Senin, 22 Oktober 2012

Perenungan diri

Pagi ini aku tiba-tiba merenung. Bukan dalam keadaan sepi aku merenung. Tetapi perkelahian hati yang membuat merenung.
Aku mempunyai banyak teman. Aku berani berkata demikian karena memang aku merasa punya banyak teman. Namun, tidak semua teman itu dekat. Tidak semua teman itu bisa aku jadikan tempat berbagi. Dari banyak teman ini, ada beberapa orang yang melintas di kepalaku pagi ini.
Pagi ini aku membuka fb ku dan aku menemukan seorang teman yang pernah dekat (entah masih akan dekat atau tidak nantinya, saya tak tahu) menulis sebuah cerita pendek. Kata-katanya cukup enak dibaca. Dalam hatiku, aku mengakui kalau karyanya cukup bagus. Tapi entah karena apa. Mungkin karena iri, atau memang aku sedang tidak suka dengannya, sehingga apa yang dia lakukan selalu membuatku berpikir negatif. Ah, kuharap aku bisa dengan cepat menghilangkan pikiran negatifku.
Aku tak membaca keseluruhan karya temanku ini. Aku malas. Maaf. Lalu aku jadi berpikir, aku memang suka menulis, tapi apakah dalam setiap tulisanku aku memberi makna? Apakah orang lain akan suka dengan tulisanku.
Aku teringat dengan sebuah acara TV yang kutonton kemarin. Pembawa acaranya sempat berkata "jika kita mempunyai cita-cita atau mimpi ingin sukses, kita harus spesifik mau sukses di mana."
Selama ini aku berharap aku bisa sukses dengan hobiku menulis. Ingin bisa melahirkan karya-karya yang disukai banyak orang. Ingin menjadi penulis terkenal. Lalu apa? Apa yang akan aku lakukan? Sudahkah aku bermimpi sukses yang spesifik?
Pikiranku masih melayang-layang, berputar-putar dan meikirkan banyak hal. Aku terpikir oleh tulisan adik kelasku. Dia temanku dalam menulis. Dia banyak membantuku untuk tetap menulis. Dan setelah membaca tulisan terakhirnya (sebelum aku menulis ini) aku semakin bertanya-tanya tentang diriku sendiri.
Sebetulnya, apa yang aku inginkan?
Apakah menulis memang sudah menjadi passion ku?
Atau menulis hanya menjadi hobi sementara yang akan kukejar sementara juga?
Bisakah aku tetap menulis dan menyukai menulis?
Apakah aku bisa membuat tulisan-tulisan yang mempunyai nilai di dalamnya? Tulisan yang bisa memberi semangat, tulisan yang bisa memberi kekuatan, tulisan yang bisa menghibur, tulisan yang bisa menolong orang lain?
Aku tak tahu..
Saat ini aku sedang mencoba menyusun sebuah tulisan untuk diikutsertakan dalam lomba. Aku memang berharap menang. Setidaknya, ada yang akan memuat karyaku. Tapi apa yang kulakukan sekarang? Aku melihat diriku. Aku mendapati diriku sedang bersantai-santai dan menunda-nunda diri untuk menulis. Apa ini yang namanya passion?
Kesuksesan tidak didapat secara kebetulan. Tidak datang seperti keberuntungan Untung Bebek. Sukses harus diraih dengan perjuangan, maka ia akan menghasilkan buah yang lebih manis daripada buah sebuah keberuntungan.
Lihatlah adik kelasmu itu.  Suatu saat dia pasti jadi orang hebat. Dia punya keberanian, dia punya tekad, dia punya semangat.
Kalau memang bukan ini jalanmu, carilah jalan di mana kau bisa menjadi sesuatu yang berguna.
Berjuanglah!!!

Minggu, 21 Oktober 2012

Jika sedih, menulislah..

Apa yang akan kamu lakukan jika kamu merasa sedih?

