Kamis, 28 November 2013

Kerinduan daun kepada rintik hujan

Sore itu aku duduk di bangku taman seperti yang biasa kulakukan ketika aku sedang mempunyai waktu luang. Kebetulan, waktu itu habis hujan. Udara masih cukup dingin jika kau hanya duduk berdiam. Aku mengenakan jaketku. Ah, aku tiba-tiba teringat akan dia. Sudahlah, jangan terlalu dituruti ingatanku ini.

Buku yang kupegang memang terbuka, tapi mataku malah tertuju pada daun-daun yang terlihat segar setelah disiram hujan. Sayup-sayup kudengar ada yang berbincang. Aku mencoba menajamkan telingaku. Mungkin saja aku salah dengar karena di situ tidak ada siapa-siapa. Rupanya daun sedang berbincang dengan setetes air yang menggenang di tulangnya.

"Terima kasih rintik, sudah menyegarkanku."
"Semua daun mendapatkan haknya dari sang hujan."
"Ah, bukan hujan yang membuatku segar, tetapi kamu."
"Tapi aku berasal dari hujan."
"Hujan hanya pengantar. Ia memang mengantarkanmu. Dan itu membuatku segar."
"Memang. Itu tugasnya, itu tugas kami. Memberi kesegaran."
"Ah, sebenarnya bukan hujan yang menyegarkanku, tapi kamu. Berapa kali lagi harus kubilang? Kamu yang menyegarkanku."
"..."
"Aku merasa segar karena aku dapat melepaskan rinduku padamu ketika hujan turun."
"Tapi sebentar lagi pasti aku sudah mengihilang. Apakah yang sebentar itu menyegarkan?"
"Tentu saja. Rindu memang terkumpul dalam waktu lama. Bahkan mungkin tak bisa ditentukan sampai kapan. Tapi hanya butuh melihat sejenak, rindu itu sirna."

Deg. Jantungku serasa dihantam. Tembok-tembok pertahanan yang kubangun untuk menghalangi sang rindu masuk telah runtuh. Runtuh hanya karena percakapan daun yang menyadarkanku bahwa aku merindukannya. Runtuh. Dan sekejap saja rindu sudah menyerbu memenuhi hatiku.

Aku tahu, rinduku ini tak terbatas waktu. Tak akan tahu kapan berakhirnya. Tak akan tahu kapan terpuaskannya. Dan aku takut menyadarinya.

Minggu, 10 November 2013

Pahit atau manis?

Sudah lama aku menyukai kopi pahit. Mungkin sejak pertama aku mengenal minuman ini. Mungkin ini penggambaran hidupku. Hidup yang pahit. Entahlah, terasa berlebihan mungkin. Yang pasti, hidupku tidak mudah.
Entah kapan terakhir kali aku makan bersama keluargaku, aku sudah tak ingat. Entah kapan terakhir ibuku mengecup keningku sebelum tidur, aku sudah tak ingat. Bahkan aku pun tak ingat kapan terakhir aku mencium tangan bapakku untuk berpamitan. Entah aku yang sudah lupa atau memang aku tak mau mengingatnya. Yang pasti, buatku kenangan manis itu, hanyalah tinggal kenangan. Tak pernah kucici lagi rasa manis itu.
Malam ini, aku kembali meneguk kopi pahitku. Rasanya sedikit terhibur. Rasanya seperti punya kawan dalam pekatnya segelas kopi. Rasanya pahitnya hidupku menyatu dengan pahit kopi yang akan terasa nikmat ketika kusesap sedikit demi sedikit.
Malam ini memang agak menyebalkan. Antara menyebalkan, atau memang aku sudah bosan dengan permasalahan keluargaku. Siapa lagi penyebabnya kalau bukan bapakku. Adikku menangis lagi karena kelakuan bapakku. Ah, cengeng, pikirku. Aku tak mau menangis. Lebih baik kutelan kepahitan itu bersama kopiku.
Aku tenggelam di antara kopi dan lamunan. Dan di tengah-tengah kepahitan itu, tiba-tiba seseorang menaruh gula di hadapanku.
"Cobalah," katanya.
Aku hanya diam dengan tatapan bingung.
"Aku sering melihatmu di sini. Dan kamu selalu minum kopi tanpa gula."
Aku masih memandanginya dengan heran.
"Awalnya kupikir kamu menikmati kopi tanpa gulamu. Tapi lama-lama, kupikir kamu tak sedang menikmati kopimu. Kamu hanya menikmati pahitnya, bersama pahitmu."
"Aku menikmatinya kok. Ma kasih."
"Cobalah."
"Harus?"
"Cobalah. Sedikit saja. Berikan sedikit rasa manisnya dalam hidupmu."
"Kenapa?"
"Ah, aku bukan mau memaksa. Aku hanya menunjukkan sebuah pilihan. Gula ini ada di depanmu. Ada juga di hidupmu. Jangan terlena dengan pahitnya hidupmu. Ada pilihan untuk membuat hidupmu tetap manis. Tentu saja tak akan manis seratus persen. Seperti kopimu jika nanti kamu tambahi gula. Dia masih akan menyisakan rasa pahit di lidahmu, tapi coba rasakan manisnya juga. Rasanya lebih menyenangkan."
"Kenapa kamu peduli denganku?"
"Hahaha..aku tak mau mencampuri urusanmu kok. Aku hanya mencoba berbagi apa yang pernah kualami. Hidupku dulu juga terasa pahit. Tapi pilihan untuk memberi rasa manis itu masih ada. Tinggal aku mau atau gak menambahkan gula dalam hidupku."
Orang itu tersenyum, lalu meninggalkan mejaku.
Pilihan. Ya, manis dan pahit itu pilihan. Kuambil sebungkus gula di depanku, lalu kumasukkan ke dalam gelasku. Semoga hidupku pun ikut merasakan manisnya.

Sabtu, 19 Oktober 2013

17.45

Ve
Seperti biasa, sore ini aku duduk di bangku kesukaanku di sebuah teras kafe. Mungkin pelayan di tempat ini sudah hafal denganku saking seringnya aku duduk di sini. Tak ada alasan khusus mengapa aku suka duduk di sini. Entahlah, aku hanya suka. Mungkin di bangku ini cukup sepi untuk menikmati bacaanku. Tak banyak orang yang berseliweran di sekitar bangku ini karena letaknya di pojok.
Sore ini, aku memilih menikmati warna jingga langit. Memang aku masih memegang bukuku, tetapi mataku tertuju ke arah langit. Tidak perlu mendongak, pemandangan kangit jingga ini sudah tersaji di depanku.
Angin sore ini sejuk sekali. Serasa bertiup sampai ke hati. Aku begitu menikmati perpaduan langit jingga dengan angin sore. Seolah seperti sepasang kekasih yang dipertemukan oleh waktu. Serasi. Namun sayang, angin sore dan langit jingga tak selalu bertemu. Kadang angin terlalu cepat berhembus. Kadang langit terlalu cepat tertidur dan bersembunyi di balik cakrawala.
Tiba-tiba angin menjadi dingin. Sore menjadi sunyi. Seakan waktu berhenti. Hatiku seperti tersentak. Seolah ada sesuatu yang kuat yang melewati jiwaku. Aku merasakan hangatnya. Aku merasa sesuatu itu seperti cinta. Seorang lelaki berkaca mata, sedang membaca buku yang sama denganku, ada di hadapanku. Aku tak mengenal dia. Tapi aku merasa dekat dengannya. Mungkin dialah cinta.
Aku melirik jam di tanganku. Sudah pukul 17.45. Dan seketika itu juga, waktu serasa kembali berjalan. Kutatap lurus ke depan. Tak ada lelaki berkaca mata. Hanya langit jingga yang mulai turun menuju cakrawala.

