Suasana kelas hiruk pikuk. Ramai dengan percakapan-percakapan yang tak dapat kuikuti.
Aku
ini hanya seorang gadis kecil. Tak elok paras, tak berpunya harta.
Satu-satunya yang kumiliki untuk tetap ada di sini adalah otakku. Kata
ibuku, kami ini orang yang tak akan dipandang oleh orang lain jika hanya
melihat harta, tapi kami harus bisa menunjukkan bahwa kami layak
dipandang. Salah satu caranya adalah dengan berprestasi. Dengan
menunjukkan bahwa otak kami layak untuk mendapatkan perhatian. Layak
untuk dipersaingkan.
Ibuku
seorang yang sederhana. Sederhana karena kami memang tak punya apa-apa
untuk ditunjukkan. Meski begitu, beliau ini seorang pekerja keras.
Wanita yang menduduki peringkat pertama di tahta kehormatan pada daftar
orang-orang yang pernah ada dalam hidupku. Satu-satunya orang yang
memaksaku untuk terus bertahan di bangku sekolah ini.
Jika
memang otakku layak bersaing di sekolah bergengsi ini, lalu mengapakah
aku tak dapat mengikuti pembicaraan mereka? Hah...tentu saja..mereka
membicarakan tentang kehebatan bapaknya masing-masing. Tentang seberapa
banyak mobil yang ada di garasinya. Tentang negara yang akan menjadi
tujuan liburan berikutnya. Mereka juga berbicara betapa menyenangkannya
berkumpul dan bermain bersama-sama orang tuanya.
"Ah, percakapan apa ini?", pikirku.Tentu saja aku tak dapat mengikuti percakapan mereka.
Lihatlah
diriku ini. Aku ini hanya anak seorang Pegawai Negeri Sipil. Tak punya
banyak barang mewah. Uhmm, maksudku, sama sekali tak punya barang mewah.
Aku bisa sekolah di tempat ini saja hanya karena kebaikan seorang
dermawan yang kami kenal di Gereja kami. Apa yang dapat kuceritakan pada
teman-temanku ini? Kandang ayam belakang rumah? Hah..aku pasti
ditertawakan.
Liburan
bagiku adalah waktu untuk menambah uang saku. ketika libur tiba, aku
biasanya akan pergi ke tempat salah satu saudara bapakku untuk sekedar
membantu usahanya. Mereka berjualan kue basah, jajanan, dan juga
gorengan. Aku akan dengan senang hati menjajakan hasil olahan mereka
secara berkeliling, dari kampung ke kampung. Suatu waktu ibuku berpesan
agar aku menjauhi jalan raya dan tidak terlalu jauh menjajakan jualanku.
Ibuku tak melarangku, tidak juga malu melihat anaknya menjadi penjaja
makanan. Justru ia bangga karena anaknya bukanlah anak manja yang selalu
meminta kepada orang tua. Dan justru bersyukur karena anaknya mau
belajar berusaha untuk mendapatkan segala sesuatu yang diinginkannya.
Menurut beliau, hal ini akan menjadi bekalku kelak ketika dewasa. Tapi
aku belum mengerti apa maksud ibu. Demi mendengar pesan ibu itulah aku
kemudian pergi ke sebuah kampus di dekat tempat tinggalku dan
menjajakannya di sana. Hasilnya lumayan. Daganganku selalu habis. Entah
karena memang enak atau hanya karena belas kasihan saja. Lalu...liburan
mana yang dapat bersaing dengan liburan mereka?
Dan
ketika mereka berbicara tentang kebersamaan dengan orang tua mereka,
aku hanya terdiam. Aku mengingat-ingat, kapan terakhir kali aku bermain
bersama bapak dan ibuku? Aku tak dapat mengingatnya. Aku terus menggali
ingatanku, tapi aku sama sekali tak bisa menemukan ingatanku tentang hal
itu. Aku...tak dapat menemukan bapakku dalam ingatanku.
Kelas
tetap semarak dengan gelak tawa kami. Tetapi ada kekosongan dalam
ingatanku. Hari ini adalah hari kunjungan orang tua. Seperti biasa,
ibuku hanya datang sebentar, bertemu guru, lalu ijin untuk kembali
bekerja. Guruku tak mempermasalahkannya. Maka buat apa aku membuat ini
jadi masalah. Kalau ada temanku bertanya dan mencoba mengejekku layaknya
anak-anak SD, aku akan menjelaskan bahwa ibuku harus bekerja. Jika
ditanya kenapa bukan bapakku yang bekerja, maka aku akan manjawab,
"Ibuku yang bekerja", lalu diam dan tak lagi ikut dalam pembicaraan
mereka.
Sampai di rumah,
ibuku selalu minta maaf karena hanya datang sebentar. Beliau juga
menanyakan bagaimana tadi di kelas. Dan ketika aku memberi tahunya
tentang apa yang dikatakan teman-temanku, dengan senyumnya dia berbicara
seperti ini padaku: "Maafkan Ibu, ya, Nak. Karena Ibu tak selalu
menemanimu, teman-temanmu jadi mengejekmu. Tapi percayalah, Ibu selalu
menyayangimu. Biarkan saja mereka berkata seperti itu. Jangan marah.
Jangan sakit hati. Tidak ada yang salah dan yang benar di sini.
Bertahanlah, tinggal setahun lagi kamu mungkin tidak akan bertemu
mereka lagi."
Aku tak
pernah menanyakan tentang bapak kepada ibuku. Aku takut. Aku takut
dimarahi. Itu yang ada di otak anak SDku ini. Padahal kalau seandainya
aku berani menanyakannya, mungkin aku tak akan dimahari, tapi mungkin
juga tak akan mendapatkan jawaban yang kuinginkan. Pasti ibu menjawab
segeneral mungkin dan berusaha membuatku tidak bertanya lagi.
Biarlah kenangan-kenangan kosong ini memenuhi hati dan pikiranku. Sampai aku mengerti untuk mengisinya.