Jumat, 21 Desember 2012

Antara simpati dan penggangu

Garuda Indonesia, 22 Desember 2012
Tentu saja aku tak menulis ini di pesawat. Aku mematikan hp ku, dan tak ada apa pun yang dapat kujadikan tempat menulis. Dan begitu sampai di stasiun, aku harus menunggu sekitar 45 menit untuk kedatangan kereta yang akan membawaku ke solo. Jadilah waktu ini kumanfaatkan untuk menulis.
Penerbanganku kali ini agak sedikit tidak biasa. Dimulai dari perubahan letak terminal kedatangan (walaupun itu hanya sementara) sampai kejadian ada yang sakit di dalam pesawat.
Hal yang menarik yang akan kuceritakan adalah ketika seorang penumpang pesawat tiba-tiba terserang sesak nafas. Menarik yang kumaksud bukanlah tentang sakitnya, tetapi respon orang-orang di sekitarnya, termasuk aku.
Ketika mendapat laporan bahwa ada satu penumpang yang sesak nafas, awak pesawat segera mengumunkan barangkali ada seorang dokter di antara penumpang yang dapat membantu. Dan, ya, memang ada sepasang suami istri yang berprofesi sebagai dokter. Mereka kemudian memeriksa sang penumpang tadi.
Orang-orang yang duduk di sekitar kursi penumpang yang sesak nafas memberikan respon berbeda-beda. Ada yang ingin menolong sampai berdiri di kursinya (kebetulan ia duduk di depan pasien), ada yang hanya berdiri melihat karena tak tahu harus berbuat apa, ada juga yang diam dan memperhatikan. Aku sendiri memilih diam dan menperhatikan. Dalam pikiranku, ini di pesawat, tidak bisa sembarangan bergerak atau berdiri, sedangkan aku tak bisa melakukan apa-apa, lagi pula sudah ada dokter. Aku pikir, dengan diam berarti aku ikut membantu. Karena jika aku ikut mendekat dan tak melakukan apa-apa, kupikir itu malah mengganggu. Dan benar saja. Beberapa orang yang sempat berdiri dan mendekat ke pasien, namun tak melakukan apa-apa, akhirnya malah mengganggu. Pramugari tak bisa lewat, ruangan untuk pasien menjadi lebih sumpek, dan menjadi lebih ribut.
Aku jadi berpikir, terkadang, rasa simpati yang tak bisa diwujudkan dengan perbuatan, sebaiknya disimpan dalam diam. Itu lebih baik dan lebih membantu, bukan malah mengganggu.

Selasa, 18 Desember 2012

Kado Impian-Kado Natalku Datang Lebih Cepat

Desember. Kata orang, bulan penuh keajaiban. Kata orang, bulan penuh kasih. Buatku, ini seharusnya bisa menjadi sama dengan bulan-bulan yang lain.

