Sore itu langit mulai gelap. Aku masih dalam perjalanan
pulang. Rintik hujan dengan riangnya mulai berjatuhan. Spontan aku berlari mencari
tempat berteduh. Tanpa pikir panjang aku masuk ke sebuah kafe dan mencari
tempat duduk.
Hujan tak mau kompromi. Semakin ditunggu, semakin lebat ia
turun. Aku butuh sesuatu yang hangat
untuk tubuhku. Aku memesan kopi dan camilan.
“Ting! Ting!”, ada pesan masuk dari ponselku.
“Aku rasa, aku tak dapat meneruskan hubungan kita. Tak perlu
mencariku lagi,” begitu bunyi pesan yang masuk. Singkat, jelas, dan begitu
menusuk. Beberapa saat aku membeku. Aku seperti berada dalam ruangan gelap
tanpa jalan keluar. Dan ketika aku tersadar kembali, aku mencoba menghubungi
nomor yang mengirimiku pesan itu. Tak bisa tersambung. Aku tak tahu harus
bagaimana. Yang kutahu hanya menyesap kopiku. Merasakan pahitnya.
Beberapa bulan berlalu. Masih tak berkabar. Tak dapat
ditemukan. Seperti sengaja terhilang.
Hari-hariku menjadi pahit. Aku butuh sesuatu yang pahit
untuk berbagi. Tak ada manusia dapat merasakan pahitku. Hari-hariku hanya
ditemani kopi. Kopi pahit tanpa gula. Obat bagi hatiku yang pahit.
Sore ini hujan turun lagi. Hujan turun dengan segala kepahitanku. Aku butuh kopiku.
Tulisan ini diikutsertakan dalam Kompetisi Tulisan Pendek Cerita #DiBalikSecangkirKopi yang diselenggarakan oleh NESCAFE Indonesia.
Sore ini hujan turun lagi. Hujan turun dengan segala kepahitanku. Aku butuh kopiku.
Tulisan ini diikutsertakan dalam Kompetisi Tulisan Pendek Cerita #DiBalikSecangkirKopi yang diselenggarakan oleh NESCAFE Indonesia.