Senin, 22 Juni 2015

Diam

"...melagu tanpa berkata, seperti syair tak beraksara..."-Setapak Sriwedari, Maliq & D'essentials.

Perang dingin kita, berakhir. Entah untuk sementara, entah untuk selamanya.
Ah, mungkin bukan perang dingin kita. Mungkin hanya aku yang mendiamkanmu.

Akhirnya aku memberanikan diri mengalahkan egoku. Aku mengirim pesan kepadamu. Awalnya aku hanya iseng. Keisengan yang memerlukan keberanian jika akhirnya aku merasa tertolak lagi olehmu.

"Ting!"

Pesanku terbalas. Ajakanku kamu terima. Senja itu kita pergi bersama.

Kita hanya duduk menikmati laut dan mentari senja. Tak banyak bicara. Namun tak ada kecanggungan. Mungkin kita hanya terlena oleh senja. Atau mungkin kita tak perlu kata untuk bicara.
Ada sesuatu yang hangat menyesap masuk ke dalam hatiku.

Senja yang hangat berlanjut kepada makan malam romantis. Entah kenapa aku menyebutnya romantis. Padahal tak ada kata romantis, tak ada tindakan romantis. Mungkin aku hanya terbawa suasana. Aku senang bisa makan malam beratapkan bintang, diterangi lilin, diiringi lagu yang tenang. Mungkin karena itulah aku menyebutnya romantis.

Lagi-lagi kita hanya diam.
Mungkin di antara kita sudah tak perlu kata.

"...seperti syair tak beraksara, seperti puisi tanpa rima, seperti itu aku padamu.."

Tidak ada komentar:

Posting Komentar