Bulan Desember tahun ini menjadi sedikit berbeda bagiku. Sama-sama sibuk mempersiapkan Natal, tetapi beda rasa. Seperti ada rasa baru yang muncul dalam kesibukanku tahun ini. Rasa syukur akan banyak hal yang mungkin bagi beberapa orang dianggap kecil, tetapi aku senang mendapatkannya.
Tanggal 15, 17, dan 18 Desember 2012, gerejaku mengadakan kunjungan ke YPAC dan dua panti asuhan untuk memberikan kado impian bagi mereka. Kegiatan ini kami namakan Kado Impian. Tahun lalu, kami juga melakukannya, tapi aku tak turut serta dalam persiapan kegiatan ini. Dan sekarang, aku diberi kesempatan untuk mengikutinya, mempersiapkan dari awal perencanaan, pengumpulan kado, menyusun cerita untuk panggung boneka, bahkan diberi kesempatan untuk memainkan boneka di panggung boneka. Tentu saja, tak semua itu kulakukan sendiri. Aku hanya berpartisipasi, memberi apa yang bisa kuberi, melakukan apa yang bisa kulakukan.
Mungkin sedikit yang bisa kulakukan dan kuberikan untuk kegiatan ini, tapi banyak sekali yang aku dapat dari kegiatan ini. Terkesan tak adil. Memberi sedikit, tetapi menerima banyak. Tapi aku tahu, Tuhan tak bermaksud untuk tak adil. Ini anugerahNya.
Rata-rata yang turut dalam kepanitiaan Kado Impian ini adalah orang baru, dalam artian, sebagian dari kami memang baru aktif dalam kegiatan gereja, atau baru pindah ke bali, atau baru terlibat dalam kegiatan semacam ini. Aku pun orang baru dalam komunitas ini. Inilah kado pertama yang kudapatkan. Teman-teman dan saudara-saudara baru.
Bekerja dengan orang baru selalu mempunyai kesenangan dan tantangan tersendiri. Namun sejauh ini, yang kurasakan adalah sukacita. Mungkin karena kami memang berkomitmen untuk melakukan kegiatan ini. Kado kedua: suka cita dalam mengerjakan sesuatu.
Dalam mempersiapkan kegiatan ini, ternyata banyak kegiatan lain yang juga kukerjakan. Mempersiapkan kunjungan ke LP anak, mempersiapkan Natal di kantor, dan kegiatan-kegiatan rutin lainnya. Cukup menyita energi dan pikiranku. But, thanks to God, aku masih bisa mengatur waktuku sehingga semua kegiatanku berjalan dengan baik. Kado natal ke tiga.
Persiapan Kado Impian ini cukup banyak. Dari mengumpulkan data tentang kado impian anak-anak, mendata donatur, membelikan kado-kado yang tak sempat dibelikan oleh donatur, sampai latihan untuk pertunjukan panggung boneka. Tidak semua dari kami terbiasa melakukan persiapan-persiapan ini. Ada yang baru mulai belajar menjadi pengiring/pemusik, ada yang baru pertama menjadi pembawa acara anak-anak. Dan aku sendiri, ini pertama kalinya aku memainkan boneka. Tapi, sekali lagi kukatakan, ada suka cita yang kami rasakan. Aku belajar memberi yang terbaik yang bisa kulakukan. Selalu ada yang pertama untuk segala sesuatu. Jika yang pertama belum terlalu baik, itu adalah awal pembelajaran.
Tiba waktu kunjungan, adalah hari yang menyenangkan. Aku sungguh senang melihat senyum dan tawa anak-anak ini. mereka banyak memberikan pengalaman kepadaku (atau mungkin juga kami). Memang, kami memberikan kado impian mereka, tetapi yang kami dapatkan jauh melebihi apa yang kami berikan.

Hmmm..jika kuhitung-hitung, rasanya akan banyak sekali kado natal yang telah kudapatkan. Aku telah mendapatkan hadiah Natal sebelum tanggal 25. Aku tak tahu apakah aku akan mendapatkan banyak hadiah lagi esok hari. Yang aku syukuri, aku telah menerima kasih dan pembelajaran beberapa hari ini.

Terima kasih Tuhan, terima kasih adik-adik, terima kasih teman-teman dan saudaraku. Kiranya kasihNya tinggal dalam hati kita semua.

