Sabtu, 10 Agustus 2013

Bandara, kenangan, kita.

Ada yang bilang, bandara adalah tempat yang penuh kenangan. Mungkin itu benar. Bandara selalu berhasil membuatku mengenang sesuatu. Kebanyakan masih kenangan indah, walaupun akhir dari kenangan tersebut masih terselip kesedihan.
Dan sekali lagi, bandara telah berhasil membentuk kenangan lucu, manis, tetapi cukup menyenangkan. Aku bertemu denganmu waktu itu. Ah, sebenarnya tak bisa dianggap pertemuan. Tak ada percakapan di antara kita. Bahkan tak ada perkenalan. Aku hanya melihatmu, dan kau pun melihatku.
Aku melihatmu pertama kali ketika boarding. Kau berada di depanku, jadi, mau tak mau aku pasti melihatmu. Waktu itu aku tak terlalu peduli. Hanya sebatas aku bisa mengingatmu sama seperti aku mengingat wajah orang yang menitipkan tasnya padaku sewaktu ia hendak ke toilet.
Kenangan mulai terbentuk ketika kita turun dari pesawat. Ternyata kau turun setelah hampir semua penumpang turun. Sama sepertiku. Mungkin kita adalah orang yang sama-sama malas berdiri berdesakan, jadi lebih memilih menunggu sebentar agar tidak berdesakan. Setelah turun dari pesawat, ternyata kita harus menunggu bus dulu.
Tapi ternyata malam sedang berbaik hati. Ia mengijinkan kita melihat bintangnya sambil menunggu bus. Tak ada awan yang menutupi. Bintang bertebaran indah sekali. Aku melihatmu mendongak ke atas untuk beberapa saat lamanya. Sepertinya kau menikmati pemandangan yang disuguhkan malam. Sama sepertiku. Mungkin kita sedang melihat bintang yang sama.
Akhirnya bus datang. Entah mengapa, kau seperti mendekatiku. Bediri di sampingku. Tapi, masih tanpa percakapan.
Ah, busnya ternyata tak muat menampung sisa penumpang yang ada. Ya, sudah, aku memilih menunggu bus yang berikutnya. Kulihat ke samping. Oh, kau pun memilih menunggu rupanya. Padahal kan kau bisa saja masuk ke bus tadi. Bawaanmu tak banyak. Kesempatan untuk masuk bus juga ada.
Bus yang selanjutnya datang, dan inilah yang membawa kita menuju terminal kedatangan. Aku mendapatkan tempat duduk, kau berdiri. Sempat aku mendapatimu melihat ke arahku seakan-akan memastikan aku ada di dalam bus itu. Ah, mungkin itu hanya rasa GR ku saja.
Sampai di terminal kedatangan. Tentu saja kau turun duluan karena kau berdiri di dekat pintu bus. Sedangkan aku masih duduk agak jauh dari pintu. Aku tak berpikir kau akan menungguku.
Entah angin mana yang membisikimu. Kau tidak langsung keluar. Tapi waktu itu aku berpikir kau sedang menunggu barang-barangmu yang masuk ke bagasi. Aku salah. Kau menungguku. Ah, tapi mungkin ini rasa GR yang semakin bertambah. Ah, tapi begitu kau melihatku dan aku sudah di sampingmu, kau melanjutkan perjalananmu, tidak menunggu barang. 
Tetap saja tak ada pembicaraan. Sampai akhirnya kita sudah di luar terminal kedatangan dan berpisah pun tak ada pembicaraan. Aku ke kanan, kau ke kiri. Kita berpisah.
Aku selalu tersenyum jika mengenang itu. Bandara memang sangat mahir dalam menciptakan kenangan. Seperti sekarang, dia tengah mengukir kenangan lain akan kita.
Kuambil cangkir kopiku, kusesap. Kau melihatku, aku tersenyum. Kuletakkan kopiku, ingin kuraih tanganmu. Ah, kau duluan yang mendapatkan tanganku. Memegangku erat. Seolah kau mengerti bahwa aku sedang mengenang perjumpaan kita. Memegangku erat. Karena kita akan memulai perjalanan hidup kita yang baru.

Jumat, 02 Agustus 2013

Karena malam mendengar kebencian

"Aku benciii!!!"
Aku berteriak kepada sunyi. Hanya malam yang mendengar. Ya, aku memang sedang bercerita kepada malam.
Lalu aku meringkuk. Menangis dalam dekapan angin dingin. Malam hanya berdiam.
Aku menumpahkan rasaku padanya. Rasa yang sama pekatnya dengan dirinya.
Mengapa aku membenci? Padahal aku hanya medengar, atau bahkan hanya membaca satu kata. Seolah kata itu adalah kunci yang bisa membuka peti berisi kemarahan, kedengkian, dan segala hal yang negatif.
Tapi malam hanya diam. Mungkin ia tak setuju denganku. Tapi mungkin dia ingin aku mengerti dengan jalanku sendiri.
Tunggu...ternyata malam sedang menunggu. Menunggu waktu yang tepat untuk menyeretku menuju gelap yang lebih pekat. Malam mengurungku dalam kesunyian dan kepekatan yang tak pernah kubayangkan sebelumnya.
Aku meraba tapi tak kusentuh apa-apa. Aku berjalan, tapi rasanya tak ada pembatas untuk pekat ini. Sampai aku berlaripun, aku tak menabrak apapun.
Aku mulai panik. Apakah aku bisa keluar dari pekat ini? Atau aku akan terkurung untuk selamanya di sini?
Lelah aku mencari jalan. Akhirnya aku terduduk lemas. Samar aku mendengar ada yang berbisik memanggil namaku.
"Jingga..Jingga..."
Sontak aku mendongak, menengok ke kanan dan ke kiri. Mencari asal suara. Bodohnya. Aku lupa aku sedang terkurung pekat. Mana mungkin aku dapat melihat wujud dari yang memanggilku. Akhirnya aku memutuskan untuk diam. Menunggunya memanggilku.
"Jingga..rasakanlah pekat ini. Ini adalah rasamu. Amarah yang bercampur kebencian. Seperti inilah rasamu. Pekat."
Aku terdiam.
"Nyamankah kamu dengan pekat ini? Kulihat kamu tak nyaman."
"Ya," jawabku singkat.
"Sekarang, tenangkan dirimu. Jangan membenci, karena kebencian hanya akan mengurungmu dalam kegelapan seperti ini. Carilah jalan keluarmu dengan mendengarkan tuntunan hatimu."
"Mengapa aku harus mendengarmu?"
"Karena aku adalah malam. Aku mendengar kebencian. Ia tak ingin berada bersamamu."