Dulu, mungkin aku akan menangis. Menangis memang membantuku mengurangi beban hatiku. Tapi entah kapan tepatnya aku lupa, aku pernah merasa tak bisa menangis, padahal hatiku sangat sedih. Mungkin saking sedihnya sehingga aku tak dapat mengeluarkan air mataku.
Waktu itu aku hanya bisa berdiam. Tak menangis, tak melakukan apapun. Pernah aku paksakan untuk menangis. Kupikir aku akan lega setelahnya. Ternyata aku keliru. Aku hanya bisa mengeluarkan air mata dari mataku, bukan dari hatiku. Aku tak berhasil mengeluarkan kesedihanku dari hatiku.

Pernah juga aku mencari "tempat sampah" untuk membuang kesedihanku. Aku bisa melakukannya kepada temanku. Aku menceritakan semua kesedihanku. Aku mengeluh, aku marah, aku tumpahkan semua kesedihanku. Tapi, suatu saat aku sadar, tak seorangpun bisa selalu ada untuk orang lain. Ya, memang tidak ada. Bahkan ketika seorang sahabat menjanjikan akan selalu ada, akan selalu mendengarkanku, suatu saat ia lupa dengan perkataannya itu. Ia mengeluhkan mengapa aku terus saja bercerita hal yang menyedihkan, dan ketika aku senang aku tak bercerita padanya. Bukan maksudku tak bercerita juga sih sebenarnya, tapi ya, mungkin saja aku lebih membutuhkan telinga ketika aku merasa sedih. Sejak saat itu, aku berjanji pada diriku sendiri, tak akan menceritakan hal sedih yang kurasakan kepadanya. Biar saja kusimpan sendiri.

Dan akhirnya aku menemukan cara yang sampai saat ini aku anggap cara yang ampuh untuk menumpahkan kesedihanku. Aku lupa tepatnya kapan aku menemukan cara ini. Menulis.
Aku lupa apakah aku membaca atau ada yang mengatakannya padaku, "Jika sedih, menulislah".
Aku merasakan cara ini sangat hebat. Aku bukan hanya bisa mencurahkan semua yang ada di hatiku tanpa takut dikeluhkan. Tulisan tak akan bisa bilang bosan. Tulisan tak akan menolak apa pun yang kita tulis. Dan satu hal lagi, ketika kita bisa menyalurkan perasaanku dengan benar, aku akan menghasilkan karya yang mungkin saja berguna bagi orang lain. Jadi, mengapa tidak aku terus menulis. Menulis membantuku dalam banyak hal. Dan aku berharap suatu saat, tulisanku akan menjadi karya yang dikenal dan dikenang oleh banyak orang.

Mari menulis.

Rabu, 17 Oktober 2012

Merindukanmu dalam kenanganku

Oktober sudah melewati lebih dari setengah perjalanannya. Dan sekarang belum hujan. Belum ada kenangan indah tercipta dengan hujanku.

Hari ini hanya ada rintik gerimis mengawali hari, bukan hujan. Aku mengawali hariku dengan berlari mengelilingi lapangan. Aku baru memulai kebiasaan ini kemarin. Lumayan untuk membakar lemak-lemak yang menempel di perutku.
Ini masih terlalu pagi untuk merusak mood. Tapi, yeah, i did it. Aku telah merusak moodku sendiri. Lagi, dan lagi, aku teringat akan masa laluku. Sebetulnya masa lalu yang indah dan menyenangkan, tetapi merusak moodku pagi ini.

Entah angin apa yang bertiup pagi ini. Sekonyong-konyong bertiup di pikiranku kenangan-kenangan di Jogja. Waktu itu kau masih berada di luar kota. Aku ingat kau meneleponku lama sekali. seolah kau benar-benar merindukanku. Dalam percakapan itu kau terus saja memintaku untuk ke kotamu. Aku memang akan ke sana mengunjungimu, tapi itu masih beberapa hari lagi. Kau terus merengek untuk segera bertemu.

Aku senang kau merindukanku. Aku senang kau menyayangiku, waktu itu.

Sekarang aku telah berada di kotamu. Tapi tak pernah lagi kau meneleponku, apalagi merindukanku.