Senin, 17 Desember 2012

Susi

Hai! Namaku Susi. Teman-temanku menganggapku tak bisa apa-apa. Tak cantik, tak pandai menari, tak bisa menyanyi. Aku sedang sedih karena teman-temanku tidak mengajakku untuk bergabung dalam kegiatannya. Alasannya, seperti yang telah kusebutkan di atas. Aku tak cantik, tak pandai menari, tak bisa bernyanyi. Teman-temanku ingin mengikuti audisi girlband, jadi mereka butuh seorang yang cantik, pandai menari dan bisa bernyanyi.
Aku dan teman-temanku sudah lama berteman. Sudah sejak kecil. Tapi hanya demi sebuah audisi, mereka menggantiku dengan orang lain. Aku hancur hati. Aku mulai berpikir apa yang mereka katakan itu benar. Aku tak cantik, tak pandai menari, dan tak bisa bernyanyi. Aku mulai tak bersyukur dengan apa yang kupunya.
Lalu aku bertemu dengan Alan dan seorang kakak. Alan sedang bermasalah dengan pelajaran di sekolah. Dia mendapat nilai jelek dan itu membuatnya malas pulang karena takut dimarahi orang tuanya. Kami berbincang bertiga. Dalam perbincangan kami, kakak tadi mengusulkan agar aku mengajari Alan karena aku pandai dalam pelajaran.
Perbincanganku dengan Alan dan seorang kakak tadi menyadarkanku bahwa manusia sering menilai apa yang terlihat. Tetapi sesungguhnya kita berharga di mata Tuhan.
Mungkin bagi teman-temanku, aku tak layak masuk dalam kelompok mereka, tapi bagi Alan, aku bisa menolongnya untuk lebih maju. Biar saja orang menilai aku tak bisa apa-apa, tapi setidaknya aku berguna.
Lihatlah! Bukankah sebenarnya aku cantik? Lihat senyumku! Manis kan? :)
***
Susi. Boneka yang kuperankan sewaktu kunjungan ke panti asuhan. Pertama kalinya aku bermain dalam sebuah pementasan panggung boneka. Tak terlalu sulit karena aku tak harus menghafal naskah, tak harus berekspresi. Naskah kami tempelkan dibalik panggung. Aku tak akan kehilangan kata-kata dan penonton pun tak tahu aku sedang membaca. Kesulitan yang kuhadapi adalah ketika orang di luar panggung boneka berinteraksi yang tidak sesuai dengan naskah. Itu berarti aku harus mengembangkan sendiri percakapan yang ada. Untungnya, aku tak kelihatan, jadi ketika aku bingung pun, penonton tak akan tahu. Selain itu, ternyata bermain dengan boneka yang seperti wayang juga membutuhkan tenaga ekstra pada lengan. Aku harus mengangkat tanganku selama Susi pentas. Mungkin sekitar 15 menit. Coba saja, kau akan merasakan pegalnya.
Memerankan Susi mengingatkanku pada diriku sendiri. Aku sering merasa tak percaya diri. Merasa tak bisa apa-apa. Tak cantik, tak punya suara bagus. Sempat aku merasa sangat-sangat rendah diri. Tapi suatu waktu, ada seseorang berkata: "rendah diri adalah bentuk lain dari kesombongan". Aku tak mengerti maksudnya. Yang aku tangkap bahwa Tuhan tidak suka kita menjadi sombong. Jika rendah diri adalah salah satu bentuk dari kesombongan, jadi pastilah Tuhan juga tidak menyukainya.
Memerankan Susi mengingatkanku kembali untuk lebih bersyukur dengan apa yang aku punya dan tidak merasa rendah diri. Ketika aku mulai merasa rendah diri, aku harus segera berpikir tentang apa yang aku punya dan apa yang telah aku lakukan. Aku punya orang-orang yang menyayangiku. Aku juga suka membuat orang lain senang. Melihat orang tersenyum atas apa yang kubuat, itu sudah cukup membuatku senang. Lalu, apa yang kurang? Masihkan aku harus membandingkan dengan orang lain? Jika membandingkan dengan orang lain membuatku maju, mungkin tak menjadi masalah. Namun jika dengan membandingkan aku malah menjadi rendah diri, sebaiknya aku tak membandingkan.

