Kamis, 28 November 2013

Kerinduan daun kepada rintik hujan

Sore itu aku duduk di bangku taman seperti yang biasa kulakukan ketika aku sedang mempunyai waktu luang. Kebetulan, waktu itu habis hujan. Udara masih cukup dingin jika kau hanya duduk berdiam. Aku mengenakan jaketku. Ah, aku tiba-tiba teringat akan dia. Sudahlah, jangan terlalu dituruti ingatanku ini.

Buku yang kupegang memang terbuka, tapi mataku malah tertuju pada daun-daun yang terlihat segar setelah disiram hujan. Sayup-sayup kudengar ada yang berbincang. Aku mencoba menajamkan telingaku. Mungkin saja aku salah dengar karena di situ tidak ada siapa-siapa. Rupanya daun sedang berbincang dengan setetes air yang menggenang di tulangnya.

"Terima kasih rintik, sudah menyegarkanku."
"Semua daun mendapatkan haknya dari sang hujan."
"Ah, bukan hujan yang membuatku segar, tetapi kamu."
"Tapi aku berasal dari hujan."
"Hujan hanya pengantar. Ia memang mengantarkanmu. Dan itu membuatku segar."
"Memang. Itu tugasnya, itu tugas kami. Memberi kesegaran."
"Ah, sebenarnya bukan hujan yang menyegarkanku, tapi kamu. Berapa kali lagi harus kubilang? Kamu yang menyegarkanku."
"..."
"Aku merasa segar karena aku dapat melepaskan rinduku padamu ketika hujan turun."
"Tapi sebentar lagi pasti aku sudah mengihilang. Apakah yang sebentar itu menyegarkan?"
"Tentu saja. Rindu memang terkumpul dalam waktu lama. Bahkan mungkin tak bisa ditentukan sampai kapan. Tapi hanya butuh melihat sejenak, rindu itu sirna."

Deg. Jantungku serasa dihantam. Tembok-tembok pertahanan yang kubangun untuk menghalangi sang rindu masuk telah runtuh. Runtuh hanya karena percakapan daun yang menyadarkanku bahwa aku merindukannya. Runtuh. Dan sekejap saja rindu sudah menyerbu memenuhi hatiku.

Aku tahu, rinduku ini tak terbatas waktu. Tak akan tahu kapan berakhirnya. Tak akan tahu kapan terpuaskannya. Dan aku takut menyadarinya.

Minggu, 10 November 2013

Pahit atau manis?

Sudah lama aku menyukai kopi pahit. Mungkin sejak pertama aku mengenal minuman ini. Mungkin ini penggambaran hidupku. Hidup yang pahit. Entahlah, terasa berlebihan mungkin. Yang pasti, hidupku tidak mudah.
Entah kapan terakhir kali aku makan bersama keluargaku, aku sudah tak ingat. Entah kapan terakhir ibuku mengecup keningku sebelum tidur, aku sudah tak ingat. Bahkan aku pun tak ingat kapan terakhir aku mencium tangan bapakku untuk berpamitan. Entah aku yang sudah lupa atau memang aku tak mau mengingatnya. Yang pasti, buatku kenangan manis itu, hanyalah tinggal kenangan. Tak pernah kucici lagi rasa manis itu.
Malam ini, aku kembali meneguk kopi pahitku. Rasanya sedikit terhibur. Rasanya seperti punya kawan dalam pekatnya segelas kopi. Rasanya pahitnya hidupku menyatu dengan pahit kopi yang akan terasa nikmat ketika kusesap sedikit demi sedikit.
Malam ini memang agak menyebalkan. Antara menyebalkan, atau memang aku sudah bosan dengan permasalahan keluargaku. Siapa lagi penyebabnya kalau bukan bapakku. Adikku menangis lagi karena kelakuan bapakku. Ah, cengeng, pikirku. Aku tak mau menangis. Lebih baik kutelan kepahitan itu bersama kopiku.
Aku tenggelam di antara kopi dan lamunan. Dan di tengah-tengah kepahitan itu, tiba-tiba seseorang menaruh gula di hadapanku.
"Cobalah," katanya.
Aku hanya diam dengan tatapan bingung.
"Aku sering melihatmu di sini. Dan kamu selalu minum kopi tanpa gula."
Aku masih memandanginya dengan heran.
"Awalnya kupikir kamu menikmati kopi tanpa gulamu. Tapi lama-lama, kupikir kamu tak sedang menikmati kopimu. Kamu hanya menikmati pahitnya, bersama pahitmu."
"Aku menikmatinya kok. Ma kasih."
"Cobalah."
"Harus?"
"Cobalah. Sedikit saja. Berikan sedikit rasa manisnya dalam hidupmu."
"Kenapa?"
"Ah, aku bukan mau memaksa. Aku hanya menunjukkan sebuah pilihan. Gula ini ada di depanmu. Ada juga di hidupmu. Jangan terlena dengan pahitnya hidupmu. Ada pilihan untuk membuat hidupmu tetap manis. Tentu saja tak akan manis seratus persen. Seperti kopimu jika nanti kamu tambahi gula. Dia masih akan menyisakan rasa pahit di lidahmu, tapi coba rasakan manisnya juga. Rasanya lebih menyenangkan."
"Kenapa kamu peduli denganku?"
"Hahaha..aku tak mau mencampuri urusanmu kok. Aku hanya mencoba berbagi apa yang pernah kualami. Hidupku dulu juga terasa pahit. Tapi pilihan untuk memberi rasa manis itu masih ada. Tinggal aku mau atau gak menambahkan gula dalam hidupku."
Orang itu tersenyum, lalu meninggalkan mejaku.
Pilihan. Ya, manis dan pahit itu pilihan. Kuambil sebungkus gula di depanku, lalu kumasukkan ke dalam gelasku. Semoga hidupku pun ikut merasakan manisnya.