Re
Ah, buku ini memang menarik. Rasanya tak bosan aku duduk berjam-jam di sini. Untung aku tak diusir oleh pemilik kedai ini.
Aku begitu menikmati bacaanku sore ini, sampai-sampai aku tak menghiraukan yang terjadi di sekitarku. Aku masih bisa mendengar ada anak kecil yang merengek, ada beberapa anak sekolah yang bergosip, tapi aku tak menghiraukannya. Aku menganggapnya seperti angin. Angin yang selalu lewat dalam diamnya.
Aku tersenyum ketika aku berhasil menyelesaikan bacaanku. Ada rasa puas. Dan ketika aku hendak beranjak dari tempat dudukku, aku seperti tertahan. Angin yang selalu diam seperti membisikkan sesuatu kepadaku. Lalu aku berdiam, mencoba mendengar apa kata angin. Namun angin tetap diam. Ah, mungkin dia bukan berbisik. Mungkin dia sedang membuatku menyadari sesuatu.
Tiba-tiba dadaku menjadi sesak. Sepertinya angin mencoba masuk ke dalam hatiku dan meninggalkan sesuatu. Kupegang dadaku, terasa hangatnya. Lalu aku melihat di depanku seorang wanita dengan rambut diikat ke belakang. Di tangannya ada buku yang kubaca. Namun dia tak sedang membacanya. Sepertinya dia sedang menikmati apa yang dilihatnya. Wajahnya bercahaya ditimpa warna jingga. Cantik. Seketika aku jatuh cinta.
Ketika aku hendak menyapanya, dia menghilang. Ternyata semua hanya di anganku. Ada sedikit kecewa, tapi cinta itu tetap ada.
Jam di tanganku menunjukkan pukul 17.45. Aku harus segera bergegas.
Senja, kau telah memberi cinta di hatiku, dan kutinggalkan untuknya di bangku ini.

Rabu, 09 Oktober 2013

Aku Tak Akan Menjadi Dia, Dia Tak Akan Menjadi Aku

Aku tak akan menjadi dia, dan dia tak akan menjadi aku. Seberapa dekatnya kami, seberapa seringnya kami bertemu, kami tak akan pernah bertukar tempat.

Tiga tahun kami tinggal bersama. Hampir semua hal kami bagi. Bukan hanya cerita, tetapi banyak hal. Kupikir, mungkin dialah orang yang paling tahu baik buruknya aku. Tahu tentang banyak cerita dalam hidupku. Bahkan yang keluargaku pun tak tahu.
Dulu, kupikir kami punya hati yang satu. Tapi tidak. Kami tak pernah satu. Aku baru menyadarinya. Aku bukan dirinya, dan dia bukan diriku.
Mungkin, dulu aku begitu egois, sehingga semua hal yang aku punya aku bagi dengannya. Dan untungnya dia mau menerimanya. Padahal seharusnya aku juga memberinya kesempatan untuk membagi bebannya denganku.
Sekarang, ketika tahun-tahun memisahkan kami, jiwa kami kembali bertemu. Mungkin waktu mengajakku untuk berubah. Mungkin waktu memaksaku untuk menjadi lebih dewasa dari sebelumnya.
Mungkin inilah rasanya menjadi dia waktu dulu. Menjadi pendengarku tanpa kesempatan dariku untuk didengar. Aku sungguh egois.
Tapi aku tak akan menyalahkannya. Sekarang dia butuh didengar. Dia yang lebih butuh, bukan aku. Jadi sebaiknya aku mengurungkan niatku untuk membagi ceritaku. Membagi kepedihanku.
Mungkin ini rasanya menjadi dia yang selalu menahan perasaannya ketika aku ingin didengar. Dia yang selalu tersenyum menanggapiku. Dia yang sangat sabar terhadapku. Dia yang tampak baik-baik saja. Padahal mungkin dia sedang terluka. Padahal mungkin dia ingin kudengar.

Sekalipun saat ini aku mengerti rasanya menjadi dia, aku tak akan menjadi dia, dan dia tak akan menjadi aku. Kami hanya belajar untuk saling mengerti.

Rabu, 25 September 2013

Sepi pun ikut bernyanyi

Dalam hening aku bernyanyi,
Lagu cinta yang abadi.

Aku memetik gitar,
Membayangkan engkau mendengar.
Aku tau kau tak di sini,
Aku tau kau tak merasa sepi.
Sepi hanya temanku.
Sepi hanya kerinduanku.

Gitar ini milikmu
Hati ini milikmu
Jiwa ini milikmu
Maka kucipta lagu untukmu

Dengar, dengarlah
Sepi pun ikut bernyanyi

Selasa, 24 September 2013

Menjemput Ibu

Malam yang dingin. Tapi tidak di hati ibu itu. Ibu itu selalu bahagia ketika anak kesayangannya memilih menjemputnya dari pada nongkrong bersama temannya.

Seperti malam-malam sebelumnya, ibu harus pulang lebih lama. Sudah seminggu ini ibu lembur. Aku tau, itu semua karena aku. Aku harus mengikuti ujian praktek bulan depan. Itu berarti aku harus membeli beberapa barang untuk mendukung ujianku. Dan, keuangan kami yang pas-pasan, membuat ibu harus menambah jam kerjanya agar dapat tambahan uang.
Hari ini, teman baikku berulang tahun. Ia mengajakku merayakan ulang tahunnya. Ah, temanku pasti mengerti, ibuku lebih membutuhkanku.

Aku bersyukur atas seorang anak yang Kau titipkan padaku. Seorang anak yang baik, yang mau mengerti kondisiku. Suamiku sudah tiada. Aku harus berjuang sendiri menghidupi diriku dan anakku. Dari hasil kerjaku, aku berhasil membeli motor untuk anakku. Di sini, kalau tak punya motor, serasa tak punya kaki. Tak bisa ke mana-mana. Syukurlah, anakku tak memakainya untuk keliling-keliling tak jelas.
Aku bersyukur ketika anakku masih mengingat untuk menjemputku. Aku tahu, hari ini ulang tahun sahabatnya. Seharusnya dia bisa memintaku untuk pulang sendiri. Tapi tak dilakukannya. Maaf jika ibu harus pulang malam beberapa hari ini. Maaf, waktumu untuk berkumpul bersama teman-temanmu jadi berkurang. Ibu janji, ibu akan terus bekerja dan berjuang untukmu, nak. Ibu akan berusaha memenuhi kebutuhanmu. Ibu sayang kamu, nak.

Senin, 23 September 2013

Pasar Malam

Pernah ke pasar malam? Dulu aku sering diajak ke pasar malam. Dulu, waktu masih kecil.
Dulu, rasanya sangat senang ketika diajak ke pasar malam. Senang karena suasana ramainya, senang karena banyak yang bisa dilihat, senang karena bisa tpkeluar di malam hari.
Seiring berjalannya waktu, kegiatan ke pasar malam sudah tak menarik lagi bagiku. Malas berdesakan dengan banyak orang. Banyak tugas sekolah. Dan juga banyak hiburan yang bisa kudapat tanpa aku harus keluar rumah.
Beberapa waktu lalu aku pergi bersama temanku ke pasar malam, tepatnya di pesta kesenian Bali. Aku senang. Sudah lama tak merasakan suasana seperti ini. Banyak orang berjualan. Banyak permainan yang menurutku sudah jarang aku temui, contohnya bianglala ini.
Lalu aku berpikir, bagaimana seandainya pasar malam sudah tak ada lagi? Bagaimana nasib orang-orang yang menggantungkan hidupnya dengan menjual tenaga untuk permainan-permainan di pasar malam?
Aku melihat sekitarku. Masih banyak tawa di sini, di pasar malam ini. Banyak anak kecil yang mungkin sama sepertiku dulu, sangat bersemangat ketika diajak ke pasar malam. Ya, orang-orang inilah yang akan menjaga pasar malam. Semoga, mereka tidak tergerus arus modernisasi.

Minggu, 22 September 2013

Belajar Menjadi Dirigen

Ok, kali ini agak melenceng dari tema people around us. Kali ini adalah foto saya sendiri yang tentunya diambil oleh orang lain, walaupun diambil dengan kamera hp saya.