Kunjungan ke Panti Asuhan Ebenhaezer, Sesetan, Denpasar, 17 Desember 2012

Bertemu Kelly dan teman-temannya

15 Desember 2012
Hari ini aku bertemu dengan Kelly. Tak sendiri, ia bersama dengan teman-temannya. Aku tak dapat menghafal banyak nama, hanya nama Kelly yang masih kuingat dengan baik.
Hari ini Kelly bernyanyi bintang kecil. Lagu yang sudah biasa dinyanyikan oleh anak-anak. Tapi, kali ini menjadi istimewa karena dinyanyikan oleh Kelly.
Kelly adalah seorang anak penderita Down Syndrome, yaitu suatu kondisi keterbelakangan perkembangan fisik dan mental anak yang diakibatkan adanya abnormalitas perkembangan kromosom. Kromosom ini terbentuk akibat kegagalan sepasang kromosom untuk saling memisahkan diri saat terjadi pembelahan (Sumber: Wikipedia). Kelly dan teman-temannya bersekolah di YPAC, sekolah khusus untuk anak-anak berkebutuhan khusus.
Mengapa saya bisa mengingat nama Kelly, sedangkan nama anak lain tidak? Mungkin karena setelah kunjungan ke YPAC, temanku bercerita bahwa tadi dia sempat ngobrol dengan ayah Kelly. Dari cerita temanku, aku menjadi tahu bahwa Kelly tak dapat berbicara di umur yang seharusnya dia bisa berbicara. Dibutuhkan waktu yang panjang untuk belajar bicara. Namun, sekarang Kelly bisa bernyanyi. Tidak merdu. Tidak sejelas ketika kita berbicara. Tetapi orang tuanya sangat bahagia ketika Kelly bisa bernyanyi, apalagi bernyanyi di depan orang banyak. Dan itu terdengar jauh lebih merdu dari suara apapun.
Bukan Kelly sendiri yang memiliki kebutuhan khusus. Semua murid YPAC ini berkebutuhan khusus. Aku melihat beberapa anak harus memakai kursi roda. Ada juga yang harus memakai sepatu khusus. Ada yang tak pernah naik kelas karena keterbatasan dalam bidang ilmu pengetahuan. Namun, semua itu tak menjadikan mereka berbeda. Mereka tetaplah manusia. Sama seperti aku, dan kamu. Mereka berusaha, tmereka tidak pernah menyerah dengan kondisi mereka. Bahkan, kemarin sempat diumumkan bahwa banyak anak yang mempunyai prestasi di bidang olah raga dan seni. Ada yang biasa mengantongi medali emas di bidang angkat besi, ada yang jago melukis, dan masih banyak hal lain.
Di mata kita, mereka mungkin terbatas, tetapi Tuhan tidak pernah dibatasi oleh apapun. Karyanya nyata dalam mereka.
Kunjunganku ke YPAC ini membuatku belajar banyak hal. Belajar bersyukur, belajar berbagi, belajar untuk tidak menyerah dengan keadaan, belajar berserah pada Tuhan.
Masih ada 2 panti asuhan yang akan kami kunjungi. Aku berharap, aku mendapatkan makna dari kunjungan-kunjungan nanti.

Kamis, 06 Desember 2012

Ayah

Apa itu ayah?
Bagaimana rasanya punya ayah?

