Sabtu, 19 Oktober 2013

17.45

Ve
Seperti biasa, sore ini aku duduk di bangku kesukaanku di sebuah teras kafe. Mungkin pelayan di tempat ini sudah hafal denganku saking seringnya aku duduk di sini. Tak ada alasan khusus mengapa aku suka duduk di sini. Entahlah, aku hanya suka. Mungkin di bangku ini cukup sepi untuk menikmati bacaanku. Tak banyak orang yang berseliweran di sekitar bangku ini karena letaknya di pojok.
Sore ini, aku memilih menikmati warna jingga langit. Memang aku masih memegang bukuku, tetapi mataku tertuju ke arah langit. Tidak perlu mendongak, pemandangan kangit jingga ini sudah tersaji di depanku.
Angin sore ini sejuk sekali. Serasa bertiup sampai ke hati. Aku begitu menikmati perpaduan langit jingga dengan angin sore. Seolah seperti sepasang kekasih yang dipertemukan oleh waktu. Serasi. Namun sayang, angin sore dan langit jingga tak selalu bertemu. Kadang angin terlalu cepat berhembus. Kadang langit terlalu cepat tertidur dan bersembunyi di balik cakrawala.
Tiba-tiba angin menjadi dingin. Sore menjadi sunyi. Seakan waktu berhenti. Hatiku seperti tersentak. Seolah ada sesuatu yang kuat yang melewati jiwaku. Aku merasakan hangatnya. Aku merasa sesuatu itu seperti cinta. Seorang lelaki berkaca mata, sedang membaca buku yang sama denganku, ada di hadapanku. Aku tak mengenal dia. Tapi aku merasa dekat dengannya. Mungkin dialah cinta.
Aku melirik jam di tanganku. Sudah pukul 17.45. Dan seketika itu juga, waktu serasa kembali berjalan. Kutatap lurus ke depan. Tak ada lelaki berkaca mata. Hanya langit jingga yang mulai turun menuju cakrawala.

Re
Ah, buku ini memang menarik. Rasanya tak bosan aku duduk berjam-jam di sini. Untung aku tak diusir oleh pemilik kedai ini.
Aku begitu menikmati bacaanku sore ini, sampai-sampai aku tak menghiraukan yang terjadi di sekitarku. Aku masih bisa mendengar ada anak kecil yang merengek, ada beberapa anak sekolah yang bergosip, tapi aku tak menghiraukannya. Aku menganggapnya seperti angin. Angin yang selalu lewat dalam diamnya.
Aku tersenyum ketika aku berhasil menyelesaikan bacaanku. Ada rasa puas. Dan ketika aku hendak beranjak dari tempat dudukku, aku seperti tertahan. Angin yang selalu diam seperti membisikkan sesuatu kepadaku. Lalu aku berdiam, mencoba mendengar apa kata angin. Namun angin tetap diam. Ah, mungkin dia bukan berbisik. Mungkin dia sedang membuatku menyadari sesuatu.
Tiba-tiba dadaku menjadi sesak. Sepertinya angin mencoba masuk ke dalam hatiku dan meninggalkan sesuatu. Kupegang dadaku, terasa hangatnya. Lalu aku melihat di depanku seorang wanita dengan rambut diikat ke belakang. Di tangannya ada buku yang kubaca. Namun dia tak sedang membacanya. Sepertinya dia sedang menikmati apa yang dilihatnya. Wajahnya bercahaya ditimpa warna jingga. Cantik. Seketika aku jatuh cinta.
Ketika aku hendak menyapanya, dia menghilang. Ternyata semua hanya di anganku. Ada sedikit kecewa, tapi cinta itu tetap ada.
Jam di tanganku menunjukkan pukul 17.45. Aku harus segera bergegas.
Senja, kau telah memberi cinta di hatiku, dan kutinggalkan untuknya di bangku ini.

Rabu, 09 Oktober 2013

Aku Tak Akan Menjadi Dia, Dia Tak Akan Menjadi Aku

Aku tak akan menjadi dia, dan dia tak akan menjadi aku. Seberapa dekatnya kami, seberapa seringnya kami bertemu, kami tak akan pernah bertukar tempat.

Tiga tahun kami tinggal bersama. Hampir semua hal kami bagi. Bukan hanya cerita, tetapi banyak hal. Kupikir, mungkin dialah orang yang paling tahu baik buruknya aku. Tahu tentang banyak cerita dalam hidupku. Bahkan yang keluargaku pun tak tahu.
Dulu, kupikir kami punya hati yang satu. Tapi tidak. Kami tak pernah satu. Aku baru menyadarinya. Aku bukan dirinya, dan dia bukan diriku.
Mungkin, dulu aku begitu egois, sehingga semua hal yang aku punya aku bagi dengannya. Dan untungnya dia mau menerimanya. Padahal seharusnya aku juga memberinya kesempatan untuk membagi bebannya denganku.
Sekarang, ketika tahun-tahun memisahkan kami, jiwa kami kembali bertemu. Mungkin waktu mengajakku untuk berubah. Mungkin waktu memaksaku untuk menjadi lebih dewasa dari sebelumnya.
Mungkin inilah rasanya menjadi dia waktu dulu. Menjadi pendengarku tanpa kesempatan dariku untuk didengar. Aku sungguh egois.
Tapi aku tak akan menyalahkannya. Sekarang dia butuh didengar. Dia yang lebih butuh, bukan aku. Jadi sebaiknya aku mengurungkan niatku untuk membagi ceritaku. Membagi kepedihanku.
Mungkin ini rasanya menjadi dia yang selalu menahan perasaannya ketika aku ingin didengar. Dia yang selalu tersenyum menanggapiku. Dia yang sangat sabar terhadapku. Dia yang tampak baik-baik saja. Padahal mungkin dia sedang terluka. Padahal mungkin dia ingin kudengar.

Sekalipun saat ini aku mengerti rasanya menjadi dia, aku tak akan menjadi dia, dan dia tak akan menjadi aku. Kami hanya belajar untuk saling mengerti.