Rabu, 31 Juli 2013

Seharusnya..ah, ini hanya anganku..

Aku duduk di tengah keramaian manusia taman, bercengkerama dengan alam, menikmati tiupan lembut angin pantai. Sekelompok pemusik sedang menunaikan tugas yang telah menjadi hobi mereka. Bermusik menghibur penikmat alam. Suasana yang sempurna untuk mengantarku berjalan bersama anganku. Berjalan bersama kenangan. Ah, selalu saja kenangan.
Petikan gitar berpadu tabuhan drum membentuk harmoni mengiringi lagu-lagu romantis yang mengalun merdu. Ini menyenangkan jiwa. Sungguh, seharusnya ini menjadi menyenangkan. Seharusnya. Namun, tidak bagi jiwaku. Tidak untuk sekarang.
Tak usah tanya mengapa, karena aku pun tak akan bisa meberi jawabnya.
Seharusnya engkau ada di sini. Seharusnya ini menjadi kisah romantis kita. Seharusnya hati dan jiwa kita bersatu bersama lagu. Aku akan meletakkan kepalaku ke pundakmu. Engkau akan menggenggam erat jemariku. Suatu keyakinan akan kebersamaan yang tak akan lekang oleh waktu. Kita, lagu, dan waktu.
Ini hanya anganku. Angan yang terbang bebas membentangkan sayapnya. Angan yang akan berjalan seiring dengan kenangan.
Sampai jumpa wahai engkau dalam kenangan. Sampai jumpa ketika angan telah menjadi nyata.

Sabtu, 27 Juli 2013

Lelaki dengan sepeda tua

Hampir setiap hari aku melihatnya mengayuh sepedanya. Seorang anak kecil duduk di belakangnya. Dengan kekuatan yg sudah tidak muda lagi, ia mengayuh sepedanya menuju sebuah sekolah. Setiap hari, setiap cucunya bersekolah.
Tak pernah ia terburu-buru mengayuh sepedanya. Mungkin karena usia.
Ketika cucunya sudah masuk ke sekolah dasar, dibiarkannya si cucu berangkat dan pulang sekolah dengan berjalan kaki. Sedangkan dia, tetap setia mengayuh sepedanya mengantar cucunya yang lain.
Tak pernah kulihat kakek itu mengeluhkan pekerjaannya mengantar cucu-cucunya.
Waktu bergulir, cucu-cucu sudah beranjak besar. Tak ada yang perlu diantar. Namun, suatu ketika, aku melihatnya lagi mengayuh sepedanya ke sekolah dasar tempat cucunya bersekolah. Ternyata dia sedang menjemput cucunya yang kedua. Kulihat si cucu tidak dalam kondisi yang baik. Kakinya pincang. Ternyata cucunya baru saja kecelakaan sehingga tulang keringnya patah. Dan waktu itu kakinya belum pulih. Sang kakek dengan penuh kasih mengantar jemputnya dengan sepeda.
Bukan suatu hal yang mudah mengantar jemput si cucu dengan sepedanya. Dia harus berhati-hati benar agar cucunya tidak cedera lagi.
Ketika cucu-cucunya sudah tak perlu lagi diantar jemput, sang kakek masih kulihat sering mengendarai sepedanya. Ia sering pergi ke pasar membeli beberapa barang kesukaannya, untuk memenuhi hobinya.
Sekarang, ketika cucu-cucunya sudah beranjak dewasa, tak pernah lagi kulihat si kakek dan sepedanya. Pernah kudengar si kakek jatuh sakit. Sakit karena usia. Mungkin karena itulah keluarganya sudah tak memperbolehkannya mengayuh sepedanya.
Suatu waktu, aku pergi mengunjungi rumah si kakek. Ya, kakek memang tidak sesegar yang kulihat dulu. Namun, aku masih melihat semangatnya. Semangat yang terbungkus dalam tubuh rentanya. Aku menanyakan kabarnya. Dia mengatakan bahwa dirinya memang tak lagi muda, tak lagi bisa bersepeda. Ia juga sudah berpasrah diri kepada Yang Kuasa jika sewaktu-waktu Ia memanggilnya.
Lalu aku berkeliling di sekitar rumahnya. Aku melihat sepeda tuanya. Setua tuannya, serenta pengendaranya. Namun masih terlihat gagah.
Kakek dan sepeda tuanya, teruslah berjuang dalam semangatmu. Kenangan akanmu, tak akan hilang dalam ingatanku.

Minggu, 21 Juli 2013

Lelah Bukan Berarti Menyerah

Aku lelah, ya, aku lelah..
Bukan aku ingin menyerah, aku hanya lelah..

Aku menangis dalam malam-malamku,
Aku menangis dalam ingatanku,
Aku menangis dalam kasihku..

Aku lelah mencoba mengerti, 
Aku lelah mencoba memahami.

Aku tak bertemu dengan jawab.
Aku tak bertemu dengan logika.
Aku hanya bertemu dengan emosi.

Aku lelah, ya, aku lelah..
Bukan aku ingin menyerah, aku hanya lelah..

Rasanya tak masuk akal,
Rasanya tak masuk hitungan.

Yang pernah ditentang, sekarang malah dilakukan.
Yang pernah dilarang, sekarang malah dijalani.
Entahlah.

Aku...lelah...