Jadi, ceritanya, saya hari ini dikasi tugas jadi dirigen. Ini pertama kali buat saya. Eh, sebelum cerita, mungkin ada baiknya kalau saya memberi tahu bahwa saya adalah salah satu anggota paduan suara gereja. Baru beberapa bulan ini kami punya pelatih baru. Secara kualitas, pelatih baru ini lebih banyak ilmunya dari pelatih yang dulu. Dan cara mengajarnya pun agak berbeda. Jika dulu gak pernah diajari caranya memimpin nyanyi, sekarang sang pelatih mulai menunjuk dan memberikan ilmu tentang menjadi seorang dirigen.
Penunjukan menjadi dirigen ini terjadi minggu lalu waktu latihan rutin terakhir. Kaget, takut, seneng, semua deh nyampur jadi satu. Kaget karena gak nyangka bakal ikutan ditunjuk. Takut, tepatnya takut salah karena ini pertama kalinya dan saya ngerasa belum pernah belajar menjadi dirigen. Seneng karena itu berarti saya bisa belajar hal baru. Mana tau, saya punya kemampuan di situ.
Hari ini lah saatnya saya maju dan memimpin paduan suara dan jemaat dalam ibadah. Sebelum ibadah dimulai, kami janjian berkumpul dua jam sebelumnya. Sayangnya, salah satu dari dirigen yang ditunjuk gak bisa datang karena mendadak pulang kampung. Dan tugas itu dialihkan ke saya. Matilah saya.
Jujur, saya sudah cukup stres ketika saya harus mimpin satu lagu. Ini malah ditambah satu lagi. Ternyata kejutan gak sampai di situ. Ada dua lagu ysng mendadak ditambahkan ke saya untuk saya pimpin.
Entahlah. Saya gak tau lagi bagaimana mengekspresikan perasaan saya. Saya pengen nangis. Beneran. Tapi anehnya, saya gak bisa nolak, dan saya pun gak bisa nangis, malah ketawa-ketawa.
Entah kerasukan apa tadi itu, saya maju-maju saja. Mimpin seperti yang sudah diajarkan. Setiap gerakan harus tegas. Bagian akhir harus jelas. Cara mengajak bernyanyi, cara berhenti, tanda permata, rit. Aaaah...pusing saya. Tapi ya sudahlah. Untung semua bisa saya lalui. Saya bersyukur. Lebih bersyukur lagi, ternyata saya mendapat ilmu. Besok-besok saya akan belajar lebih baik lai, Bu Pelatih. Selamat hari minggu.

Sabtu, 21 September 2013

Merenung

Aku tak mengerti apa yang sedang mereka bicarakan. Otakku terasa kacau.

Seharusnya sekarang ini aku sedang berdiskusi dengan kelompokku. Seharusnya aku memberi ide dan pemikiran tentang topik diskusi malam ini. Tapi apa yang terjadi? Otakku kacau. Pikiranku tak di sini. Seperti ada benang kusut di kepalaku.
Aku tak bisa berpikir. Dari pada aku meracau, lebih baik aku diam. Lalu kuputuskan untuk merenung. Mengingat kembali akar masalahku. Mencoba mengurai benang-benang kusut di kepalaku. Satu-satu kuluruskan. Satu-satu kubuka simpulnya.

Lama aku merenung. Perlahan benang kusutku pun mulai terurai.


Kamis, 19 September 2013

Lelah

Pagi ini mendung. Cuaca yang sangat enak untuk melanjutkan tidur. Tapi tidak untuknya. Dia harus bangun pagi. Dan hari ini, dia bangun lebih pagi dari biasanya. Segera dia memasak untuk suami dan anaknya. Masakan yang disertai bumbu kasih sayang. Pasti lezat.
Usai memasak, ia lantas mengendarai motornya menuju pasar. Dia harus membeli bahan masakan untuk besok. Tak mudah menentukan akan memasak apa. Jika terlalu sering memasak satu jenis masakan, pasti ada rasa bosan. Apalagi dia memasak bukan untuknya sendiri. Harus tahu selera suami dan anaknya.
Sampai di rumah, segera dia mandi. Belum sempat dia bersiap-siap ke kantor, anaknya sudah bangun. Dia harus memandikanya dan mempersiapkan anaknya untuk sekolah. Akan bertambah lama jika anaknya rewel. Setelah dirinya dan anaknya wangi dan rapi, biasanya dia akan ke pura untuk sembahyang. Menghadap Yang Maha Kuasa dan menyerahkan harinya ke dalam rencana-Nya. Ritual yang seharusnya dilakukan oleh semua orang sebagai ucapan syukur atas hidupnya.
Setelah semua dilakukannya, barulah dia bisa berangkat ke kantor.
Hey, ini masih setengah delapan, dan wanita ini telah melakukan banyak sekali aktivitas. Pantaslah jika ia sekarang kelelahan. Mungkin semalam ia tak bisa tidur karena anaknya. Mungkin pagi ini dia beraktivitas lebih dari biasanya karena asisten rumah tangganya belum datang. Entahlah. Yang pasti dia butuh istirahat. Ibu muda yang hebat, beristirahatlah, karena banyak pekerjaan yang harus diselesaikan hari ini.

Kapan Pulang

Bahagianya mereka. Turun dari kereta dengan hati yang penuh kerinduan. Sebentar lagi, mungkin mereka sudah bisa makan bersama keluarganya.
Bapak, kapan pulang?
Seorang nenek turun dari kereta bersama dua orang cucu dan seorang anak perempuannya. Mungkin mereka akan mengunjungi sanak saudaranya. Di tempat lain, sebuah keluarga tengah kerepotan membawa barang-barangnya. Mungkin akan banyak oleh-oleh yang dibagikan. Mungkin, mereka sedang pulang dari perantauan.
Bapak, kapan pulang?
Rindu ini sudah tersimpan selama bertahun-tahun. Aku masih mencoba menjaganya agar tak usang. Entahlah. Mungkin tahun ini aku akan mengakhiri kerinduanku. Kerinduan yang selalu kuselipkan dalam mimpiku. Kerinduan yang selalu membuatku bertanya, "Kapan pulang."

Rabu, 18 September 2013

Kenangan

Ah, sudah jam segini. Sepertinya aku agak terlambat malam ini. Tempat ini sudah sepi, dan selalu sepi ketika aku di sini. Tak ada orang. Hanya aku sendiri.
Kali ini aku duduk di pojok ruangan. Tak ada pelayan mendatangiku. Tak ada menu ditawarkan padaku. Yang kulakukan hanya melamun. Apa lagi yang kulamunkan selain kenangan hidupku.
Tempat makan ini cukup unik. Didesain dengan tampilan yang akan menimbulkan kenangan dari orang yang datang. Itulah sebabnya aku sekarang ini duduk di sini. Terperangkap oleh kenangan. Lebih tepatnya menjatuhkan diri dalam perangkap kenangan.

Sayup-sayup kudengar suara ayam berkokok. Menyadarkanku bahwa aku harus segera beranjak dari sini. Aku tak mau matahari membakarku dan melenyapkanku.
Besok, ketika semua orang sudah meninggalkan tempat ini, aku akan duduk kembali di sini. Tenang saja, kau tak akan melihatku.

Selasa, 17 September 2013

Bukan Akhir

Hari ini adalah hari terakhir kita bertemu di dunia ini. Memang jiwamu telah meninggalkanku beberapa hari lalu, tapi jasadmu baru akan meninggalkanku hari ini. Hari ini akan diadakan upacara ngaben untukmu. Jasadmu akan kembali menjadi debu. Tenang saja, kau tak akan merasakan sakit lagi. Penyakitmu akan terbakar. Jiwamu pun akan tenang.
Jangan lagi mengkhawatirkan aku. Aku akan baik-baik saja.
Seperti katamu, kematian bukanlah akhir. Dan aku akan menyimpan itu dalam benakku. Aku tak akan mengakhiri rasaku padamu. Rasa itu akan selalu ada. Masih akan sama seperti dulu, atau sekarang. Akan kusimpan dengan rapi segala kenangan tentangmu. Akan kubuatkan kotak kenangan khusus untukmu. Kutempatkan di tempat istimewa. Dan kupastikan tak akan ada yang menggesernya.
Jangan takut aku akan sendirian. Aku tak akan merasa sendiri. Bukankah engkau telah menjadi debu dan kembali ke tanah? Jika memang demikian, engkau akan selalu bersamaku. Bersama langkahku yang memijak tanah. Bersama hatiku yang telah kutanam ke dalamnya. Oh, kalau kau masih tak percaya aku tak sendirian, lihatlah, betapa banyaknya orang-orang yang mengiring bukur untukmu. Mereka pasti akan bersamaku. Percayalah.
Jangan menangis melihatku. Kau lihat, kan, aku tak menangis? Aku pastikan aku akan bahagia. Karena bahagiaku adalah bahagiamu. Dan aku tak ingin kau tak bahagia.
Percayalah, aku akan baik-baik saja. Sama seperti aku mempercayai kata-katamu, bahwa ini bukan akhir.
Sampai ketemu, kekasihku.

