kepada orang tua. Dan justru bersyukur karena anaknya mau belajar berusaha untuk mendapatkan segala sesuatu yang diinginkannya. Menurut beliau, hal ini akan menjadi bekalku kelak ketika dewasa. Tapi aku belum mengerti apa maksud ibu. Demi mendengar pesan ibu itulah aku kemudian pergi ke sebuah kampus di dekat tempat tinggalku dan menjajakannya di sana. Hasilnya lumayan. Daganganku selalu habis. Entah karena memang enak atau hanya karena belas kasihan saja. Lalu...liburan mana yang dapat bersaing dengan liburan mereka?
Dan ketika mereka berbicara tentang kebersamaan dengan orang tua mereka, aku hanya terdiam. Aku mengingat-ingat, kapan terakhir kali aku bermain bersama bapak dan ibuku? Aku tak dapat mengingatnya. Aku terus menggali ingatanku, tapi aku sama sekali tak bisa menemukan ingatanku tentang hal itu. Aku...tak dapat menemukan bapakku dalam ingatanku.

Kelas tetap semarak dengan gelak tawa kami. Tetapi ada kekosongan dalam ingatanku. Hari ini adalah hari kunjungan orang tua. Seperti biasa, ibuku hanya datang sebentar, bertemu guru, lalu ijin untuk kembali bekerja. Guruku tak mempermasalahkannya. Maka buat apa aku membuat ini jadi masalah. Kalau ada temanku bertanya dan mencoba mengejekku layaknya anak-anak SD, aku akan menjelaskan bahwa ibuku harus bekerja. Jika ditanya kenapa bukan bapakku yang bekerja, maka aku akan manjawab, "Ibuku yang bekerja", lalu diam dan tak lagi ikut dalam pembicaraan mereka.
Sampai di rumah, ibuku selalu minta maaf karena hanya datang sebentar. Beliau juga menanyakan bagaimana tadi di kelas. Dan ketika aku memberi tahunya tentang apa yang dikatakan teman-temanku, dengan senyumnya dia berbicara seperti ini padaku: "Maafkan Ibu, ya, Nak. Karena Ibu tak selalu menemanimu, teman-temanmu jadi mengejekmu. Tapi percayalah, Ibu selalu menyayangimu. Biarkan saja mereka berkata seperti itu. Jangan marah. Jangan sakit hati. Tidak ada yang salah dan yang benar di sini. Bertahanlah, tinggal setahun lagi kamu mungkin tidak akan bertemu  mereka lagi."
Aku tak pernah menanyakan tentang bapak kepada ibuku. Aku takut. Aku takut dimarahi. Itu yang ada di otak anak SDku ini. Padahal kalau seandainya aku berani menanyakannya, mungkin aku tak akan dimahari, tapi mungkin juga tak akan mendapatkan jawaban yang kuinginkan. Pasti ibu menjawab segeneral mungkin dan berusaha membuatku tidak bertanya lagi.

Biarlah kenangan-kenangan kosong ini memenuhi hati dan pikiranku. Sampai aku mengerti untuk mengisinya.

Sisa Belaianmu


Sungguh, aku menyukainya. Ketika tanganmu mengacak-acak rambutku. Dengan tawamu, kau melakukannya. Penuh kasihmu, kau memberikannya.

Malam ini aku bertemu denganmu. Berjeda lama sejak terakhir kita bertemu. Pertemuan kita malam ini tak romantis. Bahkan hiruk pikuk suara para lelaki penggemar bola dan suporternya yang menjadi backsound pertemuan kita. Tak ada mawar, tak ada lilin. Tak ada musik sendu penghibur rindu. Di sini hanya teriakan perebutan kemenangan. Namun, ketika mataku beradu denganmu, semuanya tampak beku. Ah, mungkin bukan beku, mungkin mereka menjadi bisu. Seperti televisi jaman dulu.

Pertama bertemu denganmu adalah beberapa tahun lalu. Tak tahu apa yang membuat kita bertemu. Seingatku, aku menyapamu terlebih dahulu di ujung sebuah tangga. Aku mengajakmu mengikuti kegiatanku. Sebuah perkumpulan pencari ilmu. Kau menyambut hangat ajakanku. Minggu demi minggu kau ikuti pertemuan kami. Dan akhirnya, kita menjadi dekat. Seperti sahabat lama yang bertemu di masa tuanya. Mungkin demikian pertemuanku denganmu.

Kita menjadi dekat. Kita menjadi erat. Kau sering mengantar jemput aku ke manapun aku ingin pergi. Kau sering mengajakku keluar, meski itu hanya makan di pinggir jalan. Kita sering berdiskusi tentang sesuatu. Perbincangan kita sangat menarik. Sampa-sampai kita sering lupa waktu jika sudah bertemu dan mulai berbicara. Aku, kamu, kemudian menjadi seperti pasangan kupu. Berterbangan, berlarian.

Lalu, aku mulai menaruh hati padamu. Setiap perhatianmu, mulai kurasa lain. Setiap tatapmu, mebuatku tersipu. Mungkin sudah merona mukaku. Tapi…aku tahu, kita tak pernah satu. Kau orang yang keras. Dan aku tak bisa diperlakukan keras. Hatiku terlalu rapuh untuk sebuah bentakan. Padahal nada bicaramu mulai tegas ketika kau tak suka melihatku lemah. Aku tahu, maksudmu baik. Tapi hatiku terlalu tersiksa menerima kekerasanmu. Aku tak menyalahkanmu. Bahkan aku bersyukur. Dengan adanya kamu, aku mulai belajar untuk lebih berjuang menghadapi kekerasan hidup.

Lama kita tak berjumpa. Aku merindumu. Tapi, rasa yang dulu ada mulai pudar dan meluntur. Bukan hilang, hanya pudar. Aku masih mengasihimu, tapi tak mengharapkanmu menjadi pacarku.

Malam ini aku senang. Aku berbicara banyak hal denganmu. Bermanja dengan perkataanku kepadamu. Dan….astaga…kau memegang kepalaku. Mengacak rambutku. Bukan dengan kekerasanmu. Tapi ada kasih yang kurasakan di dalam tanganmu. Seolah kau ingin berkata bahwa kau pun merindukanku. Seolah ingin kau sampaikan bahwa kau menyayangiku.

Tak terbayang jika ini kau lakukan beberapa waktu lalu. Mungkin aku sudah terbang ke langit ke tujuh. Mungkin  aku akan lupa bagaimana rasanya menginjak bumi.

Tapi sekarang aku masih di bumi. Menikmati sisa belaianmu. Dalam malamku, akan kubawa bersama mimpiku.