***

Aku memang tak pernah merasakan bagaimana mempunyai seorang ayah. Namun aku bukan seorang yang dilahirkan tanpa ayah.
Ayahku meninggal ketika aku masih sangat kecil. Sekitar umur 4 tahun, atau mungkin belum sampai 4 tahun. Sayangnya aku tak ingat persis tanggal berapa ayahku meninggal. Aku tak akan menyalahkan ibuku yang tak pernah memberitahu kami tanggal berapa ayah meninggal. Aku pun tak berani menanyakannya. Aku pernah tahu tanggal meninggalnya ayahku lewat guntingan koran/majalah yang memuat berita kematiannya, tapi sepertinya aku tak bisa mengingatnya dengan baik. Mungkin bagiku, tanggal itu tak berarti apa-apa. Mungkin terkesan jahat, tapi inilah yang aku rasa. Aku tak pernah mengalami kehilangan seorang ayah. Bukan aku merasa ia masih ada bersamaku atau aku tak peduli dengannya. Hanya saja, aku memang tak pernah merasakan kasihnya, kehadirannya. Bagaimana kau bisa merasa kehilangan sesuatu jika kau tak pernah memilikinya?
Hidup tanpa seorang ayah sudah kualami dari kecil. Dari aku belum mengerti apa artinya mati, hingga sekarang ini. Memang, ibuku menikah lagi. Tapi aku tahu, dia bukan ayahku. Bagaimana aku bisa menganggapnya sebagai ayah jika aku tahu dia bukan ayahku? Yah, aku tak pernah menyalahkan ayah tiriku jika aku tak bisa menganggapnya sebagai ayahku. Maaf, kenyataannya memang aku bukan anakmu.
Aku tak pernah merasa harus memaafkan jika seorang tiba-tiba menanyakan tentang ayahku dan aku jawab sudah meninggal, lalu mereka akan meminta maaf telah menanyakan hal itu. Buatku, itu tak masalah. Ayahku memang sudah meninggal, jadi aku tak perlu meratapi nasib dan mengasihani diri sendiri. Ini bukan pilihanku, aku bahkan tak bisa memilih apa pun atas takdir ini. Yang bisa kulakukan adalah menjalani hidupku tanpa ayah.
Pernah ada masa-masa di mana aku merindukan sosok seorang ayah. Merindukan rasa dikasihi dan disayang oleh seorang yang disebut ayah. Masa-masa di mana aku merasa iri melihat anak kecil bercanda dengan ayahnya. Perasaan ingin menangis ketika menyadari aku tak pernah merasakan masa-masa itu.
Tak kupungkiri bahwa aku pernah merindukan sosok ayah. Dan...yah, sekarang ini pun aku tiba-tiba merindukan ayah. Barusan aku melihat profile picture seorang teman di facebook yang memperlihatkan seorang anak digendong di punggung ayahnya. Rasanya menyenangkan punya tempat bersandar. Rasanya melegakan mengetahui bahwa ada punggung yang menopang dan memberi kekuatan. Sesaat, aku ingin berada di posisi anak itu. Digendong seorang ayah, memeluknya, merasakan aliran kekuatan dari kasihnya, dan merasa bahwa semua akan baik-baik saja.
Tapi...semua ini hanya anganku. Secara nyata, aku tahu bahwa aku tak akan pernah merasakannya. Tapi aku percaya, Bapaku masih terus menyediakan punggungnya untuk menggendongku. Dan dia akan memberiku kekuatan untuk melangkah menjalani hidup, serta memastikan semua akan baik-baik saja.

***

Yang kukasihi, ayahku..
di mana pun engkau berada..

Aku tahu kau tak lagi bisa mendengarku,
Kau tak lagi bisa memelukku,
Aku tahu aku tak lagi bisa mengingat rupamu,
Aku pun tak terbiasa memanggil namamu.

Tak peduli seperti apa engkau dulu,
Tak peduli bagaimana lakumu waktu itu,
Dalam benakku, engkau tetap ayahku..

Ini rinduku,
Ini rasaku,
Biarlah ia terbang kepadamu..

Aku mengasihimu

***

Rabu, 05 Desember 2012

Gadis dalam gelap

Ruang ini gelap. Namun aku masih dapat melihat seorang gadis terduduk di sudut ruang ini. Bukan maunya untuk di sana. Bahkan mungkin ia tak sadar kalau sekarang dirinya sedang duduk di sana. Pandangan matanya kosong. Seolah tak ada jalaan di hadapannya.
Mungkin dia ingin terbang menangkap asa dalam impiannya. Tapi ia terkurung dalam jerat janji yang dibuatnya. Ia harus mematuhinya.
Sayapnya tak dapat terkembang sempurna. Sudah sering ia mencoba terbang, tapi tak sampai tinggi, ia telah jatuh kembali ke tanah. Tubuhnya letih, penuh luka akibat kejatuhannya.
Sekarang ia hanya dapat terduduk. Sesekali ia memandang ke atas, kepada mimpinya. Namun, tak lama kemudian ia telah memeluk lututnya, menggigil dan menangis.

Gadis dalam gelap, aku tak dapat menolongmu. Maafkan aku. Sabarlah. Tinggal sebentar janji itu boleh kau lepas. Dan setelah itu kau bisa terbang tinggi. Menuju asa, meraih mimpi.