*bukur: tempat meletakkan peti biasanya berbentuk lembu atau vihara, ada pula yang menyebutnya wadah, terbuat dari kayu dan kertas. (sumber: wikipedia)

Senin, 16 September 2013

Biar Saja

Tadi pagi hujan. Sisa-sisa rintiknya masih setia membasahi bumi. Tidak deras, tapi cukup membuatku sakit, kurasa. Atau mungkin, sakit ini bukan karen hujan? Entahlah. Biar saja hujan menyentuku. Aku hanya mau menutup kepalaku saja. Atau mungkin sebenarnya aku ingin menutup otakku dari pikiran-piran yang mengganggu ini?
Aku masih harus menapaki jalan ini untuk sampai tujuanku. Dua orang temanku sudah di depan. Biar saja. Aku ingin menikmati setiap langkah kakiku. Berat memang. Tapi harus kulangkahkan demi tujuanku.
Mendung masih menggantung.Cukup pekat untuk menurunkan hujan secara tiba-tiba. Ah, biar saja. Aku tak mau berkejaran dengannya. Dia temanku. Setidaknya, pekatnya menggambarkan isi hatiku. Jika dia mau menurunkan hujannya, ya sudah, aku akan menyambutnya.
Dinginnya udara pegunungan ini makin menusuk. Sama seperti hatiku yang telah menjadi dingin. Biar saja. Kami sama-sama dingin.
Jika aku bisa berhenti sekarang, aku ingin berhenti. Jika aku bisa meringkuk sekarang, aku pun ingin melakukannya. Tapi, alam hanya teman. Teman yang megningatkan. Teman yang tak mengijinkanku terpuruk dalam dingin dan gelap. Ia menyuuhku tetap berjalan, walau terseok. Ia menyuruhku tetap berdiri, walau kurasakan berat menopang tubuh ini.
Biar saja. Biar saja pikiran ini mengembara. Biar saja kenangan buruk menyiksa jiwa. Biar saja dingin membekukan hati. Biar saja mendung menurunkan hujannya. Karena setelah ini akan ada pelangi.

Minggu, 15 September 2013

Buah Yang Manis

Kompetisi kadang memang memaksa manusia untuk berusaha. Sama seperti yang kami lakukan. Kami adalah kelompok paduan suara yang masih belum mempunyai banyak anggota. Sudah tak banyak anggotanya, masing-masing anggota ada orang yang cukup sibuk pula.
Di suatu waktu di bulan Agustus, kami ingin sekali mengikuti lomba vocal group. Ya, namanya juga kompetisi, kami pasti berharap menang. Namun, kesibukan ternyata menjadi penghalang utama kami untuk melakukan latihan secara full team. Terpaksalah kami berlatih seadanya anggota.
Beberapa hari sebelum hari H, kami mulai pesimis. Lagu yang seharusnya kami bawakan tanpa partitur, belum bisa kami hafal dengan sempurna. Belum lagi gerakan yang harus dilatin agar tidak terlihat kaku. Di beberapa bagian lagu, juga masih butuh polesan dan latihan agar terdengar bagus dan tidak fals. Namun, meskipun kami pesimis, kami tetap semangat berlatih. Yang penting memberi yang terbaik. Sisanya serahkan pada Tuhan.
Tibalah hari yang membuat kami deg-degan. Kami belum hafal seluruh bagian lagu. Akhirnya kami memutuskan untuk membawa partitur. Kami tahu, itu akan mengurangi nilai, walaupun tidak ada aturan lomba yang melarangnya. Kami bernyanyi dan memberi yang terbaik yang bisa kami beri. Kami menyanyi dari hati kami.
Selesai menyanyi, kami merasa lega luar biasa. Entah karena apa.
Waktu itu, kami tak berpikir menjadi juara pertama. Kami sadar diri. Dengan membawa partitur dan melihat penampilan kelompok lain, kami merasa kemungkinan besar bukan kami pemenangnya. Tapi harapan untuk menang masih ada. Perpaduan suara kami cukup harmoni, dan aransemen lagu kami lain dari lagu-lagu yang dibawakan oleh kelompok lain.
Saat pengumuman pemenang tiba, kami kaget luar biasa. Ternyata kami juara pertama. Bagi kami, ini anugerah. Sesuatu yang dilakukan dengan hati yang tulus, akan membuahkan sesuatu yang manis. Kalaupun kami tak mendapatkan juara malam itu, kami pasti masih bisa merasakan manisnya perjuangan kami karena kami melakukannya dengan hati kami.


Sabtu, 14 September 2013

Wanita-wanita Tangguh

Ketika Indonesia telah mengakui emansipasi wanita, mungkin itu juga berlaku bagi semua pekerjaan.
Hari ini, aku berkunjung ke dusun Alengkong, Songan. Sebuah dusun di daerah Kintamani, Bali. Dan aku bertemu dengan emansipasi.
Di balik gemerlapnya Bali, di balik eksotisnya Bali, ternyata masih menyimpan kondisi yang sangat jauh dari suasana "menyenangkan". Untuk mencapai dusun Alengkong, kami berkendara sampai danau Kintamani dengan mobil biasa. Setelah itu, kami harus beralih ke mobil pick up, dan sebagian harus naik motor. Ternyata dusun tersebut berada di kawasan yang cukup sulit dijangkau. Jalan yang kami lalui sempit dan berliku. Ditambah berpasir dan berdebu. Mobil kami sempat terhenti karena salah satu mobil tidak sanggup melalui medannya.
Dalam perhentian itu, aku bertemu salah satu bentuk emansipasi, mungkin. Aku melihat beberapa wanita tangguh. Mereka sedang mengaduk semen. Ya, mengaduk semen. Di jalan berliku, menanjak, dan berdebu. Sekali lagi, beberapa, bukan hanya satu. Itu berarti cukup lazim menggunakan tenaga perempuan untuk membangun suatu proyek.
Aku tak tahu mengapa mereka mau bekerja sebagai tukang bangunan. Dan, aku tak mau sok tahu. Mungkin memang sudah lazim. Tapi mungkin juga mereka terpaksa melakukannya.
Yah, apa pun alasannya, bagiku mereka wanita tangguh. Tak hanya berperan sebagai ibu, tetapi juga berperan sebagai pencari nafkah. Salut untuk kalian, wanita-wanita tangguh.

Jumat, 13 September 2013

Lagu Untukmu

Gadis cantik itu datang lagi. Tak seperti biasanya, kali ini dia datang bersama teman-temannya. Sepertinya sedang merayakan ulang tahun salah satu dari mereka.
Aku petik gitarku. Kulantunkan sebuah lagu romantis. Memang ini pekerjaanku, tapi malam ini, dan seperti malam-malam ketika dia hadir di sini, aku menyanyikannya dari hatiku untuknya.
Kulihat dia terdiam di tengah ramainya canda dan tawa teman-temannya. Mungkin dia sedang mendengar laguku. Semoga. Ah, dia tersenyum. Hatiku bergetar. Mungkin dia merasakan rasaku. Mungkin dia mendengar nyanyian hatiku.
Seandainya aku bisa duduk bersamanya. Ini akan menyenangkan. Pantai, angin, dan musik. Romantis.
Kulantunkan lagi sebuah lagu. Kepada angin. Kepada ombak. Teruntuk gadis cantikku.