Tapi...ya sudahlah. Hari ini tak harus menjadi hari yang buruk kan? Maka sebaiknya aku terus berlari dan berharap angin membawa kenangan akanmu pergi dari pikiranku. Kiranya angin juga menyampaikan kerinduanku padamu. Bukan aku menginginkanmu. Kau sudah menjadi miliknya. Aku hanya merindukanmu dalam kenanganku.

Senin, 15 Oktober 2012

Adel

Denpasar begitu panas siang ini. Matahari serasa tengah beria-ria, memancarkan senyumnya ke seluruh bagian kota. Sejenak aku menghentikan sepedaku di bawah pohon yang cukup besar. Ah, segar sekali rasanya di sini. Bayangan pohon begitu baiknya meneduhkanku. Aku melepas topi pemberian sahabatku yang selalu kupakai ketika aku mengerjakan tugasku. Aku beristirahat sejenak sambil mengira-ngira berapa jumlah uang yang kudapat hari ini. Koranku sudah habis di tengah hari ini. Aku bersyukur sambil tersenyum.
Aku berniat meninggalkan tempatku beristirahat tadi ketika tiba-tiba ada anak kecil berlari menghampiriku. Dia tersenyum. Aku merasa aneh. Aku tidak mengenalnya, tapi mengapa ia tersenyum ke arahku. Lalu anak itu langsung duduk di sebelahku tanpa rasa takut.
"Kakak mau permen?", katanya riang sambil menyodorkan sebungkus permen dari kantongnya.
"Kakakku sangat suka permen ini. Kakak pasti juga suka" tambahnya lagi.
Karena merasa tak enak, akhirnya aku mengambilnya.
"Kakak mau gak, jadi kakaknya Adel?"
"Memangnya kakaknya Adel ke mana? Apa dia gak marah kalo kakak jadi kakaknya Adel?"
"Itu kakak Adel" jawabnya sambil menunjuk ke arah sebelahku. "Tapi kakak gak pernah mau main lagi sama Adel. Kakak cuma diem aja. Cuma senyum dan duduk bareng Adel aja kalo Adel lagi main."
Aku menengok ke arah yang ditunjuk anak itu. Aku tak melihat siapa pun ada di sana. Tiba-tiba aku merinding. Tapi anehnya, aku tak ingin beranjak dari tempat itu. Aku merasa tak ingin meninggalkan Adel.
"Kak, boncengin Adel dong."
Perkataannya membangunkanku dari lamunan.
"Adel mau ke mana?"
"Ke situ kak. Adel mau ke tempat Nora."
Lalu aku memboncengkan Adel dengan sepedaku. Ia duduk di belakangku sambil bersenandung. Rasanya aku sering mendengar senandung itu, tapi aku tak tahu apa yang dinyanyikannya.
Tiba-tiba, "Brakk.."
Aku menengok ke belakang. Ke arah pohon tempat aku beristirahat tadi. Sebuah pick up menabrak pohon itu. Aku kaget bukan main. Beberapa menit yang lalu aku masih ada di sana. Jika bukan karena Adel minta diantar ke tempat Nora, aku mungkin saja belum beranjak dari sana.
Setelah beberapa detik, aku tersadar dari kekagetanku. Aku menengok ke boncengan sepedaku untuk memastikan Adel baik-baik saja. Tapi tak kudapati dia di sana atau di manapun. Semakin aku bingung bercampur kaget. Ada rasa takut terselip di sana.
Aku memutuskan untuk membeli minuman di warung dekat aku berhenti tadi. Seorang anak perempuan sebayaku melayaniku. Dia masih memakai seragam sekolahnya. Dia memandangku dengan tatapan sedikit khawatir. Mungkin wajahku yang pucat membuatnya membernaikan diri bertanya.
"Kamu tak apa-apa?"
"Ah, ehm, iya, tak apa. Aku hanya kaget saja. Aku tadi baru dari pohon itu sebelum pick up itu menabraknya."
"Kalo bagitu, duduklah dulu di sini sambil menenagkan hatimu. Aku masuk dulu ya, mau ganti baju. Nanti aku temani kamu."
Dia pun beranjak masuk. Tak sengaja aku membaca nama di bajunya, "Nora Adiarti".