Buku yang kupegang memang terbuka, tapi mataku malah tertuju pada daun-daun yang terlihat segar setelah disiram hujan. Sayup-sayup kudengar ada yang berbincang. Aku mencoba menajamkan telingaku. Mungkin saja aku salah dengar karena di situ tidak ada siapa-siapa. Rupanya daun sedang berbincang dengan setetes air yang menggenang di tulangnya.
"Terima kasih rintik, sudah menyegarkanku."
"Semua daun mendapatkan haknya dari sang hujan."
"Ah, bukan hujan yang membuatku segar, tetapi kamu."
"Tapi aku berasal dari hujan."
"Hujan hanya pengantar. Ia memang mengantarkanmu. Dan itu membuatku segar."
"Memang. Itu tugasnya, itu tugas kami. Memberi kesegaran."
"Ah, sebenarnya bukan hujan yang menyegarkanku, tapi kamu. Berapa kali lagi harus kubilang? Kamu yang menyegarkanku."
"..."
"Aku merasa segar karena aku dapat melepaskan rinduku padamu ketika hujan turun."
"Tapi sebentar lagi pasti aku sudah mengihilang. Apakah yang sebentar itu menyegarkan?"
"Tentu saja. Rindu memang terkumpul dalam waktu lama. Bahkan mungkin tak bisa ditentukan sampai kapan. Tapi hanya butuh melihat sejenak, rindu itu sirna."
Deg. Jantungku serasa dihantam. Tembok-tembok pertahanan yang kubangun untuk menghalangi sang rindu masuk telah runtuh. Runtuh hanya karena percakapan daun yang menyadarkanku bahwa aku merindukannya. Runtuh. Dan sekejap saja rindu sudah menyerbu memenuhi hatiku.
Aku tahu, rinduku ini tak terbatas waktu. Tak akan tahu kapan berakhirnya. Tak akan tahu kapan terpuaskannya. Dan aku takut menyadarinya.