Kamis, 12 September 2013

Terima Kasih Atilla

"Atillaaaa..."
Aku memasuki rumah sahabatku ini dengan tak sabar. Kerinduanku pada anaknya yang belum genap berusia enam bulan yang menarikku ke rumah ini. Bukan sahabatku yang pertama kucari, melainkan anaknya.
"Coba liat, tante bawa apa buat kamu, sayang." Langsung kugendong Atilla dan kuberikan mainan kesukaannya. Dia tertawa. Rasanya aku sangat bahagia melihatnya tertawa.
Aku semakin sering berkunjung ke rumah ini sejak Atilla lahir. Mungkin ini pelarianku dari rasa kesepian seorang ibu. Tahun ini adalah tahun kelima pernikahanku. Selama itu pula aku selalu menantikan kehadiran tangis bayi. Pernah aku merasakan kehamilan, tapi hanya 3 bulan saja. Janin di rahimku tak berkembang. Aku pun harus belajar merelakannya.
Namun, aku masih beruntung. Suamiku mengerti keadaanku. Bukan salahku ataupun salahnya jika sampai sekarang kami belum bisa menimang anak kami. Semuanya sudah diatur. Begitu katanya.
Dan di sinilah aku sekarang. Tertawa bersama Atilla.
Beban-bebanku terasa hilang ketika aku melihat tingkah lucunya. Jiwaku terpuaskan oleh kasih tulus seorang bayi yang bahkan belum mengerti apa itu kasih.
Terima kasih Atilla.

Rabu, 11 September 2013

Abadi

Sekali lagi aku memandangimu. Tak pernah aku bosan. Tidak sekalipun.
Kali ini, aku melihatmu hanya berbaring seharian. Memejamkan mata walau tak bisa tertidur. Sesekali erangan kecil keluar dari bibirmu. Mungkin tubuh tuamu memang sudah lelah berjalan bersama waktu. Atau memang engkau sedang sangat merindukanku?
Hei, lihatlah, anakmu sedang bingung sekarang. Dari pagi kau tak menyentuh sama sekali makananmu. Pantaslah badanmu lemah. Kau pun tak menjawab setiap kata yang diucapkannya. Semoga kelemahan tubuhmu ini tak menjadi pintu masuk bagi penyakit. Aku tak ingin kau sakit. Kurasa usiamu sudah cukup menyiksamu, jadi jangan menambah bebanmu sendiri.
Bersabarlah, kekasihku. Kita pasti bertemu. Jangan mendahului sang waktu. Tetaplah kuat. Aku tak jauh darimu.
Aku, wanitamu ini, akan bersabar menantimu...di keabadian...

Sabtu, 10 Agustus 2013

Bandara, kenangan, kita.

Ada yang bilang, bandara adalah tempat yang penuh kenangan. Mungkin itu benar. Bandara selalu berhasil membuatku mengenang sesuatu. Kebanyakan masih kenangan indah, walaupun akhir dari kenangan tersebut masih terselip kesedihan.
Dan sekali lagi, bandara telah berhasil membentuk kenangan lucu, manis, tetapi cukup menyenangkan. Aku bertemu denganmu waktu itu. Ah, sebenarnya tak bisa dianggap pertemuan. Tak ada percakapan di antara kita. Bahkan tak ada perkenalan. Aku hanya melihatmu, dan kau pun melihatku.
Aku melihatmu pertama kali ketika boarding. Kau berada di depanku, jadi, mau tak mau aku pasti melihatmu. Waktu itu aku tak terlalu peduli. Hanya sebatas aku bisa mengingatmu sama seperti aku mengingat wajah orang yang menitipkan tasnya padaku sewaktu ia hendak ke toilet.
Kenangan mulai terbentuk ketika kita turun dari pesawat. Ternyata kau turun setelah hampir semua penumpang turun. Sama sepertiku. Mungkin kita adalah orang yang sama-sama malas berdiri berdesakan, jadi lebih memilih menunggu sebentar agar tidak berdesakan. Setelah turun dari pesawat, ternyata kita harus menunggu bus dulu.
Tapi ternyata malam sedang berbaik hati. Ia mengijinkan kita melihat bintangnya sambil menunggu bus. Tak ada awan yang menutupi. Bintang bertebaran indah sekali. Aku melihatmu mendongak ke atas untuk beberapa saat lamanya. Sepertinya kau menikmati pemandangan yang disuguhkan malam. Sama sepertiku. Mungkin kita sedang melihat bintang yang sama.
Akhirnya bus datang. Entah mengapa, kau seperti mendekatiku. Bediri di sampingku. Tapi, masih tanpa percakapan.
Ah, busnya ternyata tak muat menampung sisa penumpang yang ada. Ya, sudah, aku memilih menunggu bus yang berikutnya. Kulihat ke samping. Oh, kau pun memilih menunggu rupanya. Padahal kan kau bisa saja masuk ke bus tadi. Bawaanmu tak banyak. Kesempatan untuk masuk bus juga ada.
Bus yang selanjutnya datang, dan inilah yang membawa kita menuju terminal kedatangan. Aku mendapatkan tempat duduk, kau berdiri. Sempat aku mendapatimu melihat ke arahku seakan-akan memastikan aku ada di dalam bus itu. Ah, mungkin itu hanya rasa GR ku saja.
Sampai di terminal kedatangan. Tentu saja kau turun duluan karena kau berdiri di dekat pintu bus. Sedangkan aku masih duduk agak jauh dari pintu. Aku tak berpikir kau akan menungguku.
Entah angin mana yang membisikimu. Kau tidak langsung keluar. Tapi waktu itu aku berpikir kau sedang menunggu barang-barangmu yang masuk ke bagasi. Aku salah. Kau menungguku. Ah, tapi mungkin ini rasa GR yang semakin bertambah. Ah, tapi begitu kau melihatku dan aku sudah di sampingmu, kau melanjutkan perjalananmu, tidak menunggu barang. 
Tetap saja tak ada pembicaraan. Sampai akhirnya kita sudah di luar terminal kedatangan dan berpisah pun tak ada pembicaraan. Aku ke kanan, kau ke kiri. Kita berpisah.
Aku selalu tersenyum jika mengenang itu. Bandara memang sangat mahir dalam menciptakan kenangan. Seperti sekarang, dia tengah mengukir kenangan lain akan kita.
Kuambil cangkir kopiku, kusesap. Kau melihatku, aku tersenyum. Kuletakkan kopiku, ingin kuraih tanganmu. Ah, kau duluan yang mendapatkan tanganku. Memegangku erat. Seolah kau mengerti bahwa aku sedang mengenang perjumpaan kita. Memegangku erat. Karena kita akan memulai perjalanan hidup kita yang baru.

Jumat, 02 Agustus 2013

Karena malam mendengar kebencian

"Aku benciii!!!"
Aku berteriak kepada sunyi. Hanya malam yang mendengar. Ya, aku memang sedang bercerita kepada malam.
Lalu aku meringkuk. Menangis dalam dekapan angin dingin. Malam hanya berdiam.
Aku menumpahkan rasaku padanya. Rasa yang sama pekatnya dengan dirinya.
Mengapa aku membenci? Padahal aku hanya medengar, atau bahkan hanya membaca satu kata. Seolah kata itu adalah kunci yang bisa membuka peti berisi kemarahan, kedengkian, dan segala hal yang negatif.
Tapi malam hanya diam. Mungkin ia tak setuju denganku. Tapi mungkin dia ingin aku mengerti dengan jalanku sendiri.
Tunggu...ternyata malam sedang menunggu. Menunggu waktu yang tepat untuk menyeretku menuju gelap yang lebih pekat. Malam mengurungku dalam kesunyian dan kepekatan yang tak pernah kubayangkan sebelumnya.
Aku meraba tapi tak kusentuh apa-apa. Aku berjalan, tapi rasanya tak ada pembatas untuk pekat ini. Sampai aku berlaripun, aku tak menabrak apapun.
Aku mulai panik. Apakah aku bisa keluar dari pekat ini? Atau aku akan terkurung untuk selamanya di sini?
Lelah aku mencari jalan. Akhirnya aku terduduk lemas. Samar aku mendengar ada yang berbisik memanggil namaku.
"Jingga..Jingga..."
Sontak aku mendongak, menengok ke kanan dan ke kiri. Mencari asal suara. Bodohnya. Aku lupa aku sedang terkurung pekat. Mana mungkin aku dapat melihat wujud dari yang memanggilku. Akhirnya aku memutuskan untuk diam. Menunggunya memanggilku.
"Jingga..rasakanlah pekat ini. Ini adalah rasamu. Amarah yang bercampur kebencian. Seperti inilah rasamu. Pekat."
Aku terdiam.
"Nyamankah kamu dengan pekat ini? Kulihat kamu tak nyaman."
"Ya," jawabku singkat.
"Sekarang, tenangkan dirimu. Jangan membenci, karena kebencian hanya akan mengurungmu dalam kegelapan seperti ini. Carilah jalan keluarmu dengan mendengarkan tuntunan hatimu."
"Mengapa aku harus mendengarmu?"
"Karena aku adalah malam. Aku mendengar kebencian. Ia tak ingin berada bersamamu."

