Rabu, 15 April 2015

Karena Kita

"Aku capek"
"Hei"
"..."
Aku tersenyum.
"Apa?"
"Ingatlah kita"
"Tapi bagaimana dengan orang tuaku?"
"Ingatkah kamu ketika aku takut bilang ke orang tuaku bahwa aku tak mau dijodohkan? Bukankah kamu menyuruhku mengingat kita?"
"Tapi aku bisa apa? Masa depanku sudah gelap."
"Bukan masa depanmu, tapi kita. Dan kurasa tak akan gelap."
"Aku kehilangan pekerjaan."
"Tapi aku masih bisa bekerja. Kita masih bisa makan."
"Bagaimana mungkin aku menyuruhmu menjadi tulang punggung keluarga?"
"Bukan aku, tapi kita."
"Kakiku cacat."
"Tapi aku masih bisa menolongmu berjalan, dan kita akan tetap berjalan bersama."
"Tapi aku tak sanggup melihatmu menderita."
"Aku pun demikian. Jika harus menderita, bukan aku atau kamu, tetapi kita."
"Tapi..."
"Ingatlah kita. Ingatlah perasaan ketika kita berjuang melawan pertentangan keluarga kita. Kita sanggup kan? Bukan aku atau kamu yang sanggup, tapi kita. Ingat dan rasakan bagaimana melewatinya. Ketika akhirnya dengan lembut engkau mengecup keningku dan meminangku. Itu kita."
"Tapi aku tak tahu harus berbuat apa."
"Tak perlu. Kita akan menemukan jalannya."

Flash Fiction ini ditulis untuk mengikuti program #FF2in1 dari www.nulisbuku.com di Facebook dan Twitter @nulisbuku

Kotak Itu Terbuka Lagi


Sore yang berbeda ketika akh melewati jalan ini lagi. Ini tepat ketika senja merekah seperti waktu itu. Waktu kita jalan bersama.
Sudah lima tahun. Sedah banyak yang berubah di sini. Jalanan tak serimbun dulu. Waktuku pun terus terburu oleh pekerjaan. Jarang sekali aku menikmati matahari ketika aku melewati jalan ini. Biasanya sudah gelap.
Kali ini senja tersenyum. Sama seperti dulu. Seolah mengingatkan aku akan persahabatan kita. Tentang cintaku yang tak pernah bersambut gayung. Tentang doa-doa tiap malam yang kupanjatkan. Tentang harapan dan cita-cita yang sering kita bagi bersama. Lalu aku ingat sebuah puisi yang sampai beberapa bulan kusimpan dalam dompetku. Puisi tentang kita. Tentang janji bahwa kita tak akan saling meninggalkan. Janji untuk selalu ada bersama dalam doa.
Kertas itu telah usang. Kini telah masuk ke dalam kotak bersama seluruh kenangan bersamamu. Namun, senja kalk ini berhasil menemukan kunci untuk membuka kembali kotak itu. Kenanglah, kawan. Kenanglah dalam ingatan.


Flash Fiction ini ditulis untuk mengikuti program #FF2in1 dari www.nulisbuku.com di Facebook dan Twitter @nulisbuku

Minggu, 12 April 2015

Selamat pagi, kamu yang selalu terbang

Memandangmu terbang, menyenangkan.
Menunggumu hinggap dan berceloteh, menyenangkan.
Hanya membayangkan saja, menyenangkan.

Aku ini dahan yang tak akan terbang. Tak mungkin.
Sekalinya aku merasa terbang adalah ketika engkau hinggap dan berkicau.
Mendengar kicaumu, serasa terbang.
Ceritamu, membuatku berangan.
Namun, aku tetap terkekang dalam indukku.

Hai, kamu yang selalu terbang..apakah tak lelah?
Tak maukah kamu membangun sarang?

Pagiku datang kembali.
Membawa angan dan tanya, akankah kamu hinggap lagi?

Aku, sang dahan, yang tak mungkin kamu bawa terbang.
Hinggap dan buatlah sarang.


*) terinspirasi dari lagu "Aku dan Burung" oleh Dialog Dini Hari