Rabu, 31 Juli 2013

Seharusnya..ah, ini hanya anganku..

Aku duduk di tengah keramaian manusia taman, bercengkerama dengan alam, menikmati tiupan lembut angin pantai. Sekelompok pemusik sedang menunaikan tugas yang telah menjadi hobi mereka. Bermusik menghibur penikmat alam. Suasana yang sempurna untuk mengantarku berjalan bersama anganku. Berjalan bersama kenangan. Ah, selalu saja kenangan.
Petikan gitar berpadu tabuhan drum membentuk harmoni mengiringi lagu-lagu romantis yang mengalun merdu. Ini menyenangkan jiwa. Sungguh, seharusnya ini menjadi menyenangkan. Seharusnya. Namun, tidak bagi jiwaku. Tidak untuk sekarang.
Tak usah tanya mengapa, karena aku pun tak akan bisa meberi jawabnya.
Seharusnya engkau ada di sini. Seharusnya ini menjadi kisah romantis kita. Seharusnya hati dan jiwa kita bersatu bersama lagu. Aku akan meletakkan kepalaku ke pundakmu. Engkau akan menggenggam erat jemariku. Suatu keyakinan akan kebersamaan yang tak akan lekang oleh waktu. Kita, lagu, dan waktu.
Ini hanya anganku. Angan yang terbang bebas membentangkan sayapnya. Angan yang akan berjalan seiring dengan kenangan.
Sampai jumpa wahai engkau dalam kenangan. Sampai jumpa ketika angan telah menjadi nyata.

Sabtu, 27 Juli 2013

Lelaki dengan sepeda tua

Hampir setiap hari aku melihatnya mengayuh sepedanya. Seorang anak kecil duduk di belakangnya. Dengan kekuatan yg sudah tidak muda lagi, ia mengayuh sepedanya menuju sebuah sekolah. Setiap hari, setiap cucunya bersekolah.
Tak pernah ia terburu-buru mengayuh sepedanya. Mungkin karena usia.
Ketika cucunya sudah masuk ke sekolah dasar, dibiarkannya si cucu berangkat dan pulang sekolah dengan berjalan kaki. Sedangkan dia, tetap setia mengayuh sepedanya mengantar cucunya yang lain.
Tak pernah kulihat kakek itu mengeluhkan pekerjaannya mengantar cucu-cucunya.
Waktu bergulir, cucu-cucu sudah beranjak besar. Tak ada yang perlu diantar. Namun, suatu ketika, aku melihatnya lagi mengayuh sepedanya ke sekolah dasar tempat cucunya bersekolah. Ternyata dia sedang menjemput cucunya yang kedua. Kulihat si cucu tidak dalam kondisi yang baik. Kakinya pincang. Ternyata cucunya baru saja kecelakaan sehingga tulang keringnya patah. Dan waktu itu kakinya belum pulih. Sang kakek dengan penuh kasih mengantar jemputnya dengan sepeda.
Bukan suatu hal yang mudah mengantar jemput si cucu dengan sepedanya. Dia harus berhati-hati benar agar cucunya tidak cedera lagi.
Ketika cucu-cucunya sudah tak perlu lagi diantar jemput, sang kakek masih kulihat sering mengendarai sepedanya. Ia sering pergi ke pasar membeli beberapa barang kesukaannya, untuk memenuhi hobinya.
Sekarang, ketika cucu-cucunya sudah beranjak dewasa, tak pernah lagi kulihat si kakek dan sepedanya. Pernah kudengar si kakek jatuh sakit. Sakit karena usia. Mungkin karena itulah keluarganya sudah tak memperbolehkannya mengayuh sepedanya.
Suatu waktu, aku pergi mengunjungi rumah si kakek. Ya, kakek memang tidak sesegar yang kulihat dulu. Namun, aku masih melihat semangatnya. Semangat yang terbungkus dalam tubuh rentanya. Aku menanyakan kabarnya. Dia mengatakan bahwa dirinya memang tak lagi muda, tak lagi bisa bersepeda. Ia juga sudah berpasrah diri kepada Yang Kuasa jika sewaktu-waktu Ia memanggilnya.
Lalu aku berkeliling di sekitar rumahnya. Aku melihat sepeda tuanya. Setua tuannya, serenta pengendaranya. Namun masih terlihat gagah.
Kakek dan sepeda tuanya, teruslah berjuang dalam semangatmu. Kenangan akanmu, tak akan hilang dalam ingatanku.

Minggu, 21 Juli 2013

Lelah Bukan Berarti Menyerah

Aku lelah, ya, aku lelah..
Bukan aku ingin menyerah, aku hanya lelah..

Aku menangis dalam malam-malamku,
Aku menangis dalam ingatanku,
Aku menangis dalam kasihku..

Aku lelah mencoba mengerti, 
Aku lelah mencoba memahami.

Aku tak bertemu dengan jawab.
Aku tak bertemu dengan logika.
Aku hanya bertemu dengan emosi.

Aku lelah, ya, aku lelah..
Bukan aku ingin menyerah, aku hanya lelah..

Rasanya tak masuk akal,
Rasanya tak masuk hitungan.

Yang pernah ditentang, sekarang malah dilakukan.
Yang pernah dilarang, sekarang malah dijalani.
Entahlah.

Aku...lelah...

Selasa, 11 Juni 2013

Masih tersangkut

Kakiku melangkah..tapi tak dapat lebih jauh..
Memaksa, menarik, menyeret..tak membuatkan lebih jauh..
Atau...mungkin aku hanya berputar-putar saja? Sehingga sebanyak apapun langkahku, jarakku tak akan lebih jauh..
Aku memang terus berjalan..dan ketika aku melihat sesuatu yang menyerupai titik pusatku dulu, aku berhenti dan menengok lagi ke titik pusat yang ingin kutinggalkan..
Titik pusat...titik pusat...
Jika aku masih tersangkut padamu..mungkin sebaiknya aku berhenti dan mengurai tali yang membuatku masih tersangkut..

Bandara adisucipto, 11 Juni 2013

Rabu, 08 Mei 2013

Bebek Adus Kali

Bebek adus kali nututi sabun wangi..
Bapak mundut roti, cah ayu diparingi..

Itu adalah sebuah lagu yang sering dinyanyikan kepada atau oleh anak kecil di daerahku, dulu, waktu aku masih kecil. Entah sekarang. Aku gak yakin anak-anak kecil itu tau tentang lagu tersebut.
Lagu tersebut sangat singkat. Dan tentu saja sangat mudah dinyanyikan. Tak ada not-not miring.
Arti dari lagu tersebut juga tak terlalu susah dipahami. Kurang lebih artinya seperti ini: bebek mandi di sungai mengejar sabun wangi (biasanya sabun mandi), bapak beli roti, anak cantik akan mendapatkan bagian roti itu.
Entah kenapa pagi tadi, pas mandi, aku tiba-tiba keinget lagu itu. Mungkin karena mencium wangi sabun, dan sadar kalo yang kupegang itu sabun. Lalu terlintas kata sabun wangi. Lalu pikiranku kangsung mencari dan menemukan lagu "bebek adus kali" dalam memori otakku.
Begitu otakku menemukan lagu ini dan memutarnya, bagian tubuhku yang meyimpan kenangan mulai bekerja. Aku ingat bagaimana perasaanku dulu pas nyanyiin lagu sederhana ini. Memang lagunya sederhana, tapi, aku pun gak tau kenapa, aku seperti menaruh harapan yang besar pas nyanyiin bagian terakhirnya, bapak mundut roti, cah ayu diparingi. Waktu itu aku berharap, atau mungkin lebih tepat kalo sekarang aku menyebutnya berkhayal bahwa bapakku sedang pergi, dan nanti jika dia pulang, dia akan memberiku oleh-oleh. Mungkin saja memang cuma roti yang dibawanya pulang, tetapi aku berharap dia pulang dan membawa oleh-oleh untukku.
Mengapa aku sekarang menyebutknya berkhayal? Tentu saja karena aku tau betul bahwa bapakku gak akan pulang, apalagi bawa oleh-oleh. Tapi aku bukan anak bang Thoyib yang tiga kali lebaran gak pulang. Mungkin saja bang Thoyib baru akan pulang di lebaran ke empat. Bapakku? Jelas-jelas gak akan pulang. Untuk selamanya. Bapakku sudah di alam yang berbeda denganku. Dan pasti dia gak akan menyeberangi alam untuk sekedar membawakanku roti.
Mungkin dulu aku sangat pengen untuk punya sosok seorang bapak. Mungkin aku dulu bener-bener pengen tau bapakku itu kaya apa. Tapi itu dulu. Sekarang aku tau bahwa aku gak akan dapat sosok bapakku. Bahkan ingatanku pun tak menyimpan sedikitpun tentangnya.
Tapi ya sudah. Itu sekarang bukan sesuatu masalah. Tuhan melengkapi hidupku dengan banyak hal.
Dan sekarang, kalo nyanyi bebek adus kali, mungkin aku akan banyak berpikir dan banyak mengoreksi lagu itu. Mungkin si bebek sudah gak ngejar sabun wangi lagi karena sekarang udah make sabun cair. Mungkin bebeknya udah gak mandi di sungai lagi. Apalagi di daerahku sana. Sungainya mungkin udah berwarna. Mungkin bukan bapak yang akan beli roti dan ngasi rotinya ke aku, mungkin itu orang lain. Pangeran ganteng yang sangat baik, barangkali. ;)

Rabu, 17 April 2013

Cinta tak akan datang waktu hujan

Yang aku tahu, kamu mulai mendekatiku. Yang aku tahu, kamu mulai mencoba menarik perhatianku.
Ya, dan akhirnya kamu memutuskan untuk mengatakannya padaku.
"Gi, aku pengen kenal kamu lebih deket. Aku mau serius. Aku pengen kamu jadi pacarku."
Yang aku rasakan adalah kekagetan yang cukup besar. Yang kurasakan, bukanlah penolakan akan cintamu.
"Gia gak tau, Kak. Gia belum kenal banget sama Kakak. Buat Gia, pacaran itu buat menikah, Kak, jadi bukan sesuatu yang main-main. Tapi Gia juga gak mau nolak Kakak sebelum Gia memberi kesempatan untuk hati Gia, Kak."
Aku tak mau menyesal dengan penolakan. Aku memang belum mengenalmu. Tapi yang kutahu, kamu adalah orang baik.
"Iya. Aku juga mau kamu mengenalku. Aku bukan ngajakin kamu nikah bulan depan kok. Tapi percayalah, aku serius mau kenal sama kamu, Gi."
Senyummu menembahkan keyakinan pada hatiku.
Waktu berjalan. Beberapa event menyita waktuku. Menyita kesempatan untuk bertemu denganmu. Keraguan mulai menghantuimu.
"Apa cewek ini memang untukku? Apa aku bisa mengimbangi kesibukannya? Apa dia mau memberi waktunya untukku? Apa dia akan tersiksa jika aku menyita banyak waktunya dan membuat dia harus meninggalkan beberapa kesibukannya?"
Semua hantu pikiran itu terus bergentayangan dalam benakmu. Kamu tak kuasa untuk menahan keraguanmu. Keyakinanmu, keseriusanmu, kepercayaanmu, mulai goyah. Sepertinya badai dan angin telah sukses meniup ketegarannya.
Suatu sore, kita berjanji bertemu. Aku ingin bertemu denganmu karena memang aku merindukanmu. Kamu ingin bertemu denganku karena kamu ingin mengutarakan keyakinanmu yang mulai goyah.
Sore itu hujan. Aku mulai cemas. Perasaan tak enak sudah menghinggapiku dari tadi pagi. Aku tak ingin sesuatu yang buruk terjadi.
Namun..takdir tak dapat ditahan, alur cerita tak dapat dibelokkan. Apa yang kutakutkan akhirnya menjadi nyata. Kau tak datang untuk menemuiku.
"Gi, maafkan Kakak ya. Kakak gak bisa ke rumah, di sini hujan. Kakak gak punya jas hujan."
"Gak bisa diusahakan ya, Kak?"
"Maaf ya, Gi. Kakak gak bisa ke sana. Kakak males kena hujan."
Walaupun tak ada petir saat itu, tetapi hatiku telah hangus, layaknya pohon tersambar petir.
"Oh, gitu ya, Kak. Iya deh, Kak."
"Gi..boleh Kakak ngomong sesuatu?"
"Boleh lah, Kak"
Aku mulai menahan perih. Aku mulai menahan tangis.
"Kakak rasa, Kakak gak bisa lagi ngelanjutin perkenalan kita. Maaf, Gi. Bukan Kakak gak serius, tapi..ah, entahlah..Kakak mulai ragu. Kakak rasa, Kakak gak bisa mengimbangi kegiatanmu. Mungkin Kakak bukan orang yang tepat buat dijadiin pasanganmu."
"..."
"Gi, kamu gak papa kan?"
Apakah bisa aku mengatakan bahwa aku baik-baik saja? Apakah hati yang telah hancur ini bisa disebut baik-baik saja?
"Eh, iya, Kak. Gia gak papa kok. Ya kalo Kakak menganggap itu baik, ya sudah. Gia gak bisa maksain juga, Kak."
Tangisku mulai tak terbendung. Namun  aku tetap berusaha berbicara dengan suara normal. Walaupun itu tak berhasil. Aku tahu, kamu pasti tahu kalau aku sedang menangis.
"Gia cuma pengen bilang kalo sebenernya Gia mulai sayang sama Kakak."
"Gi...maaf.."
"Iya, Kak. Gia gak akan maksa Kakak."
"Aku cuma ngerasa beberapa hari ini aku lalui dengan tawar hati. Aku kaya ngerjain semuanya setengah hati. Kaya gak ada rasa. Aku gak mau memperlakukanmu kaya gitu, Gi."
"Umm..apa gak bisa ada usaha lebih, Kak? Maksud Gia, kalo Kakak mau, kita bisa mulai dari awal, Kak. Gia bisa kok kasi waktu untuk Kakak. Gia bisa atur ulang jadwal kegiatan Gia."
"Gi..sepertinya emang udah gak bisa. Maaf."
"..."
"Gi..jangan nangis.."
"..."
"Gi?"
"Kak, Gia akan baik-baik aja kok. Janji. Tapi sekarang, Gia gak bisa menutupi kalo Gia sakit Kak."
"Maafin Kakak, Gi."
"Kakak gak salah kok. Gia gak bisa maksain Kakak buat punya perasaan ke Gia. Gia emang ngerasa ini gak adil. Kakak yang datang duluan ke Gia, tapi malah Gia yang sakit. Tapi Gia percaya kok, ini gak lama. Gia pasti bisa lewatin ini, Kak."
"Gi, maaf."
Mau tak mau, aku akan berusaha tertawa. Agar kamu tak merasa bersalah.
"Hehehe..gak papa, Kak. Di sana masih ujan, Kak?"
"Iya, masih."
"Wah, sayang ya, Kak. Kakak kan jadi gak bisa ke mana-mana kalo ujan. Eh, Kakak udah nonton film terbaru di bioskop?"
"Ah, emm...iya, ntar lagi mungkin udah reda. Biasanya juga gak ke mana-mana kok. Emang ada film apa di bioskop?"
Obrolan tetap berlangsung. Sesekali isakanku masih terdengar. Di luar, tetesan hujan masih riang berjatuhan dari langit. Hatiku masih tak karuan.
Sore ini hujan. Cintaku tak datang. Cinta tak akan datang waktu hujan.

Jumat, 05 April 2013

Kisah Teras Belakang

Jika aku dapat berkisah, akan banyak yang akan kututurkan padamu.
Jika aku dapat bersuara, akan banyak bicaraku tentang mereka, tentang persahabatan mereka.

Aku telah melihat tawa dan tangis yang dibalut dalam persahabatan mereka.

Waktu itu telah malam. Aku tak tau pasti apa yang terjadi padanya. Yang kutahu, dia datang padaku dalam keadaan sedih. Ia menangis. Tanpa suara. Tangisan yang tertahan yang terasa sangat pilu. Kulihat kehancuran hatinya dalam tiap tetesan air matanya. Mungkin waktu itu dia berpikir lebih baik tak ada esok hari.
Aku hanya bisa diam. Melihatnya menangis. Dan menjaganya dari malam.
Dan tak perlu sampai pagi aku menjaganya. Sahabatnya menjemputnya.

Lain waktu aku melihat mereka berdua mendekatiku. Duduk bersamaku. Mereka lalu asik meracik bumbu dan membuat masakan. Harum persahabatan mereka lebih kental dari apa yang mereka masak. Lebih wangi dan terasa lebih lebih lezat.
Aku hanya tersenyum memandang mereka.

Pernah juga suatu sore mereka duduk-duduk sambil menikmati teh hangat. Bercanda, tertawa. Sesekali seseorang menempelkan gelas tehnya di punggung temannya. Dan mereka menyebutnya terapi teh. Hangat teh dari gelas membuat mereka nyaman. Namun kehangatan persahabatan mereka telah membuatku hangat. Kehangatan yang akan selalu kurasakan ketika melihat mereka bersama.

Suatu waktu, aku sangat sedih. Aku melihat mereka berdua sedang membakar kenangan-kenangan mereka. Bukan mereka tidak lagi menyayanginya. Tapi mereka hendak meninggalkannya. Termasuk meninggalkanku. Itu yang lebih membuatku sedih.

Setelah beberpa lama mereka meninggalkanku, seorang dari mereka akhirnya datang lagi padaku. Aku senang. namun, kondisi telah berbeda. Rasa baru telah tercipta. Walaupun menyenangkan, namun kuakui, aku merindukan sahabatnya.

Sayangnya, sekarang aku kembali harus merelakannya. Ia kembali meninggalkanku.
Tak apa. Biarlah mereka meninggalkanku. Biarlah mereka terbang mengejar mimpi mereka. Dan biarlah persahabatan mereka tetap terukir di sini. Mungkin tak akan terlihat. Mungkin hanya aku kusimpan dalam tabung kenanganku. namun biarlah ini menjadi indah.

Sampai jumpa lagi sahabat. Mungkin suatu saat kita bisa bertemu.
Aku, si teras belakang.

Minggu, 17 Maret 2013

Rinduku dalam doaku

Malam ini kembali kukirim sebuah doa untukmu
Doa yang kupanjatkan karena rinduku padamu
Aku tak tau mengapa otakku begitu aneh
Seharusnya bukan kamu yang terlintas di otakku
Seharusnya ujian esok hari lah yang memenuhinya
Tapi entah mengapa malam ini begitu terasa bahwa aku merindukanmu
Aku hanya bisa berdoa
Berharap Tuhan menyampaikan rinduku untukmu
Berharap esok hari mendapat kabar darimu
Kabar yang mampu menyemangatiku dalam melewati ujianku
Salam rindu untukmu

Minggu, 24 Februari 2013

Pahitnya terasa manis

Kuhirup wangi kopi dari gelasku.
Kopi yang kubuat untuk diriku sendiri.
Kopi instan yang kubuat hanya dengan menambahkan air panas saja.
Aromanya, cukup untuk membuat otakku tenang.

Berkelebat cepat dalam pikiranku, potongan-potongan kisah.
Kebanyakan yang melintas adalah kenangan pahit.
Pahit, tapi menyenangkan.

Pagi ini, kopiku rasa moca.
Pahitnya kopi bercampur dengan pahitnya coklat.
Tapi ada rasa manis terselip dalam larutan hitam kecoklatan ini.
Setiap sesapan pahitnya masih meninggalkan rasa manis.

Waktu-waktu belakangan ini memaksaku mengeluarkan tangis.
Tangis penyesalan yang seharusnya tak boleh kusesali.
Aku memang salah sehingga aku harus menyesal.
Aku memang sudah seharusnya menikmati pahitnya kisahku.
Namun akhirnya aku mengerti bahwa penyesalan tak boleh terjadi.
Tangisku tak boleh terus menjadi tangis.
Tangisku harus berubah menjadi ucapan syukur.

Kopiku pahit. Sama halnya dengan tangis penyesalanku.
Namun dalam tiap tetesnya, masih ada manis yang kurasa.
Aku menikmati setiap pahitnya.
Aku menyukai rasa pahitnya.
Pahitnya terasa manis.

Kamis, 21 Februari 2013

Sedikit engkau dalam agenda waktuku

Teruntuk engkau, yang hampir tak terdeteksi dalam agenda waktuku.

Ini terlalu singkat. Hampir tak kusadari kau hadir dalam jalan hidupku. Berjalan bersamaku. Walaupun itu terjadi hanya beberapa saat.
Entah waktu yang berjalan sangat cepat, atau dia terlalu pelit memberi ruang bagiku dan bagimu. Atau mungkin juga aku yang terlalu egois untuk memiliki sendiri waktuku. Tak mau berbagi denganmu.
Terlalu berbeda caramu mendatangiku. Terlalu kaget aku mengetahui maksudmu. Semuanya hampir tak sejalan. Hanya satu yang menyatukan. Keseriusan.
Tapi ternyata aku tak cukup serius bagimu. Aku terlalu sedikit memberi diri untukmu.
Kaupun merasa tak tepat untukku. Bukan buruk, tapi tak seirama. Aku berjalan terlalu cepat, banyak hal kulakukan. Tak menyadari kau mengkuti. Kau pun tertinggal dan hanya memandangiku.
Mungkin tak adil bagi kita. Bagiku, juga bagimu.
Bukan aku menyalahkan takdir, tapi mungkin ini memang permainannya.
Tak banyak kenangan tercipta. Tapi cukup indah bekas yagn kau tinggalkan.
Aku menghargai tiap tindakanmu. Aku mencoba berdamai dengan keadaan.
Mungkin saat ini kita tak berjalan di jalan yang sama.
Mungkin butuh satu kilometer, mungkin butuh satu mil untuk manytukan jalan ini.
Tapi mungkin juga jalan kita tak akan pernah bertemu lagi. Mungkin ini hanya persimpangan. Persimpangan yang mempertemukan kita pada waktu lampu merah menyala. Sekedar menyapa, kemudian harus lekas melaju lagi menjalani hidup.
Seandainya boleh berandai-andai dan berharap, aku mengandaikan jalan kita segera bertemu. Aku sudah lelah berjalan mencari jalan yang bisa disatukan. Aku terlalu sering terjatuh dan mengalami kesakitan.
Seandainya memang jalanku ini bisa disatukan dengan jalanmu, jadilah demikian.
Namun jika tidak, tak apa. Itu berarti aku masih harus berjalan menemukan jalan lain.
Terima kasih, engkau yang pernah hadir.
Terima kasih, engkau yang pernah menyapa.
Maafkan aku yang tak menempatkanmu dengan banyak ruang di agenda waktuku.

Selasa, 29 Januari 2013

Doa Untuk Rindu.

Sudah lama tak menulis. Aku rindu.

Pagi ini aku bertemu rindu dalam percikan hujan.
Wangi tanah basah, segarnya daun hijau.
Melewati hari-hariku yang penuh dengan pemikiran.
Akhirnya aku sampai padamu.

Sekeras batu, setajam pedang.
Sesunyi malam, secerdik ular.
Semuanya masih terbungkus dalam balutan misteri.
Hadiah tanpa nama tergeletak di depan pintu.

Semua masih samar.
Berselimut kabut, bercadarkan embun.
Dingin, tersembunyi, tapi tak akan lama.
Hingga mentari pagi terusik oleh wangi bunga dan dupa.

Aku memanjatkan doa.
Mengirimmu sebongkah kata.
Menyebutmu dalam lantunan harap.
Biar terbuka semua tabir.
Biar terlihat jelas semua jalan.
Agar hadiah tak berupa misteri.
Agar hangat tak tersembunyi.

Rindu. Ini